"Mas," panggil Faza seraya menghampiri sang suami yang sedang bercengkrama dengan ibu dan kedua saudarinya yang sedang berkunjung.
Faza lantas duduk di sisi Salman sambil bergelayut manja. Senyumnya merekah membuat kedua kakak iparnya yang memang sejak awal tidak menyukainya memutar bola mata malas. Pun raut wajah sang ibu mertua yang tadinya sumringah seketika berubah masam, tapi Faza tidak peduli. Sebab yang penting baginya suaminya menyayanginya. Itu saja.
"Ada apa, Sayang? Sepertinya kau bahagia sekali?" tanya sang suami sembari mengusap surai panjang Faza yang bergelombang dan berwarna sedikit kecoklatan.
"Mas, aku ada kabar bahagia untukmu," ujar Faza dengan netra yang berbinar indah.
"Oh ya? Apa itu?" tanya Salman penasaran.
"Ck, air minumnya sudah habis," seru Salma-ibu mertua Faza.
"Mama mau minum lagi? Mau minum apa?" tawar Faza ramah sambil menatap sang ibu mertua yang tak pernah bersikap lembut sedikitpun padanya.
"Sudah tau, nanya," ketus sang ibu mertua. Salman sampai tidak enak hati sendiri dengan sang istri. Ia lantas mengusap punggung tangan Faza agar istrinya tidak mengambil hati akan sikap sang ibu.
"Iya, Mama memangnya mau minum apa? Nanti Faza ambilin." Faza tetap berusaha bersikap sabar.
"Buat teh saja sana." Ibu mertuanya tetap bersikap ketus sambil mengibaskan tangannya.
"Ya udah, Faza buatin dulu ya, Ma. Mbak Rani, mbak Susi, mau juga? Mas ... "
"Aku mau jus jambu."
"Aku mau jus jeruk," ucap Rani dan Susi bergantian.
"Mas nggak usah, Sayang. Ini kopi mas masih ada." Salman berujar seraya menggestur ke cangkir kopi miliknya.
Faza tersenyum. Ia pun segera beranjak menuju dapur. Di rumah itu sebenarnya ada asisten rumah tangga, tapi khusus menjamu keluarga sang suami, Faza akan bergerak sendiri. Hal itu ia lakukan semata demi meluluhkan hati ibu mertua dan kedua kakak iparnya.
Memang sejak awal mereka tidak menyukai Faza. Faza yang hanya berasal dari keluarga biasa saja, dengan seorang ayah yang bekerja sebagai tukang bangunan dan ibu yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa, membuat ketiga orang itu membenci dirinya. Sementara Faza, ia hanya mantan pegawai pabrik konveksi. Faza yang memiliki kegemaran menjahit bekerja di pabrik konveksi. Selain untuk mencari uang, Faza juga bekerja di sana untuk mencari pengalaman dalam jahit menjahit.
Bagi mereka, Faza yang hanya seorang perempuan biasa, tidak sepadan dengan Salman yang merupakan seorang pegawai kantoran. Meskipun mereka bukan dari kalangan atas, tapi setidaknya mereka memiliki pendidikan yang bagus serta bekerja di tempat yang cukup bonafit. Ibu kandung Salman sangat berharap anaknya bisa menikah dengan kalangan atas agar dapat meningkatkan taraf hidup dan derajat keluarganya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, putra satu-satunya itu justru menikahi Faza yang mereka anggap bagai benalu yang hanya bisa menggerogoti harta putranya saja.
"Ma, mbak Rani, mbak Susi, ini minumnya."
Faza meletakkan cangkir berisi minuman sesuai pesanan masing-masing.
Setelahnya, Faza kembali duduk di samping Salman. Salman yang sudah penasaran dengan apa kejutan yang hendak Faza katakan tadi pun menunggu tak sabaran.
"Sayang, katanya tadi mau mengatakan kabar bahagia. Apa kabar bahagianya?" tanya Salman.
Faza lantas merogoh saku celananya dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Lalu dengan bahagianya, Faza menyodorkan sebuah benda pipih berwarna putih dengan garis dua berwarna merah di atasnya.
Salman yang memang baru kali ini melihat benda itupun mengernyitkan dahinya bingung.
"Ini kabar bahagianya, Mas," ujar Faza bahagia dan penuh semangat.
Sementara Salman menatap bingung benda pipih tersebut, ibu mertua serta kedua kakak iparnya justru membelalakkan mata mereka.
"Kamu hamil?" seru ketiganya kompak.
Mata Salman seketika membulat mendengar pertanyaan itu.
Dengan raut wajah bahagia, Faza mengangguk, "iya, Ma, Mbak, Faza hamil."
Faza tidak tahu, apa yang disampaikannya itu membuat semua orang terkejut dengan raut wajah penuh kemarahan. Faza pikir dengan kehamilannya tersebut bisa membuat ibu mertua dan kedua kakak iparnya luluh dan menjadi sayang padanya. Atau minimal dapat bersikap lebih baik padanya.
