6.

1552 Words
••• Bulan sengaja memancing Raka agar menemuinya di luaran kampus tempat Raka menempuh pendidikannya, Bulan juga kuliah di tempat yang sama—makanya dia memakai masker agar dosen atau teman-temannya tak mengenali kalau itu adalah Bulan, ia tak ingin pelariannya berakhir sekarang. Saat itu Raka sudah keluar dadi area kampus, ia melangkah menghampiri tempat yang dijanjikan Bulan yakni di dekat trotoar, gadis itu masih duduk di dalam mobil bersama Naga yang terlihat sangat tenang. Kadang Bulan tak mengerti dengan sikap Naga yang setenang air lalu mudahnya menjadi tsunami, emosi yang dikeluarkan tak tanggung-tanggung, tapi Bulan memang bukan tipikal gadis penakut terhadap lawan jenis, berkelahi pun dia sudah biasa. Saat iris Bulan melihat postur tubuh mirip Raka berjalan mendekat ke arah mereka, gadis itu bergegas turun dan pura-pura memasang senyum setelah menurunkan maskernya, ia mendekat pada Raka yang kini juga tersenyum senang. “Bulan, kamu kok—” “Sst!” Bulan menginterupsi, ia segera memeluk Raka erat-erat. “Aku kangen sama kamu, Ka.” “Iya, aku juga. Kamu ke mana aja sih? Kenapa orang-orang bilang kamu kabur dari rumah?” Bulan tersenyum miring setaya mengusapi punggung Raka, ia mulai emosi saat teringat lagi foto-foto yang dikirimkan perempuan asing itu. “Yang jelas aku nggak kayak kamu!” Bugh! Bulan mengurai pelukan itu dan meninju wajah Raka seketika, ia juga menendang s**********n laki-laki itu agar tak berkutik. Raka kini membungkuk memegangi bagian emasnya seraya meringis menahan sakit, wajahnya kentara merah padam. “Kenap–kenapa, Lan?” tanya Raka meminta penjelasan. “Lo pikir gue nggak tahu apa yang udah lo lakuin di belakamg gue, hah! Lo tidur sama cewek lain, ‘kan! Sekarang terima rasa sakit yang nggak sebanding sama rasa sakit gue!” Bulan mengangkat wajah Raka dan kembali memukulnya tanpa peduli jika ia adalah perempuan, bodohnya lagi Raka tak sanggup melawan karena ngilu di bagian intimnya. Terakhir Bulan meninju perut Raka dengan knuckle yang selalu dibawanya hingga mantan kekasihnya itu berakhir terkapar di selasar. “Jangan harap bakal ada Raka-Raka yang lain setelah ini!” pungkas Bulan sebelum meludah dan melenggang masuk mobil. Naga hanya diam melihat semua itu, bukan ranahnya juga ikut campur urusan orang lain, tapi bukan berarti ia tak kasihan dengan nasib Raka itu. Nyatanya laki-laki b******k memang harus dihajar agar tahu rasa, dan Bulan melakukannya sebaik mungkin. Naga tak mengerti kenapa gadis itu pandai sekali berkelahi, Bulan dulunya anak karate atau apa? Bulan yang sudah duduk di sisi Naga kini menurunkan penutup kepalanya, ia juga melepas knuckle dari ruas buku-buku jarinya dan menyimpan benda itu ke saku hoodie kebesaran Naga yang ia pinjam. Gadis itu mengatur napas seraya mengusap peluh yang menetes dari dahi, ia sebenarnya belum puas melakukan hal itu pada Raka, ia ingin membalas perbuatan yang sama, tapi bodoh juga jika Bulan tidur dengan orang lain—bisa turun reputasinya sedangkan kehidupan yang sekarang ia jalani jauh dari yang dulu—yang biasanya menyenangkan untuk Bulan, dia yang memutuskan untuk lari dan belum ingin mengakhirinya, maka Bulan sendiri yang akan coba bertahan melewati kesulitannya jauh dari orang tua. “Udah gih jalanin