Arumi mencoba melupakan soal kisah Ravindra Wistara.
Cukup aku mengetahuinya, tapi jangan terlibat terlalu jauh. Jangan terlalu dekat dengan laki laki itu!
Ia kembali melanjutkan membaca lembaran dokumen keuangan seperti buku kas, kas besar, kas kecil dan masih banyak lagi. Tumpukan kertas berlembar lembar yang cukup tebal tersusun rapi di hadapannya.
Arumi mempelajarinya dengan seksama. Ternyata ada hal hal yang membuatnya bingung. Ada nilai yang meningkat drastis, bahkan ketidaksesuaian dengan pencatatan manual.
Ah, aku jangan sok tahu. Pelajari dulu saja semuanya.
Arumi dengan tekun kembali membaca baca dan membandingkan perhitungannya. Namun, ucapan Manik terbayang bayang di pikirannya. Hal itu membuat Arumi penasaran.
Pelecehan yang seperti apa yang dimaksud? Kenapa perempuan itu tidak melaporkannya? Atau sudah melaporkan tapi tidak ada yang menindaklanjutinya? Siapa perempuan yang dimaksud?
Ah sudah, sudah! Lupakan!
Arumi mencoba kembali berkonsentrasi pada pekerjaan, meski hati kecilnya masih penasaran.
***
Setelah selesai pertemuan dengan Arkatama, Sagara turun ke lantai lobi dan berdiam diri di coffee shop. Ia berharap melihat perempuan tadi melintas.
Namun, setelah sekitar setengah jam menunggu, tidak ada sosok perempuan yang ia cari. Sagara memutuskan untuk pergi dari kantor Grup Kalingga tersebut karena ada urusan lain yang menunggunya.
Besok aku akan kembali dan mencari tahu lebih lanjut.
***
Tama menerima kabar dari tim penyelidik yang sedang mencari keberadaan adiknya. Alamat tinggal dari bibik yang membawa Disa pergi telah ketemu. Tama dengan cepat bertindak dan menugaskan orang agar datang ke alamat yang dimaksud. Lokasinya ada di Tangerang, tidak jauh dari Jakarta. Kita bisa segera bergerak untuk mengeceknya.
Semoga saja Disa ketemu! Tak sabar rasanya!
Ia duduk di meja kerjanya dan mengingat kejadian bertahun tahun lalu itu. Saat peristiwa menyedihkan itu terjadi, usianya masih terlalu muda, yaitu sekitar tujuh tahun. Namun, meski ia masih kecil, tapi Tama masih bisa mengingat kesedihan papanya. Ada kepanikan di kediaman ketika itu. Tim keamanan memeriksa setiap sudut rumah, bahkan para staf rumah tangga pun diinterogasi.
Tak hanya itu, Tama kecil saat itu juga bingung dengan kabar hilangnya sang adik. Ia berulang kali memeriksa boks bayi yang biasanya ditempati adiknya namun selalu kosong. Tidak ada lagi tangis bayi di rumahnya. Ada rasa kehilangan yang tak tergambarkan. Hidupnya seperti kosong.
Tama menatap foto Disa yang ada di meja kerjanya. Adiknya itu seperti amanat terakhir dari mamanya. Ketika ia beranjak dewasa, rasa bersalah terus menyeruak. hal itu memotivasinya untuk terus berjuang dan tak putus asa mencari Disa.
Adikku sayang, kamu dimana? Semoga kamu baik baik saja.
Ia mengatupkan bibirnya menahan rasa mengingat kejadian itu. Dulu, ia hanya memikirkan keberadaan adiknya. Tapi sekarang, pertanyaan lain mulai menggelitik.
Siapa yang melakukannya?
Ayahnya memang sudah memiliki kecurigaan kecurigaan, tapi tidak ada bukti apapun. Kalau saja Bik Nana ini bisa diketemukan, siapa tahu dia bisa memberikan kesaksiannya.
Setelah adiknya ditemukan, langkah berikutnya adalah mencari tahu siapa pelaku yang tega menculik Disa kecil dan menjauhkannya dari keluarganya.
Kita lihat nanti, semua pasti terungkap!
***
"Aku pulang ya.." Manik berpamitan. "Kamu mau pulang pukul berapa?"
"Nanggung nih," Arumi masih lanjut membaca semua tumpukan dokumen itu. "Setelah selesai laporan ini, aku pulang."
"Ok. Hati hati ya.. Jam segini kadang memang masih banyak orang yang lembur, jadi suasana kantor tidak sepi," ucap Manik.
"Bye Arumi," Manik pergi berpamitan.
"Bye.." Arumi tersenyum.
Senang rasanya memiliki teman baru.
Tiba tiba supervisornya, Yoga menghampirinya, "Kamu belum pulang?"
"Eh pak Yoga. Saya masih mempelajari laporan laporan ini. Supaya semakin paham dan bisa segera bekerja melanjutkan tugas saya sehari hari," jelas Arumi.
"Memang apa yang sedang kamu pelajari?" tanya Yoga.
"Saya hanya bingung mempelajari laporan kas ini pak. Jujur saya perhatikan, angkanya meningkat drastis dari tahun ke tahun. Selain itu ada selisih selisih yang membuat nilainya tidak seimbang tapi di laporan akhir bisa balance. Makanya saya bingung mencari selisihnya itu. Darimana dan bagaimana?" jelas Arumi.
