“Aaaa!” aku berteriak kencang ketika lagi dan lagi, aku gagal membuka koper yang saat ini tergeletak di depanku. Semakin dilihat, koper ini membuatku semakin ingin marah.
Aku meraup wajah kasar, lalu kembali mengotak-atik engsel password. Bagaimanapun juga, aku harus bisa menemukan nomor telfon atau identitas si pemilik yang mungkin saja ada di dalam koper ini.
Dilano Praja Winata.
Kenapa namanya tidak asing? Aku pernah dengar di mana, ya?
“Aaaa!” aku kembali berteriak, merasa benar-benar frustasi karena koper ini tak kunjung bisa kubuka.
“Dean! Dari tadi teriak-teriak terus, ada apa, sih?” tiba-tiba saja, kamarku dibuka dari luar. Saat ini, aku sudah melihat Mami berkacak pinggang di ambang pintu.
“Mi, bantu aku buka koper ini, dong!” aku berdiri, lalu segera menarik Mami masuk ke kamar.
“Loh, gimana, sih? Koper milik kamu, kok Mami yang suruh bukain?”
“Ketuker sama orang, Mi! Kesel banget, ih!” Aku menghempaskan badan di ranjang, lalu mulai guling-guling tidak jelas.
“Kok bisa ketuker, De?”
“Ya salahku sih, Mi. Waktu dijemput Pak Jono, aku main pergi gitu aja narik koper orang. Udah mau tiga hari, tapi belum kebuka juga itu koper. Apa dirusak sekalian, ya?”
“Ya udah, rusak aja, nanti ganti yang lebih bagus. Yang penting, isinya jangan sampai ada yang hilang. Mami ambil alat dulu.”
“Siap, Mi—“
“Eh bentar... ini udah tiga hari? Kok si pemilik enggak nyari kamu? Apa dia juga masih gagal buka kopermu?” Mami yang sudah memegang gagang pintu, kembali balik badan menghampiriku.
“Ya enggak tahu, Mi. Andai dia berhasil sekalipun, isinya enggak bisa ngebantu apa-apa.”
“Loh?” Alis Mami bertaut bingung.
“Soalnya, koper itu isinya cuma bikini sama lingerie yang waktu itu Mami sama temen-temen Mami pesen. Eh, ada barangku, sih, tapi cuma kotak make up doang.”
“Ya ampun! Jadi isinya justru pesanan Mami semua?”
“Iya, Mi! Dompet atau apa pun identitasku ada di tas itu, tuh!” aku menunjuk tas selempang yang menggantung di dekat meja rias.
“Ck, kamu ini! Kenapa enggak bilang dari kemarin kalau pesanan Mami udah kamu beliin? Bentar, Mami bantu buka kopernya.”
Sekitar lima menit Mami keluar dari kamarku, beliau kini sudah kembali membawa alat semacam obeng. Aku langsung ikut jongkok, menunggu Mami merusak engsel koper itu.
“Akhirnya, berhasil dibuka! Udah, cari sendiri identitasnya, Mami mau turun. Pagi-pagi udah keringetan gara-gara kamu!”
“Makasih, Mami cantik...”
Mami hanya mencibir sejenak, lalu segera keluar dari kamar. Sebelum membuka resleting kopernya, lebih dulu aku menyingkirkan engsel yang berhasil mami patahkan. Setelah itu, baru aku membukanya secara perlahan.
“Wow! Rapinya orang ini!”
Perlu kalian tahu saja, semua barang yang ada di dalam koper, tersusun sangat rapi. Aku melihat ada beberapa celana jeans dan kemeja, sepatu, juga topi berwarna putih. Kali ini mataku langsung terfokus pada map berukuran sedang yang terjepit di bagian tutup koper.
“Oh ini, semoga ada identitas dia.” Aku meraih map itu, dan langsung membukanya. Mataku seketika menyipit begitu melihat ada fotocopy ijazah Universitas Tokyo.
“Buset! Si Masnya alumni Universitas Tokyo?” aku kembali memilah isi map itu, dan mengembuskan napas lega setelah melihat satu kartu nama yang terselip di antara dokumen yang letaknya paling belakang.
Aku buru-buru megambil ponsel, dan langsung menghubungi nomor yang tertera. Panggilan pertama tidak mendapat jawaban. Aku mengulanginya lagi, dan masih tidak mendapat jawaban. Aku tak menyerah meski lagi-lagi panggilanku tidak diangkat. Sampai akhirnya, entah panggilan ke-berapa, seseorang di seberang sana menyapa dengan suara serak khas orang bangun tidur. “Hallo?”
“Hallo! Hei, masnya yang bawa koper saya! Ayo ketemu! Koper kita ketuker, nih!”
“Kamu bisa pelankan suara sedikit? Telinga saya masih normal.”
“Ehm! Iya, maaf, maaf...”
Apa barusan suaraku terlalu keras?
“Apa harus nunggu tiga hari dulu, baru menghubungi saya?” tanya laki-laki itu, kali ini suaranya sudah terdengar lebih jelas.
“Bukan gitu, tapi saya enggak tahu cara bukanya. Jadi, akhirnya saya rusak. Nanti saya ganti sama yang lebih bagus.”
“Ya.”
“Kok ‘ya’ doang, sih? Ini kita ketemu di mana? Hari ini pokoknya!”
Ini orang tidak butuh barang-barangnya, apa? Kenapa dia terdengar santai sekali?
“Terserah mau di mana, saya ikut.”
Aku berpikir sejenak, memikirkan kira-kira tempat mana yang cocok. “Di pintu masuk bandara aja, kalau gitu.”
“Bandara? Dari sekian banyak tempat, kenapa harus bandara?”
“Katanya terserah saya?”
“Ya sudah. Jam berapa?”
“Jam satu, maksimal telat lima belas menit. Kalau lebih dari itu, koper Masnya saya buang.”
“Orang aneh. Kamu yang salah, kamu juga yang galak.”
“Apa?—“
Tut ... tut ... tut...
“Loh? Mas! Mas— dimatiin? Wah!”
Keterlaluan! Dia benar-benar memutus sambungan telfonnya.
***
Untuk kesekian kalinya, aku membenarkan letak masker dan kacamata, memastikan wajahku jangan sampai terlihat. Aku kembali menoleh kanan kiri, berharap segera ada orang datang membawa koperku.
Sebenarnya, alasan aku minta bertemu di bandara adalah karena lokasinya cukup dekat dari rumahku. Selain itu, dengan penampilanku yang sangat tertutup seperti ini, tidak akan membuat orang lain berpikir macam-macam.
“Lima menit lagi enggak datang, beneran kubuang koper ini— eh itu bukan, ya?” tiba-tiba saja, aku melihat ada mobil berhenti di jarak seratus meter dari tempatku berdiri saat ini. Detik berikutnya, ada seorang laki-laki bermasker putih dan bertopi putih, keluar sambil membawa koper hitam. “Eh bener, itu koperku!”
Aku buru-buru menghampirinya, dan berhenti kisaran jarak tiga meter. Laki-laki itu tampaknya langsung paham kalau aku yang tadi menghubunginya.
“Mas Dilano, ya?” tanyaku setelah laki-laki itu berdiri tepat di depanku.
“Iya.”
“Ini uang ganti kopernya. Saya enggak sempat beli koper baru.” Aku mengulurkan amplop putih ke arahnya.
“Enggak usah diganti, toh resletingnya masih bagus. Anggap saja, uang ganti rugi koper, saya pakai buat bayar minuman kamu yang saya minum ketika di pesawat.” Laki-laki itu menyerahkan koperku lebih dulu, baru kemudian aku menyerahkan punyanya.
“Beneran, nih?”
“Iya. Saya pulang dulu—”
“Bentar, Mas! Bentar...” laki-laki itu kembali berhenti, padahal barusan sudah berjalan dua langkah.
“Apa lagi?”
“Ngomong-ngomong, Masnya tahu koper kita ketuker, itu lewat nama yang nempel di luar, atau udah sempat buka dan lihat isinya?
“Udah sempat saya buka. Saya awalnya malah enggak sadar kalau koper kita ketuker.”
“Itu isinya titipan orang, bukan punya saya!” Aku tahu ini tidak ada hubungannya dengan laki-laki itu, tetapi entah kenapa aku perlu mengatakannya.
“Oh...”
“Bentar, Mas! Kalau udah dibuka, kok engsel password koper saya masih bagus?” aku jongkok sejenak, untuk memastikan koperku benar-benar tidak ada yang rusak.
“Mungkin ini terdengar agak mustahil, tapi password kita sama.”
“Heh? Dari sekian banyak susunan angka di dunia ini, password kita bisa sama?” Mataku memicing tak percaya.
“Itu tanggal dan bulan lahir saya.“
“Serius? Eh bentar... kenapa harus bilang ke saya? Saya enggak peduli itu susunan angka apa buat Masnya.”
“Kamu enggak paham?” aku reflek mundur, ketika laki-laki itu tiba-tiba mendekat dan menyejajarkan tingginya denganku. Dari jarak yang sedekat ini, aku bisa melihat dengan jelas manik matanya yang terlihat bening dan hitam legam.
“P-paham apa?”
“Seseorang cenderung menggunakan ulang tahunnya atau ulang tahun orang terdekat mereka untuk password. Karena kalender tanggal hanya sampai angka 31, dan jumlah bulan hanya ada 12, maka semesta dari kemungkinan susunan angka yang terbentuk, tidak sebanyak yang kamu bayangkan. Itu artinya, presentase kemungkinan tersusun angka yang sama, jadi semakin besar. Paham?”
Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk. Dia kira aku sebodoh itu, sampai tidak paham konsep peluang?
“Ya sudah. Terimakasih sudah mengantar koper saya, dan saya minta maaf karena sudah salah ambil,” ucapku akhirnya.
“Hm.” Laki-laki itu kembali menegakkan badannya, lalu pergi begitu saja menggunakan mobil range rover hitamnya. Setelah itu, aku buru-buru menghampiri mobilku yang sengaja kuparkir agak jauh.
Selama perjalanan pulang, entah kenapa aku terus kepikiran dengan password kami yang kebetulan sama. Sejujurnya, aku juga memakai susunan ulang tahunku sebagai password yang paling sering aku pakai. Itu artinya, ulang tahun kami jelas sama. Iya, kan? Password koper kami hanya butuh empat angka, jadi kemungkinan hanya berbeda di tahun lahir.
Ngomong-ngomong 'Teori Peluang', meski semesta yang terbentuk relatif lebih kecil daripada ketika semua angka dimasukkan, tetap saja, peluang memiliki ulang tahun yang sama juga masih kecil. Serius, kebetulan ini sedikit menggangguku. Aku juga tidak tahu kenapa!
Lupakan, De, lupakan... dia tidak penting!
***