Lupita. Panggilan manis yang selalu membuat sang pemilik nama selalu bahagia dan berseri-seri dalam menjalani kehidupannya sembilan belas tahun ini. Gadis cantik dan pintar itu kini baru saja menempuh dunia perkuliahan.
Menjejaki semester satu yang bagi semua orang masih cukup bisa digunakan untuk berleha-leha dan keluar sana-sini. Lupita tampak bersemangat setiap harinya. Ia menempuh pendidikan jurusan PGPAUD (Pendidikan Guru PAUD). Memang parasnya yang imut dan menggemaskan akan sangat cocok jika beriringan dengan anak-anak TK.
"Lupita!"
"Hai..udah datang?" tanya Lupita tanpa menoleh pada Angel yang baru saja tiba di meja cafe ini.
Gadis itu sedari tadi nongkrong di cafe seorang diri. Sebelum akhirnya beberapa menit yang lalu Angel mengabari hendak menyusulnya kemari. Angel yang disambut dengan tidak mengenakkan pun langsung merebut ponsel yang dipegang oleh Lupita.
"Angel! Apaan sih!? Balikin!" Lupita mencak-mencak dibuatnya.
Sedangkan Angel justru menjulurkan lidahnya dan santai duduk di depan Lupita sembari menyilangkan kakinya. "Aku mau ngecek, Lupita Sayang. Siapa tahu kamu udah punya bucinan! Kan aku nggak mau dicuri startnya sama kamu. Enak aja."
Lupita memutar bola matanya malas, "apaan sih!? Bucin-bucin. Nggak ada yaa Ngel.."
"Iya-iya percaya. Nih." Angel mengembalikan ponsel Lupita yang ternyata layarnya menampilkan aplikasi game online yang digemari seribu umat itu.
Cappucino panas baru saja datang. Setelah tadi Angel berpesan pada Lupita agar memesankannya sebelum datang.
Slruupp..
Lupita sendiri menatap Angel dengan tatapan datarnya. Sebenarnya makhluk apa temannya itu? Cappucino panas langsung masuk ke tenggorokannya begitu saja!
"Nggak panas?" Lupita mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali.
Angel menggeleng. Matanya sedari tadi tertuju pada seorang lelaki berjas hitam dan berdari merah di ujung sana. "Ada yang lebih panas, Pit."
"Apa?"
"CEO ganteng tuh!"
Lupita mengikuti arah kepala Angel yang baru saja bergerak seolah menunjukkan sesuatu padanya. Ternyata, di ujung sana. Seorang lelaki berjas dan berdasi seorang diri tengah duduk. Di depannya tergeletak laptop, secangkir kopi dan beberapa kertas serta map.
"Sok tahu! Tahu dari mana kamu kalau dia CEO? Kalau ternyata dia cuman cleanning service, gimana?"
"Hust! Sembarangan.."
"...nggak mungkinlah! Ganteng, cool, hot bingitss gitu dibilang cleanning service," lanjut Angel tak kalah kukuhnya menyanggah ucapan Lupita barusan.
"Terus kenapa kalau dia CEO?"
"Ya siapa tahu kamu mau Pit. Nggak capek jomblo terus? Cobalah sesekali kamu tuh cari cowok. Masa aku temenan sama kamu dari SD, SMP, SMA bahkan sampai sekarang kuliah pun..kamu masih JOMBLO." Angel terang-terangan menekankan kata 'jomblo' hingga membuat Lupita mendengkus kesal dibuatnya.
"...."
"Kenapa diam aja? Selalu nggak bisa jawab kalau aku udah bahas-bahas cowok. Kenapa sih sebenernya Pit? Kamu trauma apa gimana?"
"Jangan-jangan..TK kamu pernah ditolak cowok ya?" Angel mencoba menerka-nerka.
Mendengar terkaan sang sahabat barusan. Kedua bola mata Lupita membulat sempurna. "E-Ehhh enak aja! Seorang Lupita yang cantik dan pintar ini. Ditolak? Ya nggak mungkinlah! Gila apa.." Lupita mengibaskan rambut curlynya yang berwarna pirang itu.
Taman Kanak-Kanak. Tempat bermain dan belajar bagi anak-anak. Namun siapa sangka jika seorang Lupita telah mengerti tentang menyukai seseorang. Dia merupakan anak TK B. Sedangkan, Lupita TK A.
Sikap Damar yang sangat baik dan selalu memberinya permen lolipop itu, diartikan sebagai tanda suka oleh Lupita.
Hingga suatu ketika, badai menerjang..
"Damar?"
"Iya Pita. Ada apa?"
"Kok kamu dekat-dekat terus sih sama Alice!? Katanya kemarin kamu suka sama Pita.." Raut sedih Lupita membuat Damar tak tega. Lelaki kecil itu lantas memberikan uluran tangannya.
Lupita yang kebingungan dan tak tahu maksud Damar pun bertanya, "Kenapa?"
"....." Damar masih enggan menjawab dan terus mengulurkan tangannya. Hingga Lupita menjabat tangan anak laki-laki yang disukainya itu.
Damar berkata, "Maaf ya Pita. Aku lebih suka sama Alice. Kamu dan aku hanya adik-kakak."
Dengan mood yang sudah berantakan. Kini makin ngenes saja ketika seorang Lupita yang masih sangat imut itu mendapati ucapan yang begitu jujur dan langsung dari sosok lelaki yang ia sukai.
Damar lebih memilih Alice.
Meninggalkan Lupita dan rasa kecewanya seorang diri.
Lupita benar-benar tak ingin lagi mengingat-ingat memori sialan yang selalu berputar dibenaknya itu. Tentang wajah Damar yang biasa saja ketika mengatakan maaf dan menyatakan rasa sukanya pada Alice. Tentang tangan Damar yang kala itu dijabatnya. Arggghhhh..
"Pit?"
"Lupita!?"
"Eh-! Jangan teriak dong, Ngel! Aku denger kok.."
"Udah ngelamunnya? Kenapa? Pasti ngelamunin Mas CEO itu ya!? Hayoo ngakuuu..."
Tak tahan dengan Angel yang terus saja membercandainya menyangkut perbucinan. Lupita pun memutuskan untuk beranjak. Sebelum beranjak ia berucap, "Bukannya aku nggak mau Ngel. Aku pengen fokus kuliah dan juga aku masih mencoba buat berteman sama temen cowok. Kamu tahu kan? Mas Andra sama Mas Pras nggak suka aku dekat-dekat cowok. Bye.."
"Tapi kan kamu udah kuliah sekarang! Pastinya dibolehin lah!"
"Pitt! Lupita!!" teriakan Angel yang telah menggema di seluruh penjuru cafe ini sama sekali tak digubris oleh Lupita. Lupita pun tak menghentikan langkahnya bahkan berbalik badan pun tidak. Ia terlanjur malu dengan teriakan bar-bar Angel.
Akhirnya, untuk kesekian kalinya. Lupita menjauhi zona bucin.
Malam hari diakhir pekan sudah menjadi kebiasaan keluarga Lupita untuk sekedar berkumpul dan bercengkrama. Menghabiskan waktu setelah seminggu mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Kali ini, Mama, Papa, Lupita, dan kedua kakaknya tengah menonton film dengan genre horror yang membuat mereka beberapa kali berteriak karena jumpscare.
"Sialan! Mbak kunti tiba-tiba aja eksis." Pras mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak tak karuan. Kaget ketika kuntilanak muncul di layar tv besarnya.
"Mas..Mama bilang apa?"
"NGGAK BOLEH NGUMPAT," Lupita, Papa, dan Mas Andra kompak menjawab.
Pras sendiri malah menyengir kuda. "Hehe. Kelepasan Ma. Maaf Ma, Pa dan saudara-saudaraku tercinta." Mereka pun lanjut menonton hingga akhir film.
Diakhir film horror ini justru menampilkan adegan romantis. Hingga membuat mereka yang menonton terbawa perasaan. Sebuah akhir menyedihkan membuat Mama mengambil tisu untuk mengusap air matanya. Lupita sendiri seseorang yang seperti mati rasa, hingga ia biasa saja menyaksikan sad ending ini.
"Pit?"
Mendengar namanya dipanggil. Lupita menoleh pada Mas Pras. "Apa Mas?"
"Kamu nggak nangis? Mama nangis bombay tuh!"
"Nggak. Biasa aja," jawab Lupita dengan santainya.
Papa yang kebetulan berada di samping Lupita pun mengusap lengan putrinya itu. "Anak Papa ini mana ngerti romantis-romantisan begitu sih Mas.."
"Pit-Pit.. kasihan banget kamu," ujar Mas Andra kali ini.
"Kasihan kenapa Mas?" Mama bertanya seusai menuntaskan tangisnya.
"Yaa kasihan Ma.."
"..Pit, maaf ya kalau Mas-Masmu ini nggak ngebolehin kamu temenan sama cowok selama ini. Tapi, berhubung sekarang kamu sudah kuliah dan sudah menjelma menjadi anak gadis kebanggaan keluarga kita. Kamu boleh kok suka-sukaan, bucin-bucinan, cinta-cintaan, apapun itu yang memang wajar dan normal. Boleh." Mas Andra anak pertama dan yang paling bijak pun mencoba menjelaskan maksud perkataannya. Mengambil kuliah jurusan psikologi dan menginjak semester akhir, membuatnya sedikit banyaknya tahu tentang arti sikap Lupita selama ini.
"Iya Pit. Nggak apa-apa kok. Kita udah nggak khawatir lagi. Insyaallah kamu sudah bisalah jaga diri. Ya kan Ma, Pa?"
"Sok religi kamu Mas! Tadi aja ngumpat-ngumpat. Sekarang ngucap 'Insyaallah'.." cibiran Mama sukses membuat semua orang tertawa. Termasuk Lupita.
Lupita bahagia dengan hidupnya yang selalu dijaga baik-baik oleh kedua saudara lelakinya itu. Toh, selama ini niat mereka baik.
Bagi Lupita, ia berperan bak Tuan Putri di dunianya ini.
***