Subuh-subuh Abel sudah kehebohan sendiri. Bagaimana tidak heboh jika ada wajah pangeran di hadapannya. Anggap saja Abel lebay karena sudah bucin akut. Edgar tidak seganteng dan sekeren apa yang dielu-elukan oleh Abel. Oke balik lagi, Abel dengan pipi merona memandang Edgar.
Kehaluan Abel sudah mencapai tingkat tinggi, wajar saja begitu karena ia perempuan dewasa. Ingat, Abel sudah dewasa. Dia sudah berumur 23 tahun dan sudah kategori 21 plus-plus.
"Kamu nggak shalat?" tegur Edgar dengan suara khas bangun tidur. Dia tahu jika sosok mahasiswa yang sudah menjadi istrinya ini sudah memandang wajahnya sejak tadi. Edgar bukan kepedean, ia akui banyak yang terpesona dengan wajah serta postur tubuh yang dimiliki. Tetapi mereka tidak tahu bagaimana cacatnya seorang Edgar. Jika mereka tahu, mungkin tidak akan ada lagi yang terpesona dengannya. Bisa jadi mereka jijik. Itu pemikiran Edgar, tetapi ada satu pertanyaan besar di dalam benaknya.
"Apa yang membuat Abel mau menikah dengan laki-laki cacat seperti dirinya?"
Edgar sama sekali belum menemukan jawaban sama sekali. Dia tahu pasti di luaran sana banyak yang mau dengan Abel. Perempuan dengan pipi chubby, senyum manis serta alis mata tebal. Wah, sejak kapan Edgar memuji seorang perempuan. Dia langsung mengenyahkan pikiran itu. Apakah Edgar ketularan virus error dari Abel? What?! Belum dua puluh empat jam, dia sudah tidak mengerti jalan pikirannya sendiri.
"Bapak harus banyak-banyak bersyukur," jawab Abel tidak nyambung. Edgar mengangkat satu alisnya karena tidak mengerti maksud kalimat yang keluar dari mulut sang istri.
"Maksud kamu?"
"Bapak harus banyak bersyukur karena bangun tidur aja kadar kegantengan Bapak nggak pudar, lama-lama otak saya berkelana kemana-mana kalau setiap bangun tidur ada bapak di samping saya," ujar Abel sambil nyengir.
Edgar tidak merespon, ia memilih memejamkan mata karena waktu subuh masih belum datang.
"Ets, mau adzan juga! jangan tidur atuh Bapak." Abel menoel-noel lengan Edgar dengan jari telunjuknya.
"Abel!!!" geram Edgar. Tidak bisakah ia tidur sejenak saja karena tubuhnya sangat-sangat kelelahan. Bukan hanya tubuh, tetapi otaknya pun sama.
"Jangan suka marah-marah atuh, nanti Bapak cepat tua. Nggak etis banget jalan sama yang udah tua. Apalagi saya unyu gini," ucap Abel dengan pedenya.
Mata Edgar yang awalnya tertutup jadi terbuka. Kontak mata mereka saling terkunci satu sama lain. d**a Abel berdetak kencang, lemah sekali hatinya. Cuma ditatap saja jantungnya sudah berdisko hebat.
"Kata siapa saya mau jalan sama kamu?" ujar sang dosen dengan wajah datar.
Jlebb, omongannya membuat d**a Abel langsung nyungsep ke gorong-gorong. Dasar suami kurang belaian, buat istri senang aja susah minta ampun.
"Ngomong kok suka bener si Pak, Bapak nggak takut saya sakit hati?" tanya Abel dengan bibir cemberut.
"Emang kamu punya hati?"
Lah... jadi selama ini Abel baper sama si Bapak pakai apa? Pakai jantung ya? atau pakai ginjal! Pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu Abel jawab. Jangan sampai obrolan unfaedah mereka berujung jadi aksi gelut. Kalau gelut dua satu plus plus maka Abel akan sangat senang tetapi kalau gelut seperti pegulat lebih baik jangan. Tidak lucu jika di sosial media ada berita tentang "Suami istri yang baru menikah kurang dari dua puluh empat jam terlibat aksi gelut sehingga membuat kepala botak."
"Jangan ajak saya gelut deh Pak," kesal Abel. Edgar langsung bangun dari ranjang. Baru beberapa detik, azan subuh berkumandang.