Apalagi kakak pertama suaminya itu hingga kini belum juga dikaruniai seorang anak meskipun sudah hampir 5 tahun menikah. Sementara kakak kedua suaminya selalu mengalami keguguran. Sudah 5 kali hamil, tapi sebanyak lima kali pula ia harus menjalani kuretase karena kandungannya yang lemah dan berakhir keguguran atau terpaksa digugurkan.
Namun semuanya tak sesuai ekspektasi Faza. Justru apa yang Faza sampaikan akan menjadi malapetaka bagi dirinya sendiri. Bukannya bahagia, semua orang justru menatapnya nyalang penuh kemarahan.
"Anak siapa yang kamu kandung?" seru sang ibu mertua dengan wajah merah padam.
"Benar, anak siapa yang kau kandung itu? Katakan cepat!" seru Rani sang kakak pertama suaminya.
"Salman, bagaimana kau menikahi perempuan yang sudah ditiduri laki-laki lain hingga hamil seperti ini?" cetus Susi dengan rahang mengeras.
"Ma, mbak, apa-apaan kalian? Kenapa kalian mengatakan itu? Aku tentu saja mengandung anak Mas Salman, bukan laki-laki lain seperti yang kalian tuduhkan!" seru Faza tak kalah terkejut dengan tuduhan-tuduhan tidak mendasar yang dilontarkan ibu mertua serta kedua kakak iparnya tersebut.
"Anak Salman? Hello, apa kau pikir kami ini bodoh, hah! Kau itu baru dua Minggu menikah dengan Salman, lalu tiba-tiba saja kau mengatakan kau hamil anak Salman, jangan bercanda," sentak Rani berang.
Rani marah. Ia juga tidak percaya dengan kehamilan Faza. Ia saja yang sudah menikah selama 5 tahun belum juga dikaruniai seorang anak, lalu Faza yang baru 2 Minggu menikah dengan adiknya tiba-tiba saja mengatakan kalau ia mengandung. Jelas saja ia tidak percaya sekaligus tidak terima. Bagaimana Faza begitu mudahnya hamil, sementara selama 5 tahun ini, tak ada sedikitpun tanda-tanda kehamilan padanya.
"Tapi mbak, aku benar-benar hamil anak Mas Salman. Aku berani bersumpah," seru Faza berusaha untuk meyakinkan kakak iparnya kalau ia benar-benar mengandung anak adik laki-laki perempuan itu.
"Salman, memangnya kau sudah menyentuhnya sebelum menikah?" tanya Susi para sang adik.
"Nggak, Mbak. Aku nggak pernah menyentuhnya sebelum menikah. Kami baru pertama kali melakukannya setelah resmi menikah," jawab Salman jujur. Meskipun ia bukan seorang muslim yang taat, tapi ia tetap menjauhi zina. Jadi mereka baru melakukan hubungan suami istri setelah resmi menikah.
"Kau dengar itu, Salman saja menyentuhmu setelah menikah, lantas bagaimana tiba-tiba kau mengatakan hamil kecuali sebelum menikah kau sudah melakukannya dengan laki-laki lain," ejek Susi membuat tangan Faza terkepal erat.
"Demi Allah dan demi Rasulullah, aku tidak sehina itu. Anak ini benar-benar anak Mas Salman, bukan anak laki-laki lain seperti yang kalian tuduhkan," jerit Faza yang tidak terima atas tuduhan kedua kakak iparnya itu.
"Berhenti berdusta, Faza. Kami ini sudah menikah lebih dulu daripada kamu, jadi kami sangat tahu tentang kehamilan. Mana mungkin dalam jangka waktu 2 Minggu kau tiba-tiba hamil kecuali sudah di DP laki-laki lain sebelum menikah dengan Salman," hardik Rani.
Mata Faza terbelalak. Ia tidak menyangka kehamilan yang ia pikir akan mendapatkan sambutan hangat justru mendapatkan penolakan. Bahkan kakak iparnya dengan terang-terangan menuduhnya yang bukan-bukan.
Lelah berdebat dengan ibu mertua dan kedua kakak ipar, Faza pun beralih pada sang suami.
"Mas, Mas percaya sama aku kan? Aku nggak bohong, Mas. Anak yang aku kandung ini benar-benar anak kamu. Tak ada yang tidak mungkin. Hamil setelah menikah dua Minggu itu bisa saja terjadi. Kalau Mas tidak percaya, Mas bisa ikut aku ke dokter untuk mendapatkan penjelasannya secara medis," ucap Faza sambil memeluk lengan Salman yang sejak tadi diam tak bergeming. Besar harapan Faza kalau suaminya bisa lebih bijak dalam berpikir. Tidak terprovokasi oleh kata-kata ibu serta kedua kakak perempuannya.
Akankah Salman mempercayai Faza? Ataukah sebaliknya?