Tahu Cara Menaklukan Hatinya

1149 Words
Devya menoleh ke samping kanan, melihat Luna–mantan mertuanya—duduk di ruang tengah sembari melipat tangan di dadanya. “Mami? Kok nggak bilang kalau mau ke sini? Ada apa?” tanyanya, lalu menghampiri mantan mertuanya itu. Luna menghela napas kasar. Ia lalu beranjak dari duduknya dan menatap wajah Devya dengan datar. “Kenapa tidak pernah stay di rumah, Devya? Mentang-mentang Zion sedang di luar kota, seenaknya keluar masuk rumah tanpa seizin suami!” Devya mengerutkan keningnya. “Lho? Memangnya Zion tidak memberi tahu, kalau kami sudah bercerai?” “APA?” Luna membolakan matanya. “Bagaimana bisa, Devya? Tidak! Kalian tidak boleh bercerai! Mami ingin kamu dan Zion kembali lalu beri cucu untuk Mami. Bukan malah berpisah!” Devya menghela napas kasar. “Mi. Udah aku bilang berkali-kali, Zion yang mencegah aku hamil. Jadi, berhenti menyalahkan aku. Lagi pula, kami sudah sepakat bercerai kok.” “Halah! Di mana-mana yang tidak mau punya anak itu dari pihak perempuannya, Devya!” ucap Luna sedikit berteriak. Devya mengangkat kedua tangannya kemudian menghela napasnya. “Terserah Mami. Karena sampai kiamat pun Mami nggak akan percaya sama aku.” Devya kemudian pergi meninggalkan mantan mertuanya itu dan masuk ke dalam kamar. “Devya! Mami belum selesai bicara!” pekiknya memanggil Devya. Namun, perempuan itu tidak peduli. Ia tetap masuk ke dalam kamarnya karena ia harus segera bersiap untuk menghadiri acara sahabatnya itu. “Halo, Dyv. Lo jadi ke sini, kan? Semalam gue telepon kagak diangkat-angkat.” Sheril menghubungi Devya. “Jadi, Sher. Gue masih di kamar dan lagi ganti baju. Acaranya jam satu, kan? Sebentar lagi gue selesai.” “Oke, gue tunggu. Jangan mampir ke mana-mana dulu!” “Iya, iya.” Devya kemudian menutup panggilan tersebut dan mengambil hells-nya. Ia kembali keluar dari kamarnya. Melihat mantan mertuanya sudah tidak ada di sana membuatnya lega. “Jangan sampai manusia tidak punya hati itu ke sini lagi,” gerutunya kemudian segera melangkahkan kakinya dengan sangat lebar. Sesampainya di toko kue milik Sheril. Ia langsung menghampiri Sheril yang tengah berbincang dengan seorang laki-laki. “Sheril?” panggil Devya lalu berdiri di samping perempuan itu. Matanya membola usai melihat Daren lah yang tengah berbincang dengan Sheril. Lelaki itu kemudian melambaikan tangannya dan tersenyum hangat kepadanya. “Kalian … saling kenal?” tanya Sheril sembari menunjuk keduanya bergantian. Devya mendekatkan wajahnya di telinga Sheril. “Siapa dia? Kok ada di sini, sih?” bisiknya bertanya kepada Sheril. “Sepupu gue. Anaknya Om Bayu, kakaknya bokap gue.” Devya menelan salivanya. “Kok gue baru tahu, lo punya sepupu selain Meisya?” “Meisya itu adiknya Daren, Devya. Dia baru pulang dari Jerman. Kenalan gih. Atau udah saling kenal?” “Belum. Namanya siapa, Sher?” tanya Daren kemudian. “Devya. Sahabat deket gue sama Meisya.” Daren manggut-manggut dengan pelan. “Hi! Akhirnya, tahu juga nama kamu. Devya. Nama yang cantik.” “Yeu! Gombal! Mentang-mentang kagak jadi tunangan. Main embat aja, janda baru..” Devya menoleh cepat ke arah Sheril. Pun dengan Daren. Lelaki itu tampak terkejut dengan mode biasa saja padahal hatinya berteriak-teriak. “Oh! Sudah pernah menikah,” ucapnya dengan pelan. Sheril mengangguk. “Iya. Tapi, orangnya udah males punya laki baru. Nyari yang lain aja sana,” ucap Sheril kemudian menarik tangan Devya dan membawanya ke kerumunan orang-orang yang sudah tiba di sana. Acara grand opening sudah selesai dilaksanakan. Toko