"Shalatnya di mesjid aja, saya nggak mau punya suami sholehah ya Pak," ujar Abel lagi. Terserah jika ada yang menyebut dirinya egois. Yang penting, ia akan berjuang memperbaiki iman dan takwa satu sama lain. Wah sepertinya Abel sudah cukup dewasa untuk itu. Bolehkan ia berbangga diri? Jelas saja tidak.
"Kalau saya nggak mau gimana?" tantang Edgar dengan wajah songong. Itu hanya menurut penilaian Abel saja, padahal wajah Edgar tetap sama seperti biasa.
Abel membuka selimut, berdiri tegak di atas ranjang dengan tangan yang dilipat di d**a.
"Oke nggak masalah, jangan marah kalau nanti saya grepe-grepe Bapak ya," balas Abel dengan senyum penuh kemenangan. Gila saja mulut Abel ini, apa otaknya memang tidak beres lagi. Dia sudah seperti tante-tante girang menggoda anak SMA. Yuhu, Abel ayo sadar.
"Kamu ngomong gitu nggak takut saya grepe-grepe balik?"
"Jelas tidak dong, Malah bagus kan ya. Sini kalau mau grepe-grepe saya Pak. Atau saya buka baju dulu?"
Abel sudah tidak tertolong lagi.
Edgar langsung masuk ke dalam kamar mandi, menyisakan Abel sendiri yang tengah merasakan debaran pada dadanya.
"Gue tadi ngomong apa?" teriak Abel tertahan. Dia langsung menutupi tubuh dengan selimut, tubuhnya grasa grusuk ke kanan dan ke kiri.
"Gue harus ke dokter kejiwaan, otak gue emang rada konslet kayaknya," ujar Abel lagi.
"Bagus kalau kamu sadar Abel!"
Suara bariton itu hadir lagi secara tiba-tiba. Abel langsung membuka selimut,"Bapak pengen saya cium terus saya peluk sampai sesak nafas," balas Abel dengan tatapan tajam.
Edgar mengangkat bahu, ia berjalan ke arah lemari untuk mengambil baju. Abel hanya melihat, setiap adegan masuk ke dalam memori otaknya. Lihat saja sekarang Edgar membuka kancing baju tidur satu persatu. Mata Abel menginginkan pemandangan itu, bahkan dalam hati dia sudah bersorak kehebohan.
"Roti sobek, roti sobek!" teriak Abel di dalam hati. Seakan sadar diperhatikan, Edgar berbalik dan menatap Abel dengan tajam.
"Mata kamu minta di colok ya?" sindir Edgar.
"Apa salahnya si, megang nggak boleh terus lihatnya nggak boleh. Saya bolehnya apa Pak?" tanya Abel balik tanpa rasa bersalah. Jika kalian berpikir Abel perempuan m***m, maka Abel tidak akan marah. Toh dia m***m dengan suami sendiri. Ada yang marah? Ayo jawab pembaca budiman.
Jika ada yang marah, maka Abel akan mengingat username pembaca tersebut dan Abel doakan. Jangan takut, Abel tidak pernah mendoakan orang yang buruk-buruk. Sejahat-jahatnya manusia kepada dirinya, Abel tidak akan berdoa buruk untuk mereka. Dia sangat ingat jelas bagaimana Mama mengajarkan untuk tidak mendoakan keburukan kepada orang lain sejahat apapun mereka, karena apa? Doa tersebut akan berbalik kepada diri kita dan diaamiinkan oleh malaikat. Abel jelas saja tidak mau, makanya ia berdoa yang baik-baik.
"Terserah kamu Abel," balasnya. Edgar selesai mengganti baju dengan begitu kilat, bahkan Abel hanya bisa melihat pemandangan indah itu sepersekian detik saja.
"Dasar pelit, roti sobek gitu kalau bukan buat istri buat siapa lagi?" gerutu Abel.
"Terserah saya dong buat siapa, kok kamunya yang nyolot si?"
Oke oke, Abel tidak bisa berkomentar banyak. Yang buat dia nyolot subuh-subuh begini siapa? Nggak mungkin tidak ada hujan tidak ada angin Abel langsung nyolot. Jelas aja ada intro terlebih dahulu.
"Untung sayang," lirih Abel.
"Saya mau ke masjid dulu," ujar Edgar melangkah keluar kamar. Abel hanya berdehem saja, ia memilih untuk masuk ke kamar mandi. Perdebatan kecil di subuh-subuh begini membuat rumah terasa lebih hidup. Abel bersyukur, sampai kapan pun ia tidak akan menyesali keputusan yang sudah ia ambil