Bab. 3

1797 Words
Wahai Nabi, katakanlah pada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, 'hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka' Yang demikian supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.  Dan, Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang. (Quran Surah Al-Ahzab 33/59) "Dari tadi Im?" "Lumanyun, Ngab," sahut Baim memplesetkan kata 'lumanyan' seenaknya sendiri. Sejak tadi sengaja menunggu kedatangan seseorang yang sudah membuat janji lewat pesan singkat untuk bertemu pagi ini. Baim merasa buntu saat mulut lancangnya berlagak di depan Abbah dan mama dengan segala janji akan membawakan calon istri ke hadapan mereka. Secepatnya. Baim amati seseorang yang duduk di seberangnya dengan seksama. Matanya  menilik, kira-kira apa yang berubah setelah lelaki itu mengikrarkan diri seumur hidup menjadi suami.  Bromance-nya terlihat berseri-seri dengan ulasan senyum terus mengembang di wajahnya. Baim tertegun. Padahal biasanya setiap pagi wajah Arshaka selalu kecut saat mendatangi kantor, dengan banyak keluhan dari mulutnya, yang malaslah, capeklah, ingin rebahan saja di rumahlah. Mata sipit Ibrahim masih menekuri airmuka kawan baiknya. Tangan Arshaka meraba atas kepalanya, mengacak rambutnya yang setengah basah sampai percikan air terhempas, tepat mengenai wajah Baim. "Pengantin baru emangnya selalu gitu ya?" Baim bertanya dengan wajah memancar jengah. "Gitu apanya?" Jari telunjuk Baim mengarah pada rambut Arshaka, "Tuh! Selalu basah rambutnya." Wajah tengil Shaka membias, "Oh iya jelas, Im. Lo jangan penasaran, ntar pengin. Nyari pasangan dulu kalau pengin." "s****n, Lo!" "Btw, cepetan. Apaan yang penting? Ini masih jatah cuti gue, Lo ganggu kebersamaan gue sama istri tercinta aja, Im!" Sembur Shaka. Baim berdecih dengan ekspresi wajah dibuat jengah. Sok sekali Pak Shaka itu, mentang-mentang pengantin baru. Baim mengambil napas dalam-dalam sebelum memasuki pembicaraan serius. Bibir tipisnya bergerak melepaskan udara yang memenuhi rongga paru, "Jadi gini, Ka. Gue mau minta pendapat Lo," cetus Baim. Arshaka yang duduk di seberang mengernyit dengan kalimat kawan dekatnya tersebut. "Pendapat apaan? Soal kerjaan?" "Bukan. Tapi soal Sintya, menurut Lo, dia anaknya itu gimana, kalau misal gue mau ngajak jalan Sintya?" Airmuka Shaka dibuat terkejut oleh pertanyaan Ibrahim, ekspresinya sengaja diciptakan seolah terkaget-kaget, "Mundur Im, munduuur lo!" Baim menarik kursinya agak ke belakang mendengar perintah Shaka. "b**o Lo ngapain mundurin kursi Lo!?" "Lha, Lo yang nyuruh." Shaka menepuk jidat. Ibrahim Al Mufti kalau sudah berbicara menyangkut soal perempuan selalu menjadi super-duper lemot. "Maksud gue mundur aja kalau niat Lo mau deketin Sintya." "Kenapa?" Arshaka melipat kedua tangan di d**a, ekspresinya dibuat seserius mungkin, "Kalau sekadar buat temen jalan, oke aja. Kalau buat jadi bini, mending Lo nyari yang lain, Im. Serius gue." "Iya alasannya apa?" "Nih dengerin ya, bukan gue ghibahin Sintya, tapi ini fakta, gue denger sendiri dari mulutnya Sintya, dia itu hedon, Ngab. Make-upnya aja impor langsung dari Paris. Outfitnya, lo tau, seharga i-phone keluaran terbaru." Shaka menggebu berkisah soal Sintya. Baim bergidik ngeri mendengar penuturan Shaka, "Lebay Lo, ngeprank gue ya?" Shaka tertawa miring, "Untungnya apa gue ngeprank Lo? Gue ngomong apa adanya. Ya, walau gue yakin Lo sanggup biayain segala kebutuhannya kalau misal Lo nekat sama dia, tapi saran gue mending cari yang lain." "Wajar sih menurut gue, cewe cantik, pasti butuh budget buat menunjang kecantikan dia, Ngab." Baim berusaha obyektif. Baginya sangat wajar, perempuan jika disodorkan memilih antara pria tampan tapi finansial ya lemah, atau pria biasa-biasa saja tapi mapan dari segi finansial, pasti lebih memilih yang kedua. Itu namanya logika. Logikanya tidak ada perempuan yang kau hidup susah, kan. Shaka mengangkat bahu, "Ya terserah Lo, gue sebagai teman baik cuma ngingetin." Manik cokelat Baim menerawang seraya menggumamkan kalimat terima kasih oleh tanggapan Shaka. Shaka pamit usai menyesap kopi di cangkir Baim. Hari ini masih jatah cutinya sampai dua hari ke depan. Lelaki