Siapa bilang Abel akan mandi? Jika waktu yang diberikan hanya sepuluh menit saja maka Abel akan berpikir berulang-ulang untuk mandi. Ia memiliki kebiasaan mandi lebih dari sepuluh menit sehingga ia memilih untuk tidak mandi. Abel tidak mau hal buruk terjadi, jadi ia hanya membasuh wajah setelah itu langsung memakai pakaian sopan. Abel mencium bau badannya, memeriksa apakah ada yang salah.
"Aman," ujarnya pelan. Abel melihat dirinya di pantulan cermin. Penampilannya masih normal, jadi walaupun ia tidak mandi maka tidak akan ada yang tahu. Abel tertawa sendiri, ada-ada saja kelakuannya.
Abel berjalan ke luar kamar. Sesampai di ruang tamu, mental Abel langsung ngedrop habis. Padahal di dalam kamar dia sudah sangat pede untuk bertemu dengan sang dosen. Tetapi apa sekarang? Bahkan tubuhnya sudah bergetar hebat dan jantungnya berdetak kencang seperti orang yang sedang mengalami jatuh cinta akut. Abel sedang tidak jatuh cinta, percayalah. Rasa takut mendominasi dan mengalahkan rasa cintanya.
"Kenapa nggak bilang kalau dosennya mau datang Abel?" bisik Mama pelan. Abel tahu Mamanya geram karena tidak ada persiapan sama sekali. Jika saja sang Mama tahu jika hari ini dosen Abel datang ke rumah maka mereka akan mempersiapkan banyak hal. Contoh kecilnya makanan tetapi lihat sekarang hanya ada minuman kopi hitam. Abel benar-benar tidak tahu jika sang dosen datang ke rumah. Kalau saja Abel tahu maka ia akan membawa Mamanya keluar rumah agar tidak bertemu dengan Pak Edgar.
Abel hanya tersenyum canggung kepada sang Mama. Bahkan Abel tidak berani menatap Pak Edgar secara langsung. Bulu kuduknya meremang, padahal ia tidak bertemu dengan makhluk halus. Ets, apa mungkin sang dosen makhluk halus? Abel langsung menggeleng kuat, jelas saja tidak.
"Kenapa geleng-geleng gitu?" tanya Mama kebingungan. Abel membalas dengan cengiran. Malu sekali tertangkap basah geleng-geleng kepala. Jangan sampai orang lain berpikir aneh tentangnya.
"Bagaimana Bu?" tanya Edgar meminta kepastian.
"Ibu terserah Abel saja nak," balas Mama sambil tersenyum. Mama memegang tangan Abel dengan lembut. Abel bisa merasakan tangan sang Mama yang selalu menyentuh dirinya. Meskipun tangan tersebut kasar karena bekerja berat tetapi menurut Abel tangan itu lah yang membuat Abel bisa seperti sekarang.
"Abel pasti setuju Bu, dia yang menyuruh saya untuk datang ke rumah."
Wah!! Ada apa ini? Abel sama sekali tidak mengerti topik pembahasan saat ini. Ia sudah seperti orang bodoh saja.
"Wah, sudah lama kenal sama anak Ibu ya?" tanya Mama penasaran.
"Kenalnya sejak dari semester pertama, saya mengajar di kelas dia. Tetapi untuk ke arah serius baru akhir-akhir ini."
Tunggu sebentar, ini ada apa? Siapapun tolong beritahu Abel. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Bapak sama Mama bahas apa?" tanya Abel. Ia sudah sangat penasaran sampai ke ubun-ubun.
"Saya kesini mau menyampaikan niat baik, bukankah kita sudah membahas hal ini beberapa hari yang lalu Abel?" ujar Edgar dengan senyum yang sama sekali tidak pernah Abel liat. Abel tahu senyum menyimpan banyak tanda tanya dan misteri yang harus segera dipecahkan. Senyum itu seperti mengatakan "Jangan main-main dengan saya".
Mata Abel langsung melebar, otot wajahnya menegang. Sebenarnya ia ada di posisi seperti apa. Kenapa bisa masuk ke dalam candaan garing yang membuat hidup Abel terseok-seok seperti sekarang.
"Ibu sangat senang jika memang kalian ada niat baik begini, " sambut Mama Abel penuh haru. Ia tidak pernah menyangka sang anak yang bar-bar bisa mendapatkan laki-laki pintar, baik dan berpendidikan seperti sekarang ini. Mama tahu Abel itu seperti apa, sangat susah untuk laki-laki menerima dirinya. Mama kira Abel mempunyai trauma terhadap sebuah pernikahan karena kasus perceraian dirinya dan Papa Abel. Ternyata tidak, Mama Abel tersenyum bahagia melihat anaknya bisa lari dari rasa trauma masa lalu. Meskipun sang anak selalu ceria tetapi Mama tahu bagaimana hancurnya Abel sejak berumur 10 tahun. Ia melihat sendiri pertengkaran kedua orang tuanya. Bagaimana psikis anak akan bagus? Mama lega sangat sangat lega.
"Iya Bu, dia anak yang baik. Saya sudah memperkenalkan diri tadi. Saya harap kedatangan saya di sini bisa memperlancar apa yang diinginkan kedepannya."
"Bapak serius?" tanya Abel masih belum percaya. Kehadiran sang dosen saja belum bisa dicerna baik oleh indra penglihatannya.
"Iya, Saya sebenarnya ingin melamar kamu setelah sidang skripsi tapi setelah dipikir-pikir lebih cepat lebih baik."