"Tapi itu kan laporan yang sudah lewat. Sudah closing juga, jangan terlalu dipikirkan. Pencatatan akunting juga sudah ada aplikasinya, semua jadi lebih mudah dan tersistem" Jelas Yoga.
"Iya pak," Arumi mengangguk. "Saya hanya ingin bisa mengerti saja."
"Baiklah. Saya pulang dulu. Masih ada yang lembur di bagian keuangan, jadi kamu tidak sendiri," ucap Yoga. "Kalau bisa, maksimal pukul delapan kamu sudah pulang. Kalau lewat jam delapan, biasanya kantor sudah mulai sepi."
"Iya pak," jawab Arumi.
Yoga pun beranjak pergi menuju ruangan Ravindra. Ia kemudian mengetuk pintu ruangannya.
Tok, tok, tok!
"Masuk," Ravindra meresponnya.
"Pak, saya pulang dulu. Pekerjaan hari ini sudah selesai," Yoga berpamitan.
"Iya, silahkan," ucap Ravi. "Oh ya, anak baru itu bagaimana?"
"Dia masih lembur mempelajari laporan laporan dan sistem pencatatan tahun tahun sebelumnya," jawab Yoga.
"Belum pulang?" tanya Ravindra.
"Belum pak. Anaknya cukup detail. Dia mempelajari semuanya dengan seksama," Yoga menjelaskan.
"Maksudnya?" Ravindra bertanya.
"Iya dia banyak bertanya, soal perbedaan angka, peningkatan jumlah pengeluaran dan masih banyak lagi," terangnya.
Ravindra mengerutkan keningnya, "Dia tidak perlu mengorek ngorek apa yang sudah selesai."
"Tidak pak. Arumi hanya belajar saja," Yoga kembali berkata.
"Iya, tidak perlu mempelajari terlalu jauh," ucap Ravindra. "Tolong kasih tahu anaknya. Jadi langsung praktek saja dan kerjakan tugas sehari hari tanpa banyak bertanya."
"Baik pak, nanti akan saya informasikan," Yoga mengangguk.
"Kamu bisa pergi," Ravindra mengarahkannya untuk pulang.
Yoga pun keluar dari ruangan Ravindra. Di saat yang sama, Ravi mengetuk ngetuk pulpen ke mejanya dan merenung.
Anak baru itu tidak boleh mempelajari terlalu jauh!
Ravi mengintip dari jendela di ruangannya yang mengarah ke ruangan besar para staf bagian akuntansi. Ia memperhatikan kalau memang masih ada seorang staf akuntansi. Si anak baru itu masih bekerja.
Tiba tiba saja tangannya mengepal. Rasa takut, panik dan geram bercampur aduk.
***
Arumi akhirnya selesai membaca yang ingin ia pelajari di hari pertama ini. Ia pun memutuskan untuk pulang. Arumi memperhatikan kalau lampu ruangan kerja Bapak Ravindra masih menyala, sehingga ia melangkah ke ruangan atasannya itu untuk berpamitan.
Tok tok tok!
"Masuk," suara atasannya itu terdengar.
Arumi pun membuka pintunya, "Pak, saya pulang dulu."
"Iya," Ravi mengangguk.
Arumi pun menutup pintunya. Ia melangkah ke arah lift untuk turun ke lantai lobi. Lift pun terbuka di lantai tujuh, Arumi bersiap untuk masuk.
Namun, saat pintu lift terbuka, seorang perempuan keluar dari dalamnya. Perempuan itu tidak menyapanya dan hanya berjalan lurus masuk ke ruangan Bagian Keuangan dan Akuntansi.
Apa perempuan itu karyawan di bagian yang sama denganku? Siapa dia? Untuk apa dia datang semalam ini?
Arumi bertanya tanya. Tapi waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Waktunya untuk pulang!
Bapak Yoga benar, pukul delapan ini suasana kantor sudah mulai sepi.
Sebelum memesan taksi online, Arumi menghampiri coffee shop di lantai lobi untuk membeli roti. Perutnya lapar karena belum makan dari siang.
"Hai mbak," staf coffee shop tadi siang menyapanya.
"Hai juga," Arumi tersenyum.
"Mau info mbak, ternyata bapak tadi yang membeli kopi kembali lagi untuk membayar pesanannya. Tapi, kan pesanannya sudah dibayar. Jadi tadi aku info kalau mbak orang yang sudah membayarkan kopinya," jelas staf coffee shop itu.
"Siapa tahu kalian berhasil ketemu dan dia mengembalikan uangnya," ucapnya lagi.
"Oh ya, tidak apa apa kalau pun tidak ketemu," Arumi tersenyum. "Saya pamit dulu ya.."
Di saat yang sama, seorang lelaki muda melintas dan masuk ke dalam coffee shop. Usianya mungkin sekitar tiga puluh tahunan. Sosoknya kharismatik dan tampan.
Arumi sampai melirik dua kali untuk memperhatikannya.
Ada beberapa karyawan lain berbisik bisik di sampingnya, "Bapak Tama ganteng sekali ya.."
Arumi yang penasaran pun bertanya, "Maaf itu siapa ya?"
"Itu bos besar kita, Bapak Arkatama Kalingga, putra satu satunya dari Bapak Ardika Kalingga," Jelas karyawan itu.
"Ohh.." Arumi menatapnya dan tersenyum sendiri.
Bos besar tapi low profile sekali.
Diam diam, Arumi memujinya.