Weekend ini berasa sangat indah karena keseharian Mita semakin bahagia dengan kehadiran Nata walaupun hanya untuk sementara waktu. Mereka berdua semakin akrab di setiap kegiatan di sekolah, entah tepatnya sejak kapan mereka berdua akrab, tetapi sekarang dalam setiap kegiatan ada mereka yang selalu ikut serta. Keakraban mereka berdua seperti obat rasa sakit hatinya Mita dan ada kebahagiaan tersendiri ketika bersama lelaki tampan itu. Hari ini, entah memang kebetulan atau tidak mereka berdua mendapatkan job di tempat yang sama, yaitu mengajar di tempat salah satu murid di sekolah Mita mengajar.
"Mita, sibuk enggak?"
"Enggak, kenapa gitu Nata?"
"Bagaimana kalau kita mampir dulu untuk makan sore?"
"Dimana?"
"Dekat-dekat sini saja, jangan yang terlalu jauh. Bagaimana?" Mita mulai berpikir sebab dan akibatnya, namun pikirannya sudah dipenuhi dengan rasa kesal yang mendesak di d**a.
"Baiklah, ayo," ucap Mita setuju, setidaknya ajakan Nata bisa sedikit menghilangkan rasa penat di otak dan hati.
Mereka berdua jalan bersama layaknya seperti teman sekantor. Sebenarnya yang diharapkan adalah perhatian dan juga ajakan dari suaminya namun sepertinya itu hanyalah harapan semata tanpa adanya kenyataan yang terjadi. Raga Mita memang sedang berbahagia bersama Nata, namun pikirannya masih pada suaminya yang menyebalkan itu. Nata terus memperhatikan Mita dengan padangan yang sulit dijelaskan. Pandangannya seperti ada makna tersendiri, pandangan yang lelaki yang sangat jatuh cinta pada seorang wanita.
Tak banyak yang mereka obrolkan selama perjalanan ke salah satu rumah makan. Mereka segera memesan makanan dan mulai banyak yang diobrolkan. Ada rasa nyaman yang mendera hati Mita, ia berusaha menahannya agar tidak terbuai akan sebuah suasana. Mita merasa takut apabila nanti ia jatuh hati pada Nata dan rumah tangganya akan hancur. Pembicaraan mereka seperti teman lama yang sudah tidak pernah bertemu dan ketika bertemu kembali maka banyak sekali bahan bahasan yang diobrolkan. Mita tak mempunyai pikiran macam-macam pada lelaki tampan itu, justru ada sebuah kepercayaan pada lelaki itu karena Nata seakan tau dan paham suasana hati yang sedang Mita rasakan dan alami.
"Kamu lagi kacau, ya?" tanyanya di sela-sela obrolan mereka.
"Enggak kok. Memang kenapa, sih?"
"Kamu enggak usah berbohong, terlihat sekali dari raut wajah dan sorot matamu, ada sesuatu yang kau sembunyikan."
"Ah, kamu sok tau lah. Kau anak dukun ya?" ledek Mita pada Nata. Mereka berdua tertawa bersama dan berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Tiba-tiba Nata memegang tangan Mita membuat wanita itu terkejut dengan sikap lelaki tampan itu.
"Aku serius Mita. Kamu pasti ada masalah yang sedang di tutupi. Kalau ada apa-apa cerita saja," ucapnya menyakinkan.
Ada desiran rasa nyaman yang mengalir dalam dadanya, namun seketika Mita tersadar bahwa ini tidak baik. Ia menyadari rasa nyaman yang diberikan dan didapatkan seharusnya bukan dari lelaki lain melainkan dari suaminya sendiri. Mita tersadar dan menarik tangannya dari genggaman Nata.
"Tenang Mita. Sungguh, aku tak ada maksud jahat padamu."
"Kamu enggak usah takut ya. Aku bukan orang jahat seperti suamimu," ucapnya lantang membuat Mita membelalakan matanya. Ia terkejut, bagaimana bisa Nata mengetahui bahwa ia sudah menikah? Apakah Nata mencari tau tentang Mita? Atau ia tau dari mana? Berbagai pertanyaan muncul dalam benaknya. Ia ingin sekali menanyakan hal itu, namun lidahnya terasa kelu dan tak mampu berucap.
"Aku tau Mita bahwa kau sudah menikah," ucapnya lagi.
"Ba-bagaimana ka-kau bi-bisa ta-tau?" tanyanya terbata-bata. Mita benar-benar tak habis pikir, bagaimana bisa Nata tau semuanya? Aneh sekali bukan? Apakah lelaki itu benar-benar anaknya dukun sehingga mengetahui semua apa yang terjadi pada Mita? Ah mana mungkin masih ada dukun di masa seperti sekarang ini, aneh sekali.
"Santai saja, tidak usah terkejut seperti itu. Aku benar-benar sudah tau semuanya. Aku enggak tahu yang dilakukan olehku ini gila atau tidak, namun kurasa yang dilakukan ini benar."
"Maksudmu?"
"Aku menyukaimu Mita. Menyayangimu melebihi kasih sayangku ke diriku sendiri. Aku merasa nyaman berada di dekatmu dan mengikuti aktivitasmu. Jujur, setelah mengetahui kenyataan bahwa kau sudah menikah, itu berhasil membuatku galau dan frustasi. Aku merasa tak bisa lagi untuk dekat denganmu karena kenyataannya ada sebuah tembok besar yang menghalangi, tetapi ketika aku mengetahui semuanya bahwa tak ada kebahagiaan yang kau dapatkan membuatku bertekad untuk mengambilmu dari dia."
"Apakah aku salah mempunyai semua rasa dan harapan ini, Mita?" Mita hanya diam menunduk, ia tak tau harus menjawab apa. Sungguh, ia merasa terkejut setelah mengetahui kebenarannya.
"Tapi … kamu tenang saja, Mita. Aku akan berusaha membuang jauh-jauh semua rasa yang dirasakan olehku ini. Tetapi, aku benar-benar tak ingin membuatmu bersedih. Bagiku bulir kristal yang keluar dari mata indahmu untuk sebuah kekecewaan adalah kesakitan mendalam untukku. Aku tak pernah ingin melihatmu bersedih maka dari itu selalu berusaha membuatmu nyaman di sampingku."
"Mita, jika memang ada sesuatu yang terjadi padamu, janganlah sungkan padaku. Aku akan selalu ada setiap kali kau butuhkan, aku mohon libatkan diriku ini ketika kau mempunyai masalah. Anggap saja aku ini sahabatmu atau kakakmu dan bisa juga adikmu. Jangan pernah menganggapku orang lain yang masuk ke dalam hidupmu dan duniamu," ucapnya untuk yang kesekian kali. Mita mengangkat wajahnya, ia pandang wajah lelaki tampan di hadapannya itu. Mita memandang lekat manik mata indah itu mencari sebuah kebohongan dari setiap kata yang terlontar dari mulutnya, namun ia tak menemukan kebohongan itu. Justru, yang Mita temukan adalah kejujuran yang tulus dari hati terdalam.
Mita menundukkan kembali kepalanya ke bawah, ia mengingat harus menjaga pandangannya. Ia tarik kembali tangan yang tadi digenggam lagi untuk yang kedua kalinya. Mita merasakan nyaman dan desiran rasa ingin memiliki dalam hatinya. Ada sebuah rasa ingin memeluknya dan menangis dalam pelukannya hingga puas. Mita seakan membutuhkan dan merasa kecanduan bersama Nata, ia ingin sekali menceritakan semua apa yang dirasakannya dan mencari solusi atas luka yang didapatnya. Namun, semua itu ia urungkan sebab perkataan suaminya untuk menjaga rahasia rumah tangga mereka selalu diingat dan teringat ditelinga.
"Tenanglah Nata, aku sungguh baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja. Kita 'kan teman yang sudah seperti adik dan kakak. Bolehkah aku menganggapmu sebagai Kakak, walaupun umurmu lebih muda dariku? Memang benar ya, kedewasaan tidak dilihat dari usia dan pendidikan, tetapi dilihat dari bagaimana kita menyelesaikan sebuah masalah dengan tenang dan tanpa mengedepankan sebuah emosi."
"Pengalaman di lingkungan sekitar memberikan pelajaran berharga dalam hidup. Kau pasti sudah banyak banget mengalami sebuah pengalaman pahit," ucapnya menerawang menatap manik mata Mita lekat-lekat.
"Makasih ya Nata, kehadiran setidaknya membuatku merasa memiliki teman, inshaa Allah aku baik-baik saja dan akan baik-baik saja. Kamu tenang saja," ucapnya menyakinkan Nata.
Mereka melanjutkan kembali obrolan yang sempat terpotong, oh bukan mereka lebih tepatnya Nata menceritakan kehidupannya baik dirumah, di tempat baru dan lainnya. Mita terbuai dengan setiap kata yang terlontar dari bibir berwarna pink itu. Mita mulai berpikir aneh, ingin rasanya ia mengecup sekilas bibir yang mungkin rasanya sangat manis itu, haha pikiran konyol dari seorang wanita yang tidak pernah disentuh oleh suaminya, wajar tidak jika wanita mungil itu berpikir bahwa suaminya itu hanya ingin keperawanannya saja dan tidak lebih dari itu. Suaminya licik? Mungkin iya tapi mungkin juga tidak, entahlah.