Wajah Abel memerah, sejak kapan dosennya bisa berkata manis dan lembut seperti sekarang. Abel sudah senyam-senyum sendiri dan malu-malu kucing.
"Wahh bagus itu Nak, kapan datang ke sini membawa orang tuanya?" tanya Mama Abel kehebohan.
"Jika Abel dan Ibu tidak keberatan, saya akan datang ke sini bersama wali saya satu minggu lagi."
Abel menutup mulutnya tidak percaya, Apa pelet di sepertiga malamnya manjur. Jujur saja membayangkan sang dosen datang seperti ini saja tidak pernah terlintas di pikiran Abel karena pasti sangat-sangat mustahil. Apalagi datang melamar dirinya. Abel ingin berteriak kepada dunia karena kebucinannya selama 4 tahun lebih tidak sia-sia.
Mereka bertiga ngobrol santai di ruang tamu tersebut, sebenarnya hanya Mama dan Pak Edgar yang mengobrol. Abel memilih untuk diam dan menunduk. Mama Abel yang banyak bertanya dan Pak Edgar menjawab dengan santai.
Jika ini mimpi, Abel tidak mau bangun karena pasti kenyataan amat menyakitkan. Tetapi sayangnya ini bukan sekedar mimpi belaka. Apa yang ada di depan merupakan situasi nyata dan tidak ada unsur drama apalagi prank yang biasa orang lakukan zaman sekarang.
Pukul sebelas siang, Edgar pamit karena masih ada beberapa keperluan. Abel mengantar sang dosen ke luar. Mereka berdua masih sama-sama mengunci mulutnya satu sama lain. Abel tidak mengerti, jika sang dosen hanya bermaksud menghukumnya saja maka sangat-sangat keterlaluan sekali. Mama Abel terlanjur senang dan sudah berharap lebih dan Abel tahu itu.
"Pak," cicit Abel pelan. Langkah Edgar terhenti.
"Bapak kalau mau hukum saya jangan bawa-bawa Mama, Saya tahu kesalahan saya karena tidak sopan selama ini. Tapi Bapak ja-
"Ketika saya datang ke rumah kamu itu tandanya saya serius," potong Edgar langsung.
"Mulut bapak boleh berkata begitu, tapi saya nggak buta Pak. To-tolong jangan sampai sejauh ini."
"Kamu kira saya nggak punya otak?"
Abel mati kutu. Ia menunduk melihat rerumputan yang sudah mulai tinggi. Siapa yang akan percaya? Abel tanya siapa? Pasti tidak akan ada.
Abel diam-diam berdehem pelan, mencoba menghilangkan rasa gunda gulana. "Apa alasan Bapak melakukan ini?" tanya Abel meminta alasan.
"Karena kamu mencintai saya, " jawab Edgar dengan nada serius. Bahkan raut wajahnya sudah kembali datar.
Abel tidak memunafikkan kata-kata itu tetapi ia juga tidak yakin. Cinta? Ia tidak mengerti apa yang dinamakan cinta. Jika boleh jujur Abel hanya tertarik dan penasaran dengan sang dosen. Ia berbeda dari laki-laki yang lain, ya mungkin masih banyak yang lebih baik. Jelas saja, Abel tidak yakin.
Abel tertawa dengan tidak niat, "Seberapa yakin bapak kalau saya mencintai Bapak?"
"Saya tidak tahu, tanya sama hati kamu. Jika kamu tidak mencintai saya, percayalah dalam rumah tangga kita nanti kamu tidak akan bahagia."
Abel meneguk ludah dengan susah payah. Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran sang dosen. Rasanya Abel ingin berenang menelusuri lautan pikiran yang ada pada Pak Edgar. Jika ia tidak berniat kenapa bisa sampai sejauh ini. Abel tidak akan pernah membuat hidupnya mengenaskan apapun yang terjadi.
"Jadi hanya karena saya mencintai Bapak, Woww... Saya merasa tersanjung Pak," ujar Abel dengan senyum miring.
"Sudah sampai sejauh ini, apa kita hentikan saja?"
Iris hitam Abel menatap tajam sang dosen, "Jangan pikirkan tentang saya, Pikirkan tentang Bapak nantinya karena dalam rumah tangga bukan hanya tentang satu orang tapi tentang dua orang. Bapak dan saya!"
Abel langsung berbalik untuk masuk ke dalam rumah, hari libur yang sangat mengejutkan. Bom besar itu memang nyata adanya. Apa yang bisa Abel lakukan kecuali hanya tertawa dan menemukan jawaban atas kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Bapak Edgar. Abel jadi tertantang, lihat saja siapa yang akan melambaikan tangan pada kamera nantinya.
"Abel!" panggil Edgar sebelum Abel benar-benar hilang dari pandangannya. Abel berbalik, ia mengangkat kedua alisnya melihat sang dosen sudah berada di dalam mobil.
"Kalau nanti lamaran resmi jangan sampai tidak mandi," lanjut Edgar dengan tak bersahabat.
Abel mematung, sejauh apapun ia menutupi ternyata ketahuan juga. Tetapi tidak lama setelah itu ia tertawa renyah, "Masih mau nikah sama saya Bapak Edgar Cahyadi?"
"Ketika saya memulai saya tidak akan berhenti, " balas Edgar dengan wajah serius.
"Jangan lupa skripsi kamu!" teriak Edgar lagi sebelum mobil benar-benar bergerak meninggalkan pekarangan rumah Abel.
Abel langsung berlari ke dalam kamar. Malunya sudah sampai ubun-ubun.