itu memiliki kembali ke rumah. Baim kembali melangkah menuju tempat kerja. Sepanjang ayunan kaki terus kepikiran, kira-kira jawaban apa yang akan disampaikan pada Abah dan mama saat bertanya padanya perihal calon istri. Baim mengembuskan napasnya kasar. Siang ini Baim memimpin rapat decision penuntasan dari rapat sebelumnya tentang keputusan akan merombak beberapa gerai restoran dengan konsep baru yang lebih segar. Usai rapat bertepatan dengan jam istirahat semua karyawan membubarkan diri. Baim masih bertahan di ruangan. Ada beberapa laporan yang harus dia kerjakan dan di-print. Harusnya itu tugas Sintya, tapi gadis itu mengeluh sangat lapar, akhirnya Baim membiarkannya lepas. "Biar saya bantu, Pak." "Oh, iya boleh." Saking fokusnya Baim tidak menyadari kalau Ananta masih bertahan di ruangan Yangs Ama dengannya. Gadis itu sibuk menggulir keyboard laptop serta mencetak laporan yang Baim kerjakan. "Kalau sudah selesai kamu istirahat saja, makasih sudah dibantuin." "Pak Baim nggak istirahat?" Baim menggeleng. Perutnya sama.sekali tidak terasa lapar saat kepalanya menawan banyak kalimat tentang pertanyaan kedua orangtuanya. "Mau saya buatkan kopi, Pak?" Tawar Ananta. Baim berpikir sejenak, dia mengangguk. "Boleh deh, tapi Ta, saya ga bisa minum kopi pakai air panas dari dispenser, ga tawar, sakit perut. Jadi, harus dari air yang direbus langsung, gimana, bisa?" Revisi Baim. Dia memang tidak terbiasa minum kopi dengan air panas dai dispenser. Entah sugestinya atau memang karena tidak terbiasa, setiap kali OB membawakan kopi dari pantry jika Baim setelahnya sakit perut, bisa dipastikan itu bukan hasil air rebusan. "Iya Pak, bisa." "Sini saya kasih tahu dulu caranya, Ta." Ananta memaku langkah, tatapan matanya menelisik serius ke arah Baim saat lelaki itu berbicara. Ananta pikir dia harus perhatikan instruksi Baim agar tidak ada kesalahan saat untuk pertama kali membuatkan kopi pesanan atasannya, "Iya, Pak?" "Caranya kamu ambil panci, isi air sedikit aja, kira-kira satu gelas, jangan satu galon, ntar lama. Rebus airnya sampai mengantuk ya, tapi jangan sampai ketiduran, ntar gosong, berabe." Kening Ananta bergelambir mendengar kalimat tak biasa Baim, "Maksudnya sampai mengantuk, Pak?" Tanyanya tak paham sama sekali maksud Baim. "Ya itu, kamu rebus airnya sampai mengantuk. Tanda orang ngantuk biasanya apa? Menguap, kan? Berarti kalau sudah menguap airnya matang." Baim melepas tawa usai berhasil menjaili Ananta. Ananta tersenyum tipis. Kena juga akhirnya oleh kejailan Ibrahim Al Mufti. Kemarin hanya mendengar cerita dari Risma, sekarang mengalami sendiri Ananta melengang dengan gelengan kepala atas kejailan atasannya. Rupanya selera humor Pak Baim bukan sekadar rumor belaka. Ananta agak terkejut, sifat Baim barusan sangat bertolak belakang dengan kejadian beberapa waktu lalu. Ingatan Ananta sontak berkelebat pada kejadian beberapa waktu lalu. Beberapa waktu lalu usai Ananta menghadiri pesta resepsi Pak Shaka. Jarak rumah Ananta dengan tempat resepsi yang diadakan di bilangan Jakarta Pusat, tepatnya di Grand Ballroom Hotel Indonesia, lumayan jauh. Usai pamit pulang, Ananta yang datang seorang diri berniat mencegat taksi konvensional yang biasanya mangkal di daerah dekat Bundaran HI. Ananta melangkah seorang diri menyusuri trotoar usai keluar dari balroom tempat pesta berlangsung. Pukul sepuluh malam hampir mengarah ke jam setengah sebelas, gadis yang mengenakan dress brukat sebatas paha dengan kerah model sabrina bagian atasnya itu berjalan risih karena banyaknya pasang mata lelaki melirik tidak sopan. Ananta mengutuk, kenapa baru sadar kalau bagian pundaknya sangat terekspos mata, malah menarik perhatian lawan jenis. Ananta merapal kalimat s**l, kenapa juga batre ponselnya harus habis dan mati total. Padahal tadinya ingin memesan taksi online saja. Tadi saat berangkat daya hapenya memang tinggal tiga puluh persen, apalagi sampai di tempat resepsi banyak mengambil gambar dari kamera ponsel pintarnya. Alhasil telepon selulernya mati total setelahnya. Winda dan Risma juga sama. Keduanya lupa membawa charger karena sibuk menjadi Bridesmaids bagi pasangan pengantin. Syahdan, Ananta terus melangkah, merasa bodo amat dengan suitan serta godaan dari laki-laki yang ditemui di jalan. Ananta hanya berusaha fokus pada tujuan untuk secepatnya menemukan taksi dan bergegas pulang. Tepat di sebelah trotoar ada gerombolan pemuda yang sedang berlumpul  di sebuah warung kopi. Ananta yang lewat di depan mereka sontak kaget saat salah satu pemuda mendekat dan menghadang langkahnya. Ananta dicekam rasa takut, tapi sebisa mungkin bersikap tenang. "Nona cantik mau ke mana buru-buru? Mari ikut gue, kita senang-senang sambil ngopi." Bau mulut yang dipenuhi alkohol pemuda bertindik itu menguar berembus menerpa wajah Ananta. Tangannya reflek menangkup mulut. Si pemuda rupanya tersinggung dengan polah Ananta. "s****n Lo, sok kecakepan. Sini Lo! ikutan minum sama kita." Tangan pemuda bertindik itu menarik paksa tangan Ananta. Harusnya Ananta berteriak, tapi rentetan kejadian silam yang mengisahkan trauma justru memaku kaki Ananta, lidahnya kelu tanpa bisa mengeluarkan satu kata pun. Kali ini Ananta benar-benar dalam masalah besar. Matanya mendelik ketakutan, tapi beberapa saat setelah si pemuda hampir menyeretnya masuk ke warung, tubuh Ananta berpindah tangan. "Berani macam-macam, saya pastikan malam ini juga kalian akan tidur di dalam sel!" Ancaman disertai tatapan tajam berhasil mengalihkan fokus si pemuda berandalan. Beralih pada Ananta, si pemilik suara isyaratkan gadis itu meleset cepat ke dalam mobil yang terparkir dengan mesin masih menyala. Embusan napasnya terdengar lega saat mendapati Ananta sudah aman. Sejurus dia yang tadi menarik Ananta telah fokus kembali pada setir kemudi. "Kenapa nggak minta tolong anterin saja, bahaya jalan sendiri malam-malam, apalagi dengan tampilan kamu kayak gini," ucapan itu keluar dari bibir seorang yang kini berada di sebelah Ananta, tangannya disertai gerakan melepas jas yang dikenakan, "Pakai ini. Rumah kamu di mana? Biar saya anterin pulang," sambungnya kemudian. Ananta masih sangat syok. Beberapa saat terdiam, baru setelahnya dia terisak kecil. "Sudah ya, jangan nangis, ntar dikira saya yang apa-apain kamu." "Terima kasih, aku nggak tahu kalau nggak ada Pak Baim bakal jadi apa tadi," ucap Ananta di sela isakannya. Baim yang juga keluar dari ballroom tidak lama setelah Ananta, reflek menghentikan mobil saat matanya menangkap sosok yang dikenalnya sedang diganggu pemuda preman setempat. "Ta, sorry ya, saya tanya ini. Kamu muslim?" Ananta mengangguk, "Alhamdulillah saya muslim, Pak." "Maaf ya, bukan mau ikut campur, kalau boleh kasih saran, lain kali bajunya yang agak tertutup. Minimal jangan yang terbuka, apalagi mengekspose bagian tubuh. Maaf banget, ga bermaksud apa-apa, jangan tersinggung ya." Kalimat Pak Baim seperti hujaman tepat di hati Ananta. Bukan tersinggung, tapi merasa tertampar, Ananta ulas senyum tipis, "Terima kasih, Pak. Tenang aja, saya nggak tersinggung." "Jaman makin edan, Ta. Harus bisa jaga diri. Konsep yang lagi ngetrend jaman sekarang, 'tubuh gue, hak gue' ya ga ada yang salah sih, tapi jangan ditelan mentah-mentah juga. Ibarat kucing, kalau disodorkan ikan pasti bakal ditikam. Ntar kalau udah kejadian aja, nangis-nangis nyalahin keadaan, padahal ada andil dirinya sendiri yang memancing pelaku pelecehan." Ananta mengangguk setuju. Pipinya memerah oleh rasa malu. Baim yang laki-laki saja bisa konsen memikirkan hal mendetail seperti itu. "Itu bukan sindiran ya, Ta. Demi Allah, saya juga ngerasa worry karena punya adik perempuan. Alhamdulillah adik udah berhijab dari kelas enam SD. Sekarang kelas 11." Ananta melirik lelaki yang sedang berbicara tanpa mengalihkan matanya dari jalanan di depan. Diam-diam rasa kagum meringsek ke dalam hati pada sikap Baim yang menurutnya sangat menjaga sekali. ** Ananta melangkah ke pantry dengan ingatan tempo hari  kembali merasuk ke dalam benak. Salah satu alasan kenapa penampilannya bisa berubah drastis karena kejadian kurang mengenakkan yang hampir membuatnya celaka. Allah masih sayang, untung bertemu Pak Baim yang kemudian mengantarnya pulang dengan selamat sampai rumah. Kalau ada yang kurang tepat, mohon bantu koreksi ya. Terima kasih ❤️

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD