***
Nara POV. . . .
Oh demi Neptunus dan kerang Ajab, situasi macam apakah gerangannya ini? Ruangan yang tadinya sepi sekarang mendadak rame, yakali gak rame sekarang lagi istirahat makan siang dan kalian tau semua anggota BEM udah ngumpul disini iya disni diruang BEM, dan gue ? jangan tanya, gue masih dengan posisi tadi selonjoran dengan kak Davi dipangkuan ilahi, eh dipangkuan gue, Astaga.
Ini situasi paling nggak banget dalam sejarah hidup gue selama pacaran sama kak Davi, jadi pusat perhatian, dan tatapan sini dari cewek-cewek. Apalagi tatapan 3 cabe-cabean yang tadi nyegat gue, itu tatapannya berasa kayak kiriman teluh sodara-sodara.
"Gak makan Ra?" Bang Rafli menyodorkan sebotol teh dingin kearah gue, dan langsung mendaratkan bokongnya duduk disamping gue. "kalau mau nyuruh dia cepat bangun, pencet aja hidungnya, kalau enggak jambak, gue jamin dia langsung bangun" Gue yang tadinya lagi khusuk nyoba buka ni tutup botol jadi noleh dan natap horor kearah Bang Rafli, gimana enggak ni orang idenya kelewat brilian.
Bang Rafli duduk disamping gue, dia tau kali yak kalau gue dari tadi malu plus gugup setengah cengo. kapan ni makhluk bangunnya ya? seandainya aja sepi betah dah gue lama-lama dalam posisi begini, mana kak Davi anteng bener dari tadi, gerak aja enggak, untung masih napas, kayaknya.
"kalau mau makan ni ada jatahnya Davi, makan aja" gue menggeleng lemah, gue suka heran sama temen kak Davi yang satu ini orangnya rada dingin, ngomongnya ketus tapi bisa jadi Presiden BEM. Dan satu lagi fakta yang baru gue tau soal bang Rafli setelah gue pacaran sama kak Davi adalah dia juga punya sisi kelam, alias gak suka kelam (gelap) dan sama kayak kak Davi gak suka nonton horor.
"Zar, berita baru ni gak mau difoto?" sayup-sayup gue dengar ada yang bisik-bisik didekat orang yang gue tau namanya Nazar, gila ni orang bisik-bisik tapi seisi ruangan gue yakin juga dengar.
Gue lihat orang yang dibisikinnya menggeleng kecil, "Gue masih sayang nyawa" gue menyerjitkan kening gue bingung, yah bodo amatlah.
Dan walaupun gue jadi pusat perhatian tapi sejak tadi gak ada yang berani nanya ini itu sama gue, smua diam seolah paham, dan malah gue yang ngerasa gak paham disini.
Gue memperhatikan sekeliling ruangan melihat satu-satu wajah kelaparan para panitian bazar yang sekarang khusuk dengan nasi bungkusnya, termasuk dia sicewek bermuka dewi, hueeek... tapi bermulut cabe-cabean, paling enggak dalah hati gue bersyukur ni orang masih napak di bumi soalnya masih mau makan nasi bungkus.
"Lo yakin gak mau makan ? muka lo kayak orang kelaparan gitu" Bang Rama menatap kearah gue, ya kali gue gak ngerasa lapar setelah melihat dan mencium aroma nasi bungkus tercintah. "mau disuapin?" gue melotot kearah Bang Rafli, kaget eey. . .
Coba bayangin gue lagi dalam posisi begini tiba-tiba ada cowok lain yang nyuapin gue makan apa kata dunia? Cowoknya ganteng pula, alamat tinggal bangke gue pulang.
"Lu suapin dia, tangan lo gue patahin" eh suara dari mana tu? Gue ngerasa kak Davi menggeliat kecil, yah suara serak tadi suara kak Davi, sejak kapan ni orang sadarkan diri, akhirnya.
Bang Rafli menghembuskan napasnya kasar, "bodo lah"
"kakak udah bangun" kata gue, yakali belom bangun Nara ini orang aja udah duduk sambil ngucek-ngucek matanya, wiih bangun tidur aja cuakep gini, bahagianya kalau nanti tiap pagi ngelihat pemandangan begini, eh.
"Yah gimana gak bangun kalau perut kamu lagi main band didalam sana" cih ni orang ye, bisa aja bikin gue malu.
"Yah udah yok, cari makan" Kak Davi berdiri sambil melonggarkan otot-otonya karna kehebatannya tadi tidur hampir sejam tanpa sekalipun berubah posisi.
"Ini Nasi lo" Bang Rafli menunjuk Nasi bungkus disamping gue
"Lo mau nyuruh gue makan itu berdua sama Nara?"
"Kan so sweet tu" celetuk salah satu orang tapi gue gak kenal, gak tau namanya.
"Sosweet apaan? Jangan kayak orang susah lah"
"ni masih ada jatah si Rama" Bang Rafli mengangkat kantong kresek bewarna merah yang terlihat dari luar masih ada sebungkus nasi.
"Oh iya Rama mana?" kak Davi melihat sekeliling ruangan, bener juga kok gue lupa ntu orang kagak ada? Padahal biasanya disitu ada bang Rafli selalu ada bang Rama, Aneh.
Gue gak tau kenapa entah perasaan gue aja atau gimana, soalnya gue gak sengaja ngelihat bang Rafli memberi kode tak tersirat kearah kak Davi.
"Ayoo bangun" kak Davi menarik tangan gue, memaksa gue berdiri
"Iiiih. . . kaki Nara kesemutan" sumpah ni kaki kiri gue berasa gak bertulang.
Kak Davi mengangkat alisnya sedikit, lalu tersenyum, iya itu senyum jahilnya, "yang mana yang kesemutan? Mau dipijitin? Atau mau digendong?"
"Ogah" kata gue ketus membuat senyum kak Davi semakin lebar, bodoh amat dah semua orang diruangan ini melihat kelakuan kami. Gue berdiri sambil berpegangan dengan kak Davi kemudian sedikit menghentak-hentakkan kaki gue menghilangkan kesemutannya.
"masih kesemutan?" gue menggeleng kecil "Udah yuk jalan"
"mau kemana?"
"Makan"
"yah dimana?" ini nih salah satu momen absurd dalam kisah percintaan gue dengan kak Davi, dia suka ngajak gue makan ditempat yang aneh-aneh, pernah dulu dia ngajak gue makan bakicot, idih mana mau gue dan tempat favorit dia, iya tempat yang sukses bikin badan gue subur si Bakery cinta, iya itu bakery langganan kak davi, bakery yang katanya semua kuenya dipenuhi cinta, preeetlah dipenuhi cinta? Yang ada memebuhi sekujur badan gue.
"gak ke bakery kok" tumben ni orang peka, kak Davi mengelus kepala gue kecil, yah masih didepan semua mata di ruang BEM, gue nyengir aja, menang, dari siapa? Dari itu si alone-alon asal belangkon, hahaa...
Kak Davi membukakan pintu mobilnya, mempersilahkan gue masuk dan seperti biasanya gue udah anteng duduk disinggah sana gue, kak Davi duduk dibelakang meja kemudi, sampai gue dengar HP nya berbunyi. Kak Davi melihat layar Hpnya dan menatap kerah gue.
"Bentar kakak angkat telpon dulu" kak Davi tersenyum lembut dan keluar dari mobilnya, gak biasanya, karna biasanya dia gak sungkan ngangkat telponnya didepan gue, lah ini? Sebegitu pentingkah? Atau mungkin perkara pekerjaan?
Gue menatap keluar jendela mata gue terfokus kesalah satu orang didekat mobil sedan hitam, eh kok gue ngerasa kenal ya sama mobil itu? Dan orang itu kayaknya gue pernah lihat, lamunan gue terpecah ketika mendengar suara pintu ditutup gue lihat kak Davi sudah masuk kedalam mobilnya dan menyalakan mesin mobil.
"Siapa kak? Yang telpon tadi?" gue kepo yah. Wajib kepo gimana kalau manusia lainnya yang mencoba menjadi orang ketiga atau mungkin keempat, lima , enam dan seterusnya, kan berabe.
"Rama" kak Davi mulai menjalankan mobilnya
"ngapain?" heran juga tu orang ngilang kemana.
"biasalah urusan kerjaan" kak Davi tersenyum kerah gue sekilah kemudian kembali menatap lurus kedepan.
Gue gak nanya lebih jauh lagi, setahu gue kak Davi bikin usaha bareng kedua temannya itu dan juga gue tau kak Davi selalu jujur sama gue, yah mungkin.