kue yang diberi nama Beauty Cake sudah resmi dibuka dan sudah siap beroperasi. “Lo kenal dari mana sih, sama Daren? Padahal baru tiga hari, dia di Indonesia,” tanya Sheril ingin tahu. Devya menghela napasnya dengan panjang. “Semalam gue ke club Gideon. Sekalian pesen kamar juga di sana. Kebetulan gue sama Zion juga baru cerai, otak gue lagi mumet.” Sheril mengangguk. “Iya. Gue tahu itu. Zion nikahi elo cuma patuh sama orang tua dan jabatannya. Dan akhirnya cerai juga.” Devya tersenyum lirih. “Udah setahun, Sher. Gue sama dia nikah. Tapi, gue belum bisa luluhin hati dia. Dan masih berhubungan sama mantan tunangannya.” Sheril mengusapi lengan Devya. “Ya udahlah. Suatu saat nanti mantan mertua lo bakalan lihat, mana yang bener dan mana yang salah. Lo udah berusaha semampu lo, tapi dia masih gitu. Biarin aja.” Devya tersenyum lirih. “Iya. Gue gak tahu awalnya kenapa gue sama Daren bisa kenal, Sher.” “Hah? Kok gitu? Maksudnya gimana coba?” “Tadi lo bilang, dia batal tunangan. Kenapa?” tanyanya ingin tahu. “Biasalah. Ceweknya hamil sama cowok lain.” Devya terkekeh pelan. “Kasihan banget.” “Dan lo belum jawab pertanyaan gue, kampret!” sengal Sheril kesal sebab Devya belum juga bercerita mengapa dia dan Daren bisa bertemu. Devya menghela napasnya dengan panjang. “Dia salah masuk kamar gue. Kamar yang dia pesan nomor dua puluh dan bersebelahan sama kamar gue. Maybe, dia masuk ke kamar gue dan kita … you know lah.” Sheril mengatup bibirnya menahan tawa mendengar cerita dari Devya. “Are you kidding me? You and Daren … oh my God. Kalian pake pengaman, kan?” “Mana gue tahu, Sheril. Gue gak sempat lihat bekas sarung dia juga.” “Devya! Lo! Astaga! Kalau lo hamil gimana?” ucap Sheril dengan mata membola. Devya menghela napas kasar. “Gak akan hamil. Gue udah dijaga sama pil kontrasepsi. Masih ada bekasnya waktu masih jadi istrinya Zion.” “Oh! Lega gue, Dyv.” Sheril mengusapi dadanya sebab lega karena Devya tak lupa dengan pil kontrasepsi yang rutin ia minum karena titah dari Zion. Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Devya masih betah di toko kue milik Sheril dan kini ia tengah menikmati satu potong redvelvet dengan segelas s**u segar. “Hi! Masih di sini rupanya.” Daren menghampiri Devya. Perempuan itu kemudian mengadah pelan dan tersenyum tipis. “Iya. Masih di sini,” ucapnya pelan. Daren kemudian menaruh ponselnya di atas mejanya. “Saya sudah minta nomor kamu ke Sheril. Boleh, saya mengabari kamu kapan saja?” Devya menelan salivanya dengan pelan. “Sorry. Saya sibuk dan jangan hubungi saya di sembarang waktu.” “No! Saya tidak akan mengganggu kamu. Baiklah. Saya kirim nomor saya saja. Jika ada sesuatu yang kamu butuhkan, kapan pun boleh chat saya.” Daren lalu mengirim pesan kepada Devya agar menyimpan nomornya. “Kamu boleh simpan dengan nama apa saja. Donna juga boleh.” Devya terkekeh pelan. “Customer Daren.” “What?” Daren tampak bingung. “Saya punya butik. Pakaian pria dan wanita juga menyediakan gaun pengantin. Jangan salah paham dulu.” Daren meringis pelan lalu menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Terima kasih dan salam kenal,” ucapnya lalu menjulurkan tangannya kepada Devya. Melihat pria ini tampak baik dan pantang menyerah, Devya pun membalas uluran tangan itu. “Devya.” “Daren.” Lelaki itu kemudian menerbitkan senyumnya kepada Devya. ‘Meskipun kamu baru jadi janda, bahkan sudah malas mencari pasangan lagi. Tapi, aku tahu cara menaklukan hatimu, Devya.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD