***
Author POV. . .
Davi berjalan tergesa-gesa menuju pintu dan secepat kilat langsung membukanya ia ingin memastikan bahwa telinganya benar-benar tidak salah dengar.
Dan benar saja saat pintu dibuka Nara sedang berdiri di depan pintu dengan wajah sangar sambil melipat tangan di d**a, like a penagih utang.
Davi tidak bisa menutupi kekagetannya melihat perempuan yang sejak pagi tadi menerornya itu.
"Makasih ya Pak," ucap Nara ke Pak Yanto yang sejak tadi stand bye ikut menunggu pintu dibuka. Sontak Davi menoleh ke arah Nara bicara dan melempar senyum ke pria separuh baya tersebut.
"Ya udah kalau begitu Saya permisi dulu Mbak, Mas."
Pak Yanto pergi setelah mendapat anggukan plus senyum dari keduanya.
Nara menatap Davi dengan intens membuat Davi salah tingkah.
"Gak disuruh masuk ni? Atau mau sampai menua berdiri di sini?"
Davi tersadar kalau yang sekaramg berdiri di hadapannya benar-benar Nara pacarnya dan bukan halusinasi efek sakit kepala.
"Ah iya, ayo masuk," ajaknya.
Nara langsung melengos masuk melewati Davi, terlihat wajahnya yang terpesona dan begitu kagum dengan dekorasi apartemen milik pacarnya yang terlihat mewah ini.
Nara membalik badannya menghadap Davi wajahnya sedikit bersemu merah.
"kayaknya Nara tahu deh kenapa Kakak suka makan roti sobek di bakery."
Davi mengangkat alisnya bingung.
"Kenapa?" tanya Davi kebingungan.
"Biar roti sobeknya bisa di pindahin ke perut," jawabnya malu - malu, entah apa hal absurd yang dipikirkannya.
"Yah jelas pindah ke perutlah kan dimakan."
Davi terkekeh geli mendengar ucapan Nara tadi.
"Maksud Nara. . ."
Nara menggantung ucapannya dan matanya memandang ke arah badan Davi sontak Davi mengikuti arah pandang an Nara, dia sedikit kaget dia lupa memakai bajunya.
"Iya kayaknya rotinya pindah ke perut, hahahaa." Davi tertawa geli ia bahkan merasa biasa saja bertelanjang d**a di depan Nara tanpa malu.
"Kakak yang gak pake baju kenapa Kamu yang malu?"
Davi tersenyum menggoda kontan Nara membuang muka menghindari tatapan Davi.
"Ya udah Kakak pake baju dulu ya."
Davi mengelus kepala Nara lembut sebelum akhirnya pergi ke kamarnya untuk berpakaian.
"Oiya dapurnya di situ." tunjuknya seolah-olah tahu Nara membawa sesuatu di dalam tasnya.
Nara menuju ke dapur sambil menggerutu kesal, Ia mengeluarkan bubur ayam dari dalam tasnya.
Kenapa bisa? karena tas Nara sejenis kantong doraemon, tas serba muat, dia bukan tipe perempuan yang suka membawa tas-tas kecil seperti kebanyakan perempuan dia lebih suka memakai tas dukung besar yang bisa dimasukkan apa saja, hingga jadilah tadi sebelum datang ke rumah Davi dia mampir dulu membeli bubur ayam dan langsung memasukkannya ke tas dengan hati-hati soalnya dia suka lupa jika menenteng-nenteng barang di tangannya.
Setelah memindahkan bubur ayam ke dalam mangkuk, Nara menunggu Davi di meja makan, untungnya dapur, meja makan dan ruang tamu dalam satu ruangan hanya terpisah dengan sket kecil.
"Kak Davi lama, betelor apa ya di dalam?" Nara meyanggah kepalanya dengan tangan bosan.
"Eh apa jangan-jangan kak Davi pingsan lagi?"
Nara berlari kecil naik ke lantai atas dan langsung menuju ke tempat Davi masuk tadi, dan tanpa aba-aba langsung masuk tanpa mengetuk pintu.
Davi mendongak melihat Nara masuk tiba-tiba dia sedang santai berbaring di atas kasur sambil memainkan hp nya, Nara mendecih kesal.
"Kenapa?" Davi menatap heran
"kirain mati tadi di dalam gak keluar-keluar," ucap Nara ngasal.
"Orang nunggu di meja makan, Dia malah asik-asikan tiduran." Davi terkekeh geli mendengar ucapan kekasihnya iyu.
"Iya maaf. Tapikan Kakak lagi sakit. Kalau lagi sakit gini enaknya makan di tempat tidur."
Nara langsung memutar badan kembali ke dapur mengambil dua mangkuk bubur ayam yang tadi dia bawa menaruhnya di nampan dengan 2 gelas air putih.
Nara masuk ke kamar Davi membuka pintunya lebar-lebar dan menaruhnya di meja bulat tidak jauh dari tempat tidur.
"Ayo makan."
"Suapin."
Davi menampang wajah memelas
"Udah gede juga." Nara menjawab ketus
"Kan lagi sakit."
"Sakit apanya kelihatan segar bugar begitu." Nara makin cemberut.
"Kenapa sih manyun terus, sini."
Davi menepuk tepat di sampingnya. Memberi kode agar Nara duduk.
"Lagi PMS ya?"
Davi menaik turunkan alisnya gemas melihat kelakuan Nara yang cepat sekali berubah ubah.
Nara duduk tepat di samping Davi di atas tempat tidur menatap ke arah luar kamar, malas menjawab pertanyaan Davi karena entah kenapa sejak pagi rasanya dia kesal dan selalu ingin marah-marah dan penyebabnya adalah orang yang sedang duduk di sampingnya ini.