Eh itu mobil? Gue melotot kearah sepion disamping luar tempat duduk gue. Refleks gue menengok kebelakang.
"kenapa?" kak davi menatap gue heran. Ini gue gak ke-Gran kan kalau ntu mobil ngikutin kami? Atau gue maybe?
"kak kenal gak mobil itu?" kak Davi menghentikan mobilnya. Iya karna lampu lalu lintasnya bewarna merah dan menoleh kearah mobil yang tepat berada dibelakang kami bedanya itu mobil disebelah kiri belakang.
"kenapa memang?" kak Davi menatap bingung.
"tadi itu mobil dikampus"
"terus?" kak Davi kembali melihat kearah mobil itu.
"kok Nara ngerasa itu mobil ngikutin kita yah?" semoga perasaan gue aja.
"bisa ajakan anak kampus kita? Mau kemana gitu, Cuma kebetulan lewat sini juga" kak Davi mulai menjalankan mobilnya saat lampu hijau, dan mobil itu masih mengekor dibelakang kami.
"masalahnya kak itu mobil..." gue menggantung omongan gue, bingung juga mau cerita atau enggak atau bue aja yang parnoan.
"kenapa mobil itu?"
"udah beberapa hari ini nara selalu ngelihat mobil itu, dan orang dengan jas hitam berkeliaran dekat Nara, gak mau ke GR an sih tapi ngerasanya gitu" akhirnya gue bilang juga, kalimat gue sukses membuat kak Davi natap gue dengan tatapan khawatir.
"eh tapi kayaknya gak mungkin lah yah, siapa juga nara, hihii" gue nyengir kuda mencoba menghilangkan kekhawatiran dari wajah kak Davi.
"besok kakak jemput" katanya eh mau jemput kemana?
"Mau kemana kak?" yah besok minggu dan gue gak ada niatan buat kekampus walau ada bazar, lagian gue udah puas lihat bazarnya, walaupun katanya besok bakal ada band kenamaan yang mau tampil, sayang gue gak minat desak-desakan.
"adek ku sayang lupa ya?" kak Davi tersenyum usil, dan menarik hidung gue. "kan ada janji sama kakak weekend kita mau jalan-jalan" eeh gue nepok jidat, lupa ding...
"Ayoo turun" gue noleh kesekeliling kak Davi sudah membuka pintu mobilnya dan beranjak turun, eh sejak kapan ini mobil berhenti kok gue gak sadar?.
Gue turun dari mobil, dan lagi-lagi mata gue menangkap sosok mobil yang tadi mengikuti kami sedang terparkir tidak jauh dari tempat kami berhenti.
"Ayoo masuk, ngapain bengong disitu" kak Davi sudah berdiri didepan pintu, ini salah satu tempat makan favorite gue buka bakery yah, tapi kedai mie ayam, makanan kesukaan gue. Yah kayaknya gue gak mau bikin kak Davi khawatir lagi kalau gue bilang itu mobil masih ngikutin kami.
"gue mengekor mengikuti kak Davi yang berjalan kearah salah satu meja yang kosong, sudah lewat jam makan siang jadi mulai sepi, hanya beberapa orang yang masih tersisa, apalagi ini kedai Mie ayam yang terkenal enak dan banyak ayamnya, hehe. .
"kakak pesan dulu" kata kak Davi begitu gue mendaratkan tubuh gue diatas kursi. "yang biasa ya?" gue ngangguk kecil. Iya pesanan gue yang bisa kalau makan disini, Mie ayam bakso telur+Urat, hehe jangan salahkan gue kalau badan gue melar.
Gue lihat kak Davi masih berdiri memesan dan tangannya seperti sedang mengetik sesuatu diatas layar HP nya, balas chat siapa tu?
Sesaat mata gue melihat kearah jalan, dan binggo, mobil sedan hitam tadi pergi melewati kedai ini, gue bejalan cepat kearah pintu dan melihat kearah mobil itu terparkir tadi. Gak ada lagi, kayaknya bener kata kak Davi Cuma perasaan gue aja.
"kenapa?" kak Davi natap gue bingung, gue menggeleng dan langsung balik duduk dengan ceria diikuti kak Davi, tak lama pesanan kami datang. Pesanan biasa + es teh manis.
Gue nyendok dua kali cabai kedalam mangkok mie ayam gue, gue lihat kak Davi Cuma nambahin kecap dan saus, ini nih momen gue bisa jahil, dengan cepat gue masukin cabei sesendok penuh kedalam mangkok mie kak Davi, membuat dia kaget dan refleks nepis tangan gue yang udah ngaduk itu cabai dengan mie ayamnya membuat kak Davi menringis.
"harus pinter makan pedes kak, biar pinter berenang" kata gue sambil tertawa puas
"petuah dari mana itu" yah ginilah kak davi walaupun mukanya kesal tapi dia tetap stay cool, haha
Baiklah akan gue bongkar satu lagi hal tentang kak Davi, ini orang gak bisa makan pedas, wajahnya bakal merah padam dan berkeringat hebat, dan walaupun begitu dia tetap akan makan mie yang udah gue tuangin cabai, dengan dalih sayang kalau gak dimakan. Hitung-hitung gue ngajarin dia makan pedes. Dan satu lagi kak davi ini gak bisa berenang, dia benci air, air dengan jumlah banyak.
Dan gue sih seneng-seneng aja kak Davi gak pernah jaim sama gue.
****
***
Author POV. . .
Reno membanting tasnya keatas meja dan langsung mendaratkan tubuhnya diatas sofa, disana sudah ada dua orang lelaki menunggunya.
"Gimana kerjaan yang gue kasih? Udah selesai?" Reno menatap kearah lelaki berbaju coklat.
Lelaki berbaju coklat itu -Leo masih sibuk mengotak-atik laptop dihadapannya. "belum, baru sekitar 40%" Reno sedikit mendengus kesal.
"tumben kerja lo lamban? Biasanya gak sampe sehari udah dapat semua informasi nya? Mulai gak becus lo" ucap seorang lelaki berjaket biru kemudian dia menenggak habis minuman bersodanya.
"jangan asal ngomong lo, lo aja ngebiarin target ketemu sama bekas target" Leo bicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya.
"Eh mana gue tau kalau Anwar ada disana? Masih untung gue ngikutin mereka. Untunglah si Arka Davi itu gak sepintar yang gue pikir, nyatanya dia Cuma nanyain Anime sama Anwar, Ya Ampun padahal gue udah panik sendiri" Ucap lelaki berjaket biru itu panjang lebar. "So, apa rencana kita buat nyingkirin Arka Davi dari Kinara Saraswati? Bos?"
"Lo yakin mau ikutan?" Leo menatap bergantian Reno dan lelaki yang tadi berbicara
"Ya iyalah, gue, Tobi gak akan ninggalin temen, gue akan selalu bantu lo bro" Lelaki berjaket biru itu -Tobi menepuk halus pundak Reno yang duduk tidak jauh darinya.
Leo tersenyum miring "Yakin?" Leo membalik Laptopnya mengarah pada Reno "Lo bakal ikut campur sama yang ini?"
Reno menatap kearah Layar Laptop memperhatikan satu-persatu tulisan yang tertera disana.
"Gue Cuma dapat informasi itu aja, itupun dapatnya susah banget, gue harus jebol website sekolah"
"Ini akurat?" Reno menatap ktajam kearah Leo wajahnya nampak datar
"Haah? Lo meragukan keahlian gue?"
"bukan gitu maksud gue, tapi ini? Yang bener aja?" Reno menatap tak percaya kearah layar laptop yang menunjukkan informasi seseorang.
"apanya yang bener aja?" Tobi ikut melihat kearah Layar Laptop, membuatnya sedikit terperangah "Eh buseet panjang bener ni nama? Nama sepanjang ini bisa jadi dua suku kata doang begini?"
"cih, lo malah mempersalahkan namanya yang panjang? Coba lo baca lagi nama belakangnya. Yakin lo mau ikut campur?"
Tobi membaca lagi nama belakang dalam informasi tersebut. "Kayaknya gue harus mikir lagi deh"
"heh" Leo mendengus mengejek "tadi lo bilang gak akan ninggalin temen? Apa sekarang mau mundur?"
"eh, ini bukan masalah temen atau bukan tapi ini masalah masa depan, ngelihat nama belakangnya aja bikin gue ngeri, gue yakin gosip soal dia dulu itu bukan sekedar gosip aja" Tobi mengedikkan bahunya. Sementara Reno masih terus memperhatikan informasi itu secara detail, tanpa menghiraukan kedua temannya itu.
"iya gosip itu benar" Leo melempar amplop coklat keatas meja
"Apa ini?" Reno mengerutkan dahinya.
"lihat aja, emm bisa dibilang, bisa jadi kartu AS buat lo ngelawan dia" Leo kembali menyesap kopinya.
Tobi melebarkan matanya tidak percaya, sama halnya dengan Reno yang tidak bisa menyembunyikan wajah tidak percayanya.
"haah. Kayaknya gue harus mundur deh" Tobi menyandarkan tubuhnya kesandaran sofa.
"pilihan bagus, lo harus mundur sebelum mereka tau lo ikut dalam rencana ini"
"Mereka?" Reno kembali menatap Leo dengan tatapan tajam.
"Yah mereka, Arka Davi itu sama kayak lo, bedanya dia gak turun tangan sendiri, dia akan membiarkan teman-temannya itu yang menyelesaikan semuanya dan dia terima bersih"
Reno nampak menimbang-nimbang sesuatu.
"lebih baik kita lupain aja rencana ini. Ni orang beda sama Anwar dan teman-temannya. Ini Arka Davi bos, gue gak mau nyelakain keluarga gue, lagipula kelihatannya dia sayang banget sama Nara, dan menurut pengamatan gue juga, hubungan mereka baik-baik aja" Tobi menghembuskan nafasnya berat, sejenak dia berpikir jika dia tetap ikut campur dan kalah, maka dia harus siap hancur, bukan hanya dirinya tapi kehidupannya akan hancur.
"Gue juga setuju, lo bisa stop sampai disini" Leo memutar kembali laptopnya kearahnya. "tapi gue gak bisa"
"kenapa?" Reno memandang tidak percaya
"karna mereka udah tau, kalau gue nyari tau soal Arka Davi, dan kita lengah dengan ngebiarin dia ketemu sama Anwar"
"itu Cuma kebetulan"
"lo yakin itu Cuma kebetulan? Lo seharusnya tau mereka lebih licik dari kita" Leo kembali membalik laptopnya menghadap kearah Reno, menampilkan informasi yang berbeda lagi. "gue yakin 100% Arka Davi sudah tau soal kita"
Reno mengusap wajahnya kesal "tapi kenapa dia gak gerak?"
"karna kita gak gerak" Reno menghembuskan nafasnya kasar ada kekhawatiran yang nampak jelas diwajahnya. "mereka gak akan gerak kalau kita gak gerak, kau mengertikan, karna mereka belum punya alasan untuk itu"
"gue akan tetap menjalankan rencana ini"
Leo menarik napasnya dalam-dalam "berarti lo siap hancur, lo dan keluarga lo"
"Lo tau keluarga gak penting buat gue"
"Oke-oke, kalau itu keputusan lo, gue bakal tetap ikut"
"Lah kalau lo ikyt, gue juga ikut" Tobi ikut ambil suara
"terserah lo deh"
"oiya bos, kenapa lo gak main lembut aja? Maksud gue, lo dekatin Nara, bukan dengan cara kayak gini, nyingkirin setiap orang yang dekat sama dia? Lo mau dia jadi perawan tua?" kalimat tobi sukses membuat Reno mengeratkan rahangnya dan menatap tajam kearah Tobi, membuat lelaki itu menelan ludahnya kasar.
"kalau gue bisa kayak gitu, sudah dari dulu dia jadi punya gue" Reno berdiri dan langsung mengambil tasnya.
"Lo mau kemana?"
"Balik"
Reno meninggalkan kedua temannya yang menatap kepergiannya dengan bingung, ada guratan kemarahan diwajah Reno, marah kepada dirinya sendiri yang tidak pernah jujur akan perasaannya pada gadis itu, hingga dia harus berbuat hal nekat, dan sekarang dia akan melakukan hal yang lebih nekat lagi, memaksa memisahkan gadis itu dengan pujaan hatinya.
Reno berjalan menuju motornya dan mengeluarkan kunci motornya dari dalam kantung celananya sampai dia melihat seorang lelaki berdiri tidak jauh darinya memberi sedikit isyarat menantang kearahnya.
"Sialan" Reno menendang keudara, dapat dilihatnya lelaki itu tersenyum mengejek dari kejauhan.
***