mobilnya, nanti kalau ada anak lain lihat gue malah lebih bahaya,” ujar Bulan pada Naga yang masih diam, sebenarnya Naga terbuat dari apa sampai bicara dengannya saja sesulit itu. Naga pun melajukan mobilnya tinggalkan tempat itu, sekarang mereka akan kembali lagi ke Bandung setelah perjanjian yang dilakukan Naga dan Bulan pagi tadi. “Lo kuliah di tempat itu?” tanya Naga buka suara. “Iya.” Bulan meraih sebotol air mineral di atas dashboard dan membuka penutupnya, ia teguk isinya hingga habis. “Kenapa? Gue laper nih dari kemarin malam enggak makan.” “Lo ngajar bahasa Inggris di panti.” “Berani bayar berapa?” tanya Bulan begitu entengnya. “Nggak ada bayar-bayar, kalau enggak mau ya udah, karena di sana yang ditekankan itu kepedulian.” Bulan manggut-manggut, “Boleh aja asal perjanjian kita ditambah lagi.” “Maksud lo?” “Lo turutin apa pun yang gue mau.” Seketika Naga menginjak rem mendadak, jika tubuh-tubuh itu tak dilingkari sabuk pengaman jelas sudah terlonjak dan membentur dashboard. Naga mengernyit menanggapi perkataan Bulan. “Maksud lo apa sih minta macam-macam ke gue, emang lo siapa?” Jelas-jelas Naga tak suka dengan keinginan gadis menyebalkan itu. “Biasa aja dong, untung gue nggak mati tadi. Oke gue ganti deh, gue tambahin jadi lo harus siap antar gue bolak-balik ke Jakarta. Gimana?” “Ngapain bolak-balik ke Jakarta?” Naga makin heran. “Ya suka-suka gue lah, perlu banget gue kasih tahu semua urusan gue ke lo, emang lo siapa?" Bulan bisa berkelahi, tapi bukan berarti juga Naga harus menantangnya, tahu diri saja. “Mau nggak? Kalau nggak mau ya nggak apa-apa, udah gratis masa rugi. Ini tuh biar kita simbiosis mutualisme yang saling nguntungin, gitu aja lo nggak paham.” Naga enggan menyahut, ia kembali melajukan mobilnya yang sebentar lagi akan memasuki gerbang tol, setelah itu kebisuan benar-benar merajai mereka—terutama setelah Bulan memutuskan memejamkan matanya menikmati perjalanan yang akan memakan waktu selama lebih dari tiga jam itu. ••• Naga mengajak Bulan makan di Atmosphere Resort Cafe yang cukup terkenal di Bandung, dan Bulan harus memberi dua jempol untuk Naga karena tahu seleranya. Gadis itu pun makan dengan lahap, sedangkan Naga santai seperti biasa. Sepulangnya dari tempat itu mereka segera menuju ke panti asuhan, Naga menarik Bulan menghampiri kamar Elmira, ia bahkan tak melihat Kinta yang sejak tadi memperhatikannya di depan ruangan sang ibu. Apa hanya karena Bulan, Kinta jadi tak tampak? Naga membuka pintu kamar Elmira begitu saja, binar bahagia seketika terlihat saat Elmira melihat sosok yang dibawa Naga. “Kak Bulan!” Elmira turun dari ranjang dan berlari menghambur memeluk gadis sembilan belas tahun itu. Awalnya Bulan sempat kikuk karena ia tak menyukai anak kecil, tapi saat Elmira mendekapnya erat-erat perasaan hangat dan nyaman itu seakan menjalar ke sekujur tubuh. Bukan berjongkok dan membalas pelukan Elmira, ia merasa seperti memiliki seorang adik. Diam-diam seulas senyum tipis terpatri di wajah Naga, ia lega bukan main sudah mempertemukan mereka meski punya janji-janji berat dengan Bulan. “Kak Bulan ke mana aja? Elmira kangen.” Gadis itu mengurai pelukannya dan Bulan beranjak. “Nggak ke mana-mana.” Elmira berganti memeluk Naga, “Makasih ya udah bawa Kak Bulan