Orang yang membuatnya khawatir dan tidak tenang, dia juga merasa jadi pacar yang gagal karena alamat pacar sendiripun tidak tahu bahkan mereka sudah hampir setahun pacaran.
Nara merasa ada yang merengkuh pinggangnya, dua lengan kokoh sudah melingkar di pinggangnya dan kepala Davi rebah ke bahu kirinya.
"Maaf."
Suara Davi berbisik di samping telinga kirinya, Nara merasa tubuhnya kaku dengan perlakuan Davi yang agak aneh ditambah mereka sedang di dalam kamar dan di atas kasur pula.
"Kak"
"Hmmm"
Davi memejamkan matanya masih dengan memeluk Nara dari belakang tindakan yang sama sekali belum pernah mereka lakukan walau sudah lama berpacaran, biasanya mereka hanya berpegangan tangan, memang gaya pacaran mereka terlihat kuno tapi memang begitulah gaya berpacaran mereka.
"Kak orang ketiga setan," ucap Nara sambil menahan napasnya
"di kamar ini kayaknya nggak ada setan."
"Masa sih?"
Davi mengangguk kecil di atas bahu nara
"Kak udah deh, nanti ada yang lihat."
Davi tersenyum sambil mendongak melihat pintu kamarnya yang terbuka lebar.
"Memangnya siapa yang mau lihat?"
Nara masih membeku bahkan dia hanya bernapas sesekali saking gugupnya dengan perlakuan Davi yang tiba-tiba.
"Orang rumah Kakak?"
"Kakak tinggal sendiri."
Dan
Buukk. . .
Nara menyikut rusuk kiri Davi, sontak pria itu meringis kesakitan berkat kelakuan barbar pacarnya, Nara berbalik dan melihat ke arah davi.
"Sorry Kak khilaf." Nara nyengir kuda
"Kakak sih cari pekara."
"Terus orang tua Kakak ke mana?" tanya nara sambil matanya menatap keluar kamar.
Benar saja apartemen sebesar ini hanya ditinggali Davi sendirian. Dan walau takut-takut sebelum datang kemari Nara sudah menyiapkan diri dan mentalnya untuk bertemu keluarga Davi khususnya calon mertuanya nanti.
"Mereka sudah lama meninggal. Pas Kakak umur 11 tahun, kecelakaan," ucap davi enteng.
Nara terdiam sesaat, matanya berkaca-kaca karena sepertinya dia salah bicara, walaupun Nara ini gadis yang ceria sebenarnya dia orang yang mudah tersentuh apalagi menyangkut masalah keluarga.
"Maaf," cicit Nara nyaris tak terdengar.
Davi berdiri tepat di hadapan Nara melihat gadis itu yang seperti akan menangis Davi mendekat dan mengacak-ngacak rambutnya sambil tertawa.
"Buat apa minta maaf? Gak ada yang salah kok."
Davi berjalan ke arah meja untuk makan bubur ayam yang dibawa Nara tadi.
"Ayo duduk, makan."
Nara menurut dan langsung duduk di depan Davi.
Sesaat mereka makan dalam diam sampai Davi berjalan ke arah gorden putih tepat di samping mereka dan membukanya.
Nara terpelongo melihat pemandangan yang ada di hadapannya, di balik gorden putih tadi terpampang pemandangan kota dan jalan raya yang terlihat kecil dari lantai 18 ini, sontak dia berjalan ke arah kaca tersebut dan ber-waaw- ria.
Davi tersenyum kecil melihat wajah sumringah Nara.
"Kalau malam lebih bagus lagi" nara menoleh ke arah Davi walaupun sebenarnya banyak hal yang ingin ia tanyakan tentang keluarga lelaki itu tapi urung dilakukannya, toh bagaimanapun Davi tetaplah Davi.
"Pengen lihat." Nara antusias
"Kalau begitu mau nginap di sini?"
Lagi-lagi Davi iseng, tersenyum menggoda. Nara menatap tajam ke arah lelaki itu, entah kenapa Davi terlihat lebih agresif.
"Kakak udah nonton pengabdi setan belum?" Nara mengalihkan pembicaraan.
Davi tersentak mendengar pertanyaan Nara mulutnya yang tadi sedang mengunyah ayam terlihat sedang menelan kasar, membuat Nara terkekeh geli
'Badan boleh macho, tapi sama setan takut,' pikir Nara dalam hati.
Nara tahu soal Davi yang penakut dan parnoan dari saat pertama kali mereka nonton bersama, Davi ingin menonton film romance sedangkan Nara ingin menonton film horor yang saat itu banyak diminati teman-temannya, jadilah Davi mengalah dan tahu bagaimana ekspresi Davi selama nonton? wajahnya tegang dan lebih banyak menutup mata dan sekeluarnya dari bioskop Nara tertawa sampai setengah menangis melihat wajah pucat Davi.
Melihat Davi masih terdiam Nara melanjutkan ceritanya.
"Kalo gak salah ada adegan kayak gini."
Tunjuk Mara ke arah gorden
"Si ibunya muncul dari balik jendela kaca dengan gorden bewarna putih dan Kakak tahu wajahnya itu loh nyeremin banget apalagi hantu yang lainnya iih serem banget kayak beneran."
Cerita Nara panjang lebar membuat Davi menelan salivanya kasar.
"Terus tu ya dia . . ."
Belum selesai bercerita mulut Nara sudah lebih dulu dibekap oleh Davi.
"Kamu ini sengaja ya?"
Nara tertawa dibalik bekapan tangan Davi.
***