Sore ini, Mas Andra dan Mas Pras tengah battle dengan stick PS-nya masing-masing. Mama tengah membuat pisang cokelat sembari menunggu Papah pulang bekerja. Lupita sendiri tengah bereksperimen membuat cappucino hangat ala rumahan. Ia akan menyajikan tiga gelas ini bersama pisang cokelat buatan sang mama.
Dengan nampan, Lupita membawanya ke ruang keluarga. Di sana Mas Andra menoleh karena mencium bau harum cappucino. Indranya memang benar-benae tajam.
"Ngerti aja Mas kalau lagi bawa cappucino? Nih..cappucino panas." Lupita duduk dan menyerahkan segelas cappucino itu kepada Mas Andra.
Mas Pras hanya mencuri-curi pandang sesekali. Kemudian menyeletuk, "Oh jadi cuman punya satu Mas! Yang ganteng satunya nih nggak ditawarin. Padahal kemarin-kemarin yang nganter ke TK juga Mas!"
Mendengar sindiran yang dilayangkan kepadanya. Lupita menggembungkan kedua pipinya. Lalu, menyerahkan secangkir cappucino panas yang satunya untuk Mas Pras. Ia tersenyum manis, "ini buat Masku yang paling IKHLAS. Selalu baik, dan selalu antar Pita. Makasih banyak ya Mas Pras.."
Lupita mengedip-ngedipkan kedua matanya berulang kali. Mas Pras yang tak betah melihat pemandangan sok imut di depannya itupun langsung menyambut cappucino hangat jatahnya. Tak tahu jika cappucino di gelasnya itu masih panas hingga mengebul asapnya. Mas Pras nyelonong dan langsung menyeruputnya.
"s**t! Panas Pit.." Dengan menunjukkan raut wajah yang memerah akibat sakitnya lidah yang terkena air panas itu. Mas Pras mengumpat dengan suara yang lumayan keras.
Papah yang kebetulan baru saja masuk rumah malah disambut u*****n yang berasal dari bibir Mas Pras. "Kamu Mas-Mas. Papah pulang, ngumpat! Kurang-kurangin kalau ngumpat Mas. Nggak baik. Contoh tuh Masmu sama Adikmu."
Merasa dipuji dan dijadikan contoh. Baik Lupita maupun Mas Andra tersenyum penuh kemenangan. Sedangkan Mas Pras bangkit dari duduknya. Mengambil tangan Papah, lalu dikecupnya. Dan, beranjak..
"Kemana Pras!?" tanya Mas Andra.
"Ambil air dingin. Panas lidahku Mas. Emang nggak ada akhlaq si Lupita!"
Lupita justru terkekeh pelan. Haha! Sesekali memberi pelajaran pada Mas Pras yang kerap menjadi playboy di kampusnya itu, tak masalah bukan. Toh, Lupita juga tidak sengaja. Sedari awal juga Lupita menyebutnya cappucino panas, bukan hangat.
"Rasain tuh Mas! Makanya jangan suka nyakitin cewek."
"Emangnya siapa ceweknya Pras, Pit?" Mas Andra memandang Lupita dengan penuh selidik. Papah yang kebetulan juga tengah duduk di sanapun juga ikut menguping.
"Ee-ee a-adalah pokoknya Mas! Lha emang 'kan.. Mas Pras itu playboy kampus. Siapa coba yang nggak kenal sama Ardess Prasetyo." Mas Andra hanya manggut-manggut saja, mencoba mengerti dengan apa yang barusan Lupita ucapkan.
Begitulah pertikaian kecil yang kerap mewarnai keluarga tersebut. Lupita kerapnya memang selalu berselisih dengan Mas Pras. Jarang sekali dengan Mas Andra, justru sebaliknya. Mas Andralah yang selalu menjaga dan melindungi Lupita tatkala Mas Pras memarahinya karena kesal.
Tibalah saat malam. Pukul sembilan malam, Lupita melepas kacamatanya sejenak. Ia pun juga menekan mode sleep pada laptopnya. Kemudian keluar kamar, meninggalkan tugasnya.
Mencari cemilan di malam hari sebagai teman tugasnya, merupakan kebiasaan Lupita yang sulit terkendali. Ingatannya berpusat pada legit dan manisnya pisang cokelat buatan sang mama. Hingga langkah kakinya berjalan mengikuti pikirannya yang berharap semoga pisang cokelatnya masih.
"Iya Pak. Memang seperti itulah metode ringannya. Sebagai orang sudah semestinya bertanya. Bagaimana perasaannya saat ini? Ataukah bertanya perihal gambaran-gambaran karya Brian.. saya lihat, dari gambaran dia kemarin. Menunjukkan seorang anak laki-laki yang terus teringat akan kejadian yang telah merenggut nyawa ibunya."
Melihat kedatangan Lupita yang seperti hendak mengeluarkan perkataannya. Mas Andra pun mendekatkan jarinya di bibir, sebagai isyarat bahwa Lupita hendaknya diam terlebih dahulu.
"Iya Pak. Baiklah.. sampai berjumpa pertemuan minggu depan." Usai berkata demikian, Mas Andra mengakhiri panggilan teleponnya.
"Cari apa Pit?"
Lupita dengan raut kecewanya menjawab, "Cari pisang cokelat buatan mama, Mas. Tapi kok habis ya.."
Mas Andra terkekeh pelan, "dimakan Masmu yang paling ganteng, Pit."
"Wahhhh! Mas Pras emang bener-bener ya.." Lupita berkacak pinggang. Mas Andra sendiri tersenyum senang. Lupita berarti secara tidak langsung mengakui bahwa Mas Pras ini ganteng.
Matanya seketika terbelalak tatkala Mas Andra bangkit dari duduknya dan hendak beranjak. "Lohh Mas!? Mau kemana?" tanya Lupita menahan langkah sang kakak.
"Mau ke kamar. Kenapa?"
"Isssshh..duduk dulu. Pita mau nanya." Melihat ada titik keseriusan di mata Lupita, Mas Andra pun mengurungkan niatnya untuk beranjak.
Ia memilih kembali mendudukkan dirinya di kursi semula. "Ada apa Pit?"
"Klien Mas Andra itu Pak Dhika atau Brian, murid Pita?"
Mas Andra tak langsung menjawab. Ia masih menelisik maksud dari pertanyaan sang adik barusan. Mengapa Lupita penasaran seperti ini? Biasanya ia juga tak mau tahu urusan yang menyangkut dirinya.
Tak juga mendapati jawaban dari sang kakak. Lupita pun akhirnya ikut mendudukkan dirinya di samping Mas Andra. "Jadi gini Mas, Pita tuh kepengen tahu. Sebenarnya yang bermasalah itu ayahnya atau putranya? Kalau menurut terawangan Pita sih.. dua-duanya bermasalah. Hehe.." oceh gadis imut itu dengan kekehan tak bersalah diakhir kalimatnya.
Pletak!
Satu jitakan Mas Andra tepat mengenai dahi lebar Lupita. "Aduh! Sakit Mas.."
"Sembarangan saja kamu. Ayahnya Brian..maksud Mas, Pak Dhika. Beliau sehat wal afiat Pit. Klien Mas Andra itu Brian. Kamu pasti nggak nyangka 'kan? Anak sekecil itulah yang memang menjadi pasien pertama Mas."
Detik itu juga, berbagai ingatan Lupita yang baru seujung kuku bersama Brian sang murid mencuat. Benar dugaannya. Ada sesuatu hal yang membuat Brian benar-benar berbeda dengan murid-murid lainnya. Di usianya yang masih sangat kecil, ia tak mungkin bersikap demikian jika tak ada alasan dibaliknya.
Melihat Lupita yang hanyut dalam lamunannya itu. Mas Andra berdehem. Lupita seketika terseret kembali ke alam sadarnya. "Mas?"
"Hm." Mas Andra tak lagi menatap Lupita. Entah sejak kapan lelaki itu memainkan ponselnya lagi. Mengecek beberapa tugas yang memang lebih senang ia kerjakan di ponsel.
Dengan kehati-hatian dan mencoba untuk tidak mengorek privacy klien pertama Mas Andra. Lupita memberanikan diri bertanya, "Kalau boleh Pita tahu, kenapa sih sikap Brian berbeda dengan anak lainnya?"
"Kenapa kamu tanya-tanya soal Brian? Memangnya kamu akan peduli Pit? Jangan tanya deh, kalau cuman penasaran. Nggak tega Mas sama si jagoan."
Lupita buru-buru mengibas-ngibaskan kedua tangannya. Mencoba meyakinkan Mas Andra jika dirinya benar-benar peduli dengan Brian. Mau bagaimana pun juga, Brian 'kan murid Lupita.
"Brian mengalami trauma Pit." Kali ini raut wajah Mas Andra berubah menjadi lebih serius 3x lipat. Kesedihan di mata Mas Andra pun membuat Lupita semakin penasaran. Bagaimana bisa sosok kakaknya itu bisa terbawa perasaan? Pasti ini bukanlah hal yang sederhana.
Lupita bertanya lirih, "Trauma kenapa Mas?"
"Mas akan cerita. Tapi tolong jaga privacy klien pertama Mas ini." Lupita mengangguk antusias. Ia sudah menduga jika Mas Andra pasti bersedia untuk memberitahukan perihal Brian ini kepadanya. Toh, dia juga guru di kelas Brian belajar.
"Brian trauma karena mamanya meninggal di depan matanya sendiri. Kamu bisa bayangkan nggak Pit? Anak sekecil itu menyaksikan secara langsung detik-detik kecelakaan, kesakitan sang mama di ujung nafasnya hingga akhirnya meninggal di depan matanya. Sungguh gila Pit. Mas yang sebesar ini saja, pasti akan terus teringat kejadian yang memang mengerikan untuk anak seusianya itu. Tapi apa boleh buat. Ibarat nasi sudah jadi bubur. Dia pun kuat hingga sakit traumanya tak dirasa. Dan, menjadikan dirinya pribadi yang antisosial hingga kurang peduli dengan sekitar. Dia hanya tahu berinteraksi dengan ayahnya saja. Selebihnya, orang-orang sekitar..dia akan menjadi pribadi yang apatis. Itulah yang kini tengah Mas coba perbaiki. Paling tidak, mumpung dirinya masih kecil dan belum beranjak ke kehidupan dewasanya. Mungkin masih bisa disembuhkan dengan kasih sayang orang tua tunggalnya dan juga sedikit dukungan psikis dari Mas," jelas Mas Andra panjang lebar.
Lupita seketika lemas. Pundaknya jatuh turun begitu saja. Ia tanpa sadar telah bersender di kursinya.
"Kenapa Pit? Kok lemes gitu?"
"Kasihan Brian Mas. Muridku yang malang..."
Mas Andra memutar bola matanya tatkala mendengar ucapan sang adik. Serta wajahnya yang murung usai mendengar ceritanya itu.
Tak berhenti di situ. Mas Andra pun mengulurkan tangannya. Diusapnya rambut hitam Lupita. "Makanya..kamu harus bersyukur. Masih sehat fisik dan mental. Banyak orang di dunia ini yang terlihat sehat atau baik-baik saja. Namun didalam dirinya justru memendam sakit luar biasa karena trauma dan hal lainnya."
"Iya Mas. Pita bersyukur, karena Pita sehat wal afiat." Pita mengangguk dan menghamburkan dirinya ke pelukan sang kakak.
Sepersekian detik. Lupita berkata, "Oh ya Mas. Boleh nggak Pita coba bantu Brian juga? Kan Pita guru yang menemani dia belajar di kelas. Meski baru sih.."
"Boleh. Sangat boleh. Justru bagus. Mas tidak perlu repot-repot berkenalan dengan orang lain yang juga dekat dengan Brian. Orang adik Mas yang cantik dan imut ini yang menjadi gurunya." Mas Andra kemudian menghadiahi Lupita sebuah cubitan kecil di pipi kirinya. Gemas. Serta menghargai usaha bantuan yang ditawarkan Lupita.
***