balik lagi, Kak Naga emang paling baik, Elmira sayang.” Naga berlutut, ia membelai kepala gadis kecil itu seraya tersenyum. “Kakak selalu mau Elmira bahagia.” “Makasih ya.” “Sekarang Kak Bulannya udah balik, jaga baik-baik biar enggak kabur lagi.” Naga melirik Bulan dan gadis itu memutar bola mata seraya bersidekap d**a, Bulan pun melengos ke kamar. “Iya, Kak. Elmira pasti jagain Kak Bulan.” “Oke, Kak Naga sekarang mau pulang. Kak Naga capek.” “Iya, hati-hati, Kak.” Naga beranjak meninggalkan Elmira yang kini masuk ke kamarnya, Naga melangkah di koridor dan dihadang oleh Kinta. “Kamu seharian ke mana? Aku hubungi kok nomornya enggak aktif?” tanya Kinta dengan raut masam. “Bukannya kamu yang nyuruh aku buat cariin Bulan, ya aku cariin Bulan. Apa lagi emang?” Kinta mencoba paham, memang ia yang menyuruhnya dan Kinta hafal kalau Naga bukan tipikal laki-laki pembohong. Ia sudah mengenal Naga sejak kecil—sejak Naga juga tinggal di panti itu setelah orangtuanya yang tak bertanggung jawab meninggalkan Naga di depan gerbang panti dua puluh tahun lalu, Kinta yang notabene anak kepala panti sering sekali bercengkrama dengan Naga hingga saat lulus SMP remaja itu diadopsi oleh keluarga Atmaja yang notabene menjadi salah satu konglomerat di Bandung, sejak saat itu mereka berpisah meski Naga memutuskan tetap datang dan menjadi donatur tetap di panti itu. Setahun lalu Naga menyatakan perasaannya pada Kinta dan mereka berpacaran hingga hari ini, jadi keduanya cukup mengenal watak satu sama lain. Kinta gadis yang kalem, penyayang dan masuk kategori perempuan yang disukai Naga, bukan Bulan yang hyperaktif dan menyebalkan. Hidup menjadi anak panti yang tak punya orangtua sejak kecil membuat Naga paham situasi anak lain yang juga tinggal di panti, ia mengasihi mereka sama seperti dulu ia dikasihani orang lain, terutama Elmira yang notabene memiliki penyakit Thalasemia sejak usia lima. Thalasemia sendiri merupakan penyakit kelainan tulang dan darah, dan tranfusi darah adalah bentuk therapy paling tepat, tapi penyakit itu tak bisa disembuhkan—bahkan jika kronis akan bertambah parah setiap tahun sekalipun seumur hidup. Sebab itu pengurus panti memberi perhatian lebih pada Elmira yang tak lagi normal seperti anak lain. “Iya maaf, aku lupa, Ga. Beneran itu cewek mau tinggal di sini lagi?” “Kayaknya iya, dia nggak punya pilihan.” “Dia kabur dari rumah atau gimana?” “Aku nggak tahu.” “Mau minum atau langsung pulang?” “Langsung pulang ya, aku capek belum istirahat soalnya.” “Ya udah, Ga. Makasih ya udah jadi Kakak yang baik buat Elmira.” “Karena aku juga pernah di posisi dia, Ta. Aku juga pernah hidup sendirian.” Kinta mengangguk, “Hati-hati di jalan.” Naga tersenyum tipis dan memutuskan melangkah menghampiri mobilnya di pelataran panti, ia duduk di balik kemudi dan menyandarkan punggung seraya menghela napas panjang. Naga teringat kejadian semalam saat Bulan menciumnya terus-terusan dan hampir membuat Naga kehilangan kewarasan, apa hidupnya akan mulai rumit setelah sosok Bulan hadir nantinya? Ia takkan katakan kisah malam itu pada siapa-siapa termasuk Bulan sendiri. ••• Kisah kita akan terus berotasi seperti bumi Aku berusaha paham jika nantinya takkan sama lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD