Ah, rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan jalan-jalan sore di area taman dekat rumahku. Taman ini cukup luas, juga penataannya bagus. Dulu aku cukup sering menghabiskan waktu di sini, entah sekedar cari angin, atau beli jajanan di pedagang kaki lima.
Ngomong-ngomong, belum ada satu minggu di Jakarta, aku sudah rindu Jepang. Aku tidak memiliki banyak teman di sini, karena teman sekolahku dulu sudah sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing.
Perlu kalian tahu saja, awal mula aku berangkat ke Jepang adalah untuk liburan dan nostalgia. Kenapa aku bilang nostalgia? Itu karena, aku pernah mengikuti Program Pertukaran Mahasiswa selama satu tahun di sana. Jujur saja, aku lebih betah di Jepang daripada di Indonesia. Meski awal-awal aku sempat kesulitan berkomunikasi, tetapi lama-kelamaan semua bisa kuatasi dengan baik.
Kalau kalian penasaran tentang background pendidikanku, aku adalah alumni Teknik Kimia. Ya, aku adalah anak teknik yang banting stir jadi seorang designer pakaian. Tidak masalah, kan? Kurasa, tidak semua orang harus kerja sesuai jurusannya.
Dulu, aku mengambil jurusan itu karena sejak kecil IPA-ku unggul. Aku menuruti apa yang disarankan guruku, toh pada akhirnya aku sudah digadang-adang untuk melanjutkan usaha Papi.
Selagi Papi masih sehat, beliau membebaskanku menggapai apa yang aku mau, dengan syarat, tujuan akhir tetap perusahaan. Sayangnya, akhir-akhir ini, beliau mulai merecokiku dengan masalah jodoh, sampai mengancamku akan mencabut fasilitas dan memberikan seluruh warisan ke Kak Rika.
Aku pernah bilang, kan? Tanpa uang Papi, sebenarnya aku bisa survive sendiri. Aku terpaksa mengalah, karena selain tidak ingin dicap anak durhaka, aku juga sama sekali tidak rela andai usaha Papi jatuh di tangan Kak Rika.
Sejujurnya, aku sudah memiliki banyak butik yang menjual aneka fashion wanita dengan brand yang aku buat sendiri, yakni Deana’s. Di Jakarta, aku sudah berhasil membuka enam cabang, dan sedang berencana membuka cabang baru di kota lain.
Nah, sementara aku di Jepang, butikku dikelola oleh beberapa teman dan adik kelas yang sudah kupercaya. Terkadang, Mami datang mewakiliku untuk mengecek secara berkala. Dan sejauh ini, semuanya aman terkendali.
Aku tahu, kesuksesanku saat ini tentu ada campur tangan Papi. Awal mula aku membangun butik, aku menggunakan uang beliau. Akan tetapi, begitu sudah balik modal dan dapat laba, aku berhasil mengganti uang beliau secara penuh.
Dan sekarang, meski aku sudah mendapat penghasilan menjanjikan dari laba butik, aku masih ingin mencari banyak uang di Jepang. Bukan karena aku mata duitan, tetapi lebih kepada aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan dan masa mudaku yang tidak datang dua kali. Ibarat sambil menyelam minum air, selain aku liburan, aku juga belajar banyak hal dan menambah penghasilan di sana.
Paham maksudku, kan?
“Wah! Sejuknya!” Aku memutuskan untuk melepas masker, dan duduk di bangku yang terletak di sebelah pohon besar.
Aku menatap sekeliling, dan tersenyum begitu melihat banyak anak kecil bermain di taman. Namun, baru saja aku menyandarkan punggungku selama beberapa detik, tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak. “COPET!”
Aku reflek kembali menegakkan badan, dan begitu aku menoleh ke kiri, ada laki-laki berlari membawa tas perempuan berwarna merah marun. Praktis saat itu juga, aku mengambil batu yang ada di dekat bangku, lalu melempar benda itu ke arahnya.
BUG!
“Arrgh!”
“Asik, kena! – eh, jangan lari!” Aku segera berdiri dan mengejar Si Copet. Begitu berhasil merah bajunya, aku langsung menendang belakang lututnya, lalu memelintir tangannya ke belakang.
“Mbak, Mbak... sakit, tangan saya--- arg!”
“Sakit! Sakit! Nyopet aja berani, pelintir dikit, nangis! Cemen bener”
“Argh! Mbak! Tangan saya!”
Hanya berselang beberapa detik, sudah ada beberapa orang datang. Mereka segera meringkus copet itu, sementara aku segera mengambil tas marun dan mundur beberapa langkah.
“Makasih, Mbak, udah berhasil nangkap copetnya,” ujar salah seorang Bapak-Bapak, sambil menunduk sejenak padaku.
“Sama-sama, Pak. Oh iya, ini tasnya punya siapa—“
“Itu Mbak, Ibu-ibu baju hijau yang lagi lari ke sini.”
“O-oh iya, Pak. Saya kasihkan tasnya sekarang.”
Begitu copet itu dibawa pergi, aku berlari menghampiri Ibu-Ibu baju hijau yang masih berlari kecil. Beliau seketika berhenti, dan tersenyum lega begitu melihatku. “Ya ampun, Mbak, terimakasih banyak.”
“Sama-sama, Bu. Coba dicek dulu, isinya masih lengkap atau enggak,” ujarku sambil menyerahkan tas itu pada beliau. Aku kembali menaikkan masker sampai hidung, karena tiba-tiba aku ingin bersin.
“Masih, Mbak. Sekali lagi terimakasih banyak,” beliau menjawab setelah mengecek tasnya selama beberapa detik.
“Iya, Bu, sama-sama.”
Tiba-tiba saja, tepat di menit itu juga, ada mobil hitam berhenti di dekat kami. Pintu depan mobil langsung dibuka dari dalam, lalu muncul-lah laki-laki yang mengenakan jeans hitam, kaos hitam, dan kacamata bening.
Bussset, ganteng banget ini orang!
“Ma, kok di sini? Bukannya aku disuruh jemput depan kantor pos, ya? Untung aku nengok.”
“Mama hampir kecopetan, Lan. Untung ada Mbaknya ini.” Ibu tadi menunjukku dengan jari jempolnya.
“Kecopetan? Kok bisa? Tapi Mama enggak kenapa-napa, kan?”
“Enggak papa, Lan.”
Kali ini laki-laki itu menatapku, lalu menunduk sejenak. “Terimakasih...”
“I-iya, sama-sama.” Aku ikut menunduk sejenak, sekedar membalasnya.
“Ayo, Ma. Papa udah nunggu di rumah Om Eza dari tadi.”
“Iya, iya. Mbak, saya pamit ya?” Ibu itu menghampiriku, lalu meraih kedua tanganku sambil tersenyum. “Sekali lagi terimakasih.”
“Sama-sama, Bu.”
Laki-laki itu kembali menatapku sejenak, lalu segera ke mobil menyusul Ibunya. Aku masih berdiri di tempat ketika mobil hitam itu putar arah di depanku. Mataku menyipit begitu sadar kalau bentuk mobil itu terlihat tidak asing. Namun, aku buru-buru menggeleng karena di dunia ini sangat mungkin melihat bentuk mobil yang sama.
Iya, kan?
***
Malam ini, aku memilih untuk keluar bertemu dengan Sisil, salah satu teman jurusanku, yang sekarang bekerja di BUMN. Dia adalah satu-satunya temanku yang bisa kuhubungi sekaligus bisa kuajak keluar untuk sekedar makan bersama. Jangan tanya yang lain, mereka semua sepertinya sibuk.
Ngomong-ngomong, mood-ku cepat rusak kalau berada di rumah terus. Selain kepikiran dengan semakin dekatnya Hari-H, hari di mana aku harus bertemu dengan laki-laki yang akan dijodohkan denganku, aku juga muak kalau sering lihat wajah Kak Rika.
“Serius, De? Lo mau dijodohin?” Sisil melongo, setelah sebelumnya dia menyeruput minumannya sampai tinggal separuh.
“Emang lucu ya, kalau gue bercanda tentang perjodohan?”
“Ganteng, enggak, orangnya?”
“Enggak tahu, gue belum lihat, dan enggak peduli,” balasku sambil mengunyah cemilan yang ada di meja.
“Lo aneh!”
“Ya lagian, mau ganteng atau enggak, Papi sama Mami pengennya gue nikah sama dia. Kepo pun percuma. Cocok enggak cocok, gue harus mau sama dia. Iya, kan?”
“Nasib bener, lo, De. Cantik-cantik dijodohin. Padahal kalau lo mau, yang ngantri banyak, kan?” Sisil mulai menaik-turunkan alisnya.
“Dikira bagi sembako, pakai banyak yang ngantri!”
Sisil terkekeh pelan. “Tapi kayaknya, Papi sama Mami lo enggak mungkin sembarang pilih orang sih, De.”
“Ya, itu jelas. Tapi ya Sil, jaman sekarang siapa sih, yang bener-bener mau dijodohin? Kalaupun ada, dikit banget. Menikah itu enggak melulu tentang ganteng enggaknya, tajir enggaknya, tapi juga harus kenal karakter masing-masing. Lah gue? Boro-boro, deh!”
“Ngomong-ngomong, kakak lo masih semaunya sendiri?”
“Masih. Biasa lah, dia bisanya ngabisin duit Papi doang.”
“Kenapa enggak dijodohin ke dia aja, sih? Selain dia lebih tua, juga siapa tahu dia mau berubah.”
Aku mengedikkan bahu. “Enggak tahu, Papi sama Mami maunya jodohin ke gue. Kayaknya mereka udah capek mikir Kak Rika, jadi didiemin aja, yang penting enggak kelewat batas.”
“Tapi dia betah ya, jadi orang lain selama bertahun-tahun? I mean, sampai dia masuk kuliah.”
“Mungkin itu tak-tik dia buat ambil hati Papi sama Mami secara perlahan. Semacam bikin kenangan manis yang banyak dulu, biar melekat. Bisa aja, kan? Coba deh, meski udah tahu kelakuan Kak Rika kaya gitu, Papi sama Mami masih tetap baik, tetap ngasih uang jajan tiap bulan. Jujur, gue masih heran kenapa Kak Rika bisa berubah gitu. Padahal, setahuku, Papi sama Mami enggak beda-bedain kami. Kami sama-sama disekolahin di sekolah elit, uang jajan sama, sampai merek pakaian pun seringnya sama. Aturan aku dong, yang jahat ke dia, karena harus berbagi kasih sayang orang tua. Tapi kenapa, justru dia yang sering playing victim?”
“Semoga tobat aja deh, kakak lo itu.”
“Hm... aamin.” Aku mengangguk pasrah.
“Eh, itu Kak Dilan bukan, sih, De?” tiba-tiba saja, mata sisil menyipit, menatap ke arah pintu masuk.
“Dilan siapa, Sil?” aku ikut menoleh, dan tak menemukan seseorang yang kukenal.
“Ih, masa lo enggak tahu?”
“Siapa?”
“Dulu satu fakultas sama kita, beda jurusan aja. Kita maba, dia udah lulus, tapi masih sering ke kampus. Mantan Presma, anak arsitektur. Parah banget lo, kalau sampai enggak tahu!”
Aku menggeleng. “Emang enggak tahu, gue. Enggak kenal, skip!”
“Elo mah, skip-skip mulu! Pantesan, cantik-cantik jones. Sampai nikah pun, dijodohin!”
“Mulut lo, Sil, gue balurin saus juga, lama-lama!”
“Sadis sekali, Buk!” Sisil bergidik, tetapi lebih terlihat seperti mengejekku.
Sebenarnya, apa yang Sisil ucapkan tidak sepenuhnya salah. Dari dulu, aku tidak terlalu ambil pusing dengan lawan jenis. Aku malas ber-drama dengan orang yang belum tentu jadi sumiku.
Sebenarnya juga, kalau dipikir-pikir lagi, perjodohan yang dilakukan Papi dan Mami cukup tepat untuk membantuku dekat dengan laki-laki. Akan tetapi, tetap saja, kalau boleh memilih, aku masih tidak ingin dijodohkan. Aku masih berharap, bisa kenal dengan laki-laki secara pribadi, lalu merasa cocok, sampai akhirnya memutuskan untuk menikah.
Ya, sesederhana itu!
“Ya ampun! Ganteng banget, calon suami orang...” aku hanya memutar bola mata malas, begitu melihat Sisil terus fokus dengan laki-laki yang tadi dia maksud.
Serius sih, aku bahkan tidak tahu kalau ada anak fakultasku yang sempat menjabat Presma. Aku justru tahunya Presma dari fakultas tetangga, namanya Kak Haris.
“Iler lo, Sil, netes!”
“Hah? –Bangke!” Sisil mengumpat, ketika tangannya reflek mengusap bibir.
Aku tertawa pelan melihat Sisil menatapku kesal. “Lagian, lo natapnya udah kaya lihat artis aja. Kalau suka, samperin, sana!”
“Sadar diri, gue, cukup natap dari kejauhan aja udah seneng.” Sisil mulai menunjukkan ekspresi hiperbolis.
“Lebay!”
Sekitar sepuluh menit kemudian, aku dan Sisil akhirnya keluar restoran karena anak itu tiba-tiba ditelfon untuk segera pulang. Setelah Sisil pergi naik Taxi, aku berjalan gontai menuju mobil.
Aku yang baru saja hendak membuka pintu depan, tiba-tiba aku melihat ada uang seratus ribuan jatuh di dekat ban mobil yang parkir di sebelahku. Aku mengambil uang itu, lalu segera mengintip ke dalam.
“Lagi ngapain di mobil saya?” Aku berjengit kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara berat di belakangku.
“Ya ampun, Masnya, ngagetin aja!” Aku menunduk sejenak, sambil mengusap d**a*. “Ini saya nemu uang jatuh di bawah mobil!” Aku kembali mendongak, lalu mengulurkan uang itu.
“Ambil aja—“
“Eh bentar, bentar!”
“Apa?”
“Masnya yang kemarin sore, kan?”
Kening laki-laki di depanku seketika berkerut samar. “Saya?”
“Anaknya Ibu-Ibu yang hampir kecopetan. Iya, kan? Saya cewek yang kemarin pakai topi sama masker.”
“Oh, iya,” sahutnya pelan, lalu membuka pintu mobil bagian belakang. Dia meletakkan satu paper bag di sana, lalu mengitari mobil dan masuk di kursi kemudi.
“Mas, uangnya—“ kalimatku terhenti ketika mobil di depanku menyala, dan detik berikutnya langsung pergi begitu saja.
Saat ini aku benar-benar dibuat melongo tak percaya. Serius, baru kali ini ada orang yang mengabaikanku sampai seperti ini. Tanpa sadar, aku menggeram sambil meremas uang merah yang tadi kutemukan.
“Aku sumpahin dia sembelit tiga hari tiga malam!”
***
Note :
Presma = Presiden Mahasiswa