Jadi Juga

1184 Words
Abel berdiri sambil menyisir rambut di depan cermin. Ia baru saja selesai membersihkan diri setelah pulang bekerja dengan wajah lelah dan juga bau tubuh yang tidak sedap lagi. Setelah rambutnya rapi, Abel mengambil hp yang dicharger dan membaringkan tubuhnya di ranjang. Melupakan sejenak skripsi yang sudah beberapa hari ini Abel pelajari. Ia sudah mulai membuat program dengan mencari referensi dari beberapa situs yang menyediakan code-code program termasuk penelitian yang Abel angkat. Tentu saja codingan itu tidak lengkap. Jika kembali di ingat, apakah masalah Edgar dengan Abel selesai? Abel akan menjawab maybe. Toh sang Mama tidak bertanya-tanya lagi kepadanya. Abel punya firasat jika sang dosen sudah menghubungi atau bahkan bertemu sang Mama. Abel sudah menerima hal itu, tidak ada yang salah di sini. Ia akan mencoba melupakan segalanya dan kembali menjadi Abel seperti semula. Sebenarnya tidak ada yang berubah dari diri Abel, hanya saja ia jadi memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipikirkan. Abel merenggangkan otot-otot tubuhnya agar lebih rilex dan santai sampai sang Mama membuka pintu kamar. Abel kaget, ia langsung menoleh. "Jam berapa keluarga Pak Edgar datang?" tanya Mama. "Ha?" Gadis itu melongo. "Tadi pagi Pak Edgar hubungi Mama katanya bakalan datang nanti malam sama keluarganya," ujar Mama membuat Abel makin bengong tidak mengerti.Ia bahkan sudah garuk-garuk kepala. "Kamu kok belum siap-siap Abel, Ya Allah. Anak gadis kok kayak gini banget!" Mama memijit pelipis melihat kelakuan sang anak. Biasanya anak perawan akan deg-degan atau mempersiapkan diri berjam-jam untuk acara lamaran lalu kenapa Abel tidak demikian? Gadis berpipi bulat itu mengerutkan alisnya, masih mencoba membaca situasi. Otaknya mendadak lemot, bisa-bisanya lama memahami situasi. Mulai ke depannya Abel akan menjaga pola makan, ia akan makan makanan yang kaya akan gizi agar otaknya tidak lemot seperti sekarang. "Mereka ngapain datang Ma? perasaan Abel nggak punya hutang sama Pak Edgar," balas Abel dengan wajah polos. Mama jengah dengan respon sang anak, "Siap-siap aja sana!" Mama lantas keluar kamar meninggalkan Abel yang masih bingung. Abel memilih untuk tiduran di ranjang. Dia sedang datang bulan sehingga tidak perlu menunggu waktu isya untuk tidur. Rasa lelah membuat Abel mudah sekali tidur, bahkan saat duduk pun jika suasana adem ayem maka ia bisa tertidur. "Abel!!! Ya Allah..." "Apaaaa Maaa?!" Abel memekik, ia bahkan sudah berdiri dengan linglung. Badannya melemas kaget seakan jantungnya bisa ikut copot. Bayangkan saja sedang tidur enak bahkan sudah sampai ke alam mimpi dan di bangunkan seperti itu. Abel langsung saja berdiri karena kaget. Untung saja ia tidak berlari seperti tempo hari karena mengira ada gempa. "Itu keluarga Pak Edgar udah datang," ujar Mama ingin menangis saja. "Eh, eh? kenapa Ma?" Abel ikut panik sendiri. Mama menarik nafas panjang, mencoba memberikan Abel penjelasan agar segera mengerti. Apalagi situasi sangat mendadak seperti sekarang. "Pak Edgar sama keluarganya datang mau lamar kamu nak, makanya siap maghrib jangan tidur lihat kan sekarang! Udah cuci muka sana, terus siap-siap. Pakai baju apa aja yang penting sopan," ujar Mama. "Apaaa?" teriak Abel baru paham situasi. Mama bahkan sudah menutup telinganya. Beruntung kamar Abel kedap suara sehingga kecil kemungkinan orang luar dengar teriakan nyaring itu. "Mama... Abel nggak lagi  mimpi kan?" tanya Abel meminta kepastian. "Enggak Bel, buruan sana!" suruh Mama. Abel langsung masuk kamar mandi, ia mencuci wajah. Kamar sudah kosong karena Mama sudah keluar. "Tu dosen kapan coba waras dikit aja?" ujar Abel kesal. Bisa-bisanya ke rumah tidak memberitahu Abel. Lihat sekarang, ia sudah seperti kehilangan arah hidup. Jika sempat Abel mau menangis saja. Malu dia sudah sampai ubun-ubun. Beruntung pulang kerja ia langsung mandi, coba kalau tidak? Masa dua kali lamaran tidak mandi. Sekalian saja pas nikah Abel juga tidak mandi biar lengkap semuanya. Ups, Abel sudah berpikir sampai menikah. Ia langsung geleng-geleng kepala. Sebelum keluar Abel mengambil ponsel, ia mengetikkan beberapa kalimat untuk dikirimkan kepada sang dosen. WhatsApp Abel : Bapak kalau mau main atau balas dendam sama saya jangan sampai sejauh ini Abel menggigit bibir sambil menunggu balasan pesan yang ia kirim. Ia bahkan sudah mondar mandir berharap pesan itu di baca dan segera di balas. Abel : Bapak!!! "Balas-balas," pinta Abel memohon sendiri sambil melihat chat room dengan sang dosen. Abel melotot ketika pesan itu sudah centang biru dan info di bawah nama kontak adalah "mengetik". Abel harap-harap cemas, ia menggigit kukunya karena gugup dan gelisah. Pak Edgar : Keluar Ha? jawaban hanya itu saja. Abel benar-benar ingin memelet dosennya itu. Kalau perlu menghantam isi kepalanya. Bisa-bisanya di saat pikiran Abel kalut malah membalas pesan singkat seperti itu. Bukan jawaban itu yang Abel butuhkan. Bolehkan Abel berlaku gila sekarang? Pak Edgar : Abel Keluar "Iya iya," jawab Abel sendiri ketika membaca  pesan baru yang masuk. Abel melihat penampilannya di kaca. Tidak ada kesan wow, hanya biasa saja. Ini sama saja seperti penampilan saat ia berangkat kerja atau ke kampus. Abel menyiapkan mental, ia langsung keluar dari kamar dengan perasaan campur aduk. Es cendol saja kalah dengan perasaan Abel saat ini. Ia berjalan sambil menunduk. Lamaran seperti apa ini? Bisa-bisanya calon perempuan tidak tahu sama sekali. Jika Abel tidak ada di rumah bagaimana? Ternyata sang dosen hanya pintar dalam pelajaran atau pekerjaannya saja tetapi tidak pintar membaca situasi. Abel mendengar sang Mama meminta maaf atas kehadiran dirinya yang terlambat. Di dalam hati, ia sudah merutuki sang dosen. "Maaf ya Bu," ujar Mama Abel sekali lagi. Abel berani mengangkat wajahnya sehingga matanya bertubrukan langsung dengan sang dosen. Abel terpesona sedikit, ingat hanya sedikit saja. Suasana tidak heboh, lamaran hanya dihadiri oleh beberapa kerabat Edgar. Sedangkan Abel hanya bersama sang Mama. Perlu diketahui, Mama Abel hanya sendiri di kota. Sedangkan saudara-saudaranya berada di kampung. Jika ada yang bertanya dimana Papa Abel? maka Abel hanya akan tersenyum menjawab pertanyaan itu. Lamaran sederhana itu berlangsung dengan khidmat, tanggal pernikahan pun sudah ditentukan. Abel sama sekali tidak tahu yang mana orang tua dari sang dosen. Ia hanya ingin acara ini cepat selesai. Apa kesan Abel tentang lamaran dadakan ini? Tidak ada, bahkan ia tidak merasakan apa-apa. Hati kecilnya selalu bertanya-tanya apakah jalan ini yang baik? Apakah Abel akan sanggup bertahan? Kita lihat saja kedepannya. Abel tidak akan pernah mau kalah atas segala sesuatu. Apa yang menjadi miliknya tidak akan pernah ia lepaskan kecuali Allah yang mengambilnya. Permintaan yang Abel ajukan adalah pernikahan di lakukan sederhana. Akad Nikah dan walimahan di adakan di rumah Abel dengan kesan sederhana. Beruntung kedua belah pihak setuju. Apa lagi Abel baru tahu jika calon Ayah mertuanya tengah terbaring sakit sudah cukup lama. Mereka tidak mungkin mengadakan pernikahan mewah. Soal mahar Abel hanya menjawab "Mahar yang tidak memberatkan Bapak dan tidak merendahkan saya." Malam itu selesai begitu saja, Abel sampai tidak tahu jika sang Mama sempat-sempatnya memasak untuk makan malam. Jika tahu begitu, Abel akan memutuskan untuk cuti kerja. Senyum Ibunya tidak pernah luntur, Abel senang jika ibunya senang. Tujuan Abel dari dulu sampai sekarang adalah membuat Ibunya tersenyum. Melupakan rasa sakit yang dulu pernah terjadi. Abel tahu sang Mama masih tidak bisa menghapus rasa kecewa untuk Papa. Tetapi Abel tahu, hati Mamanya begitu baik. Buktinya saja sampai hari ini mereka masih tinggal di kota tersebut padahal tidak mempunyai sanak keluarga. Abel tahu, sang Mama tidak mau dirinya jauh dari Papa. Tapi apa? Kenyataannya, sang Papa malah membangun benteng sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD