8.

1579 Words
••• “Kak Bulan nggak makan?” tanya Elmira yang sejak tadi menatap Bulan, gadis sembilan belas tahun itu terbaring di ranjang seraya menyandarkan punggungnya pada tembok, Bulan hanya membolak-balik ponsel dan menerawang seolah memikirkan sesuatu. “Nanti.” “Emang nggak lapar? Tadi Elmira udah makan, aku suka kalau dibuatin bala-bala udang. Kak Bulan juga harus coba bala-bala udang buatan Bu Aisyah,” ujar Elmira. “Nanti.” “Kak Bulan lagi banyak pikiran ya? Mikirin siapa sih?” tanya Elmira lagi seakan begitu banyak hal yang bisa ia sebutkan kala mengadapi Bulan. Bulan memutar bola matanya, ia beranjak menegakan tubuh dan menatap Elmira dengan alis bertaut. “Mending lo tidur aja, udah malam.” “Kak Bulan nggak akan pergi lagi, ’kan?” “Enggak, udah sana tidur. Gue mau cari angin.” Bulan beranjak keluar kamar, jam dinding sudah menunjukan pukul sepuluh malam dan Elmira memang tahu kalau Bulan belum makan, jadilah gadis kecil itu menyuruhnya tadi. Kini Elmira menarik selimut dan membaringkan tubuhnya seraya memejamkan mata, mendengar Bulan takkan pergi lagi sudah cukup membuat ia lega. Bulan menatap keadaan lorong yang sepi dengan pencahayaan cukup terang, gadis itu bersidekap seraya berdiri di dekat pilar. Angin malam berembus melewati leher putihnya, tiba-tiba saja ia merasa bingung antara harus kembali ke Jakarta atau tidak. Semua bukan karena ia menyerah dan mengizinkan orangtuanya mengirim Bulan ke Jerman, hanya saja Bulan memang membutuhkan sesuatu yakni uang. Semua kartu ATM serta kartu kreditnya tak berguna lagi, ia bisa saja menghubungi temannya dan meminjam uang, tapi lewat mana mereka bisa mengirimnya? Bulan mendengar derap kaki di dekatnya, ia pun mengedar pandang dan menemukan dua sejoli baru saja keluar dari ruangan seraya melangkah menghampiri halaman panti, untuk apa pukul sepuluh Naga masih di tempat itu. Apa ada hal yang terjadi? Bulan mengernyit, ia mengusir jauh-jauh pemikiran buruk itu, toh segala hal yang ingin mereka lakukan bukanlah urusannya. Namun, kaki itu memutuskan bergerak setelah Kinta masuk ke ruangannya. Bulan menghampiri mobil Naga yang masih terparkir, ia mengetuk kaca mobil di sisi kemudi. Empunya pun menurunkan kaca dan mengernyit menatap Bulan yang tersenyum penuh arti padanya. “Apa?” tanya Naga. “Besok antar gue ke Jakarta ya, gue mau ke rumah.” “Mau balik beneran ke Jakarta?” “Nggak, gue mau ambil duit.” Naga memilih mengangguk, dan Bulan tersenyum lagi menanggapinya. “Oke, lo boleh pulang sekarang. Besok hubungi gue ya kalau lo bisa antar, eh tapi ... gue nggak punya nomor lo.” “Hape lo mana?” Bulan mengeluarkan ponsel dari saku celana dan memberikannya pada Naga, tampak laki-laki itu mengetik dua belas digit nomornya dan mengembalikan ponsel pada Bulan. “Thank’s.” Bulan segera melenggang pergi, sedangkan Naga masih belum melajukan mobilnya, ia menatap berlalunya Bulan lewat kaca spion. ••• Pagi-pagi sekali Bulan sudah dibangunkan meski ia masih sangat mengantuk dan berkali-kali merebahkan tubuhnya lagi, tapi pada akhirnya Bulan tetap mengikuti keinginan Mbak Uti—pengurus dapur—yang menyuruhnya menemani ke pasar karena harus mempersiapkan sarapan untuk anak-anak panti, kadang Aisyah ikut membantu jika ia memang tak memiliki pekerjaan lain. Begitu banyak umpatan dan sumpah serapah yang terlontar dari bibir Mbak Uti saat ia membonceng Bulan menggunakan motor matic milik Kinta dengan kecepatan tinggi, apalagi keadaan jalan masih begitu sunyi karena baru mendekati pukul lima. Bulan yang notabene suka kebut-kebutan di jalan dan sering balap mobil itu tak tanggung-tanggung melajukan motor di jalan raya meski kanusia di belakangnya sudah pucat pasi karena takut nyawanya ikut terbawa angin yang menerpa mereka. Bulan mengemudikan kendaraan roda dua itu seolah dia sendirian tanpa Mbak Uti, ia tak memikirkan sama sekali betapa takutnya wanita tiga puluh tahun di belakangnya—bahkan memeluk pinggang Bulan erat-erat layaknya sepasang kekasih yang naik motor. “Apaan sih! Geli tahu!” gerutu Bulan seraya mengenyahkan tangan Mbak Uti, fokusnya masih pada jalanan yang kosong. “Neng Bulan mah naik motornya jangan kencang-kencang atuh. Saya teh takut terbang ini,” sahut Mbak Uti seraya memejamkan mata. “Lebay banget sih lo, ini tuh ngebut biar cepat sampai mumpung jalannya sepi. Biar gue bisa tidur lagi kalau udah sampai panti.” “Iya, Neng. Tapi saya teh takut beneran ini, enggak bohong.” Bulan berdecak, “Ya udah peluk aja gue sesuka lo, gue mau nambah kecepatan.” “APA!!!” Nyatanya Bulan memang menambah kecepatan hingga jarum speedometer itu hampir menyentuh angka terakhir, benar-benar menantang maut si gadis bernama Rembulan Widjaja itu, ia tak paham jika membawa dua nyawa sekaligus. Saat motor itu berhenti di tempat parkir pasar, Mbak Uti lekas turun dan membungkuk meremas perutnya seraya bertingkah seperti hendak muntah. Bulan yang melepas helm dan meletakannya pada spion pun mengernyit. “Aduh! Kenapa lagi sih? Lo hamil? Kenapa nggak bilang dari tadi.” Bulan berdecak. Mbak Uti menggeleng, “Saya teh enggak hamil, Neng. Masuk angin gara-gara si Eneng bawa motornya kenceng pisan, nanti saya minta kerokan sama si Eneng Bulan ya.” Bulan meraup wajahnya, “Astaga! Cuma karena naik motor aja bikin mual, lagian udah tahu masih pagi—malah ngajakin keluyuran, udah tahu dingin!” “Biasanya teh enggak begini atuh, Neng. Tadi aja si Eneng yang bawa motornya kenceng-kenceng, saya jadi begini.” “Terserah elo deh, makan balsem aja biar cepet sembuh. Gue nggak bisa kerokin orang, kecuali pakai pisau baru bisa.” Mbak Uti mendelik, “Atuh berdarah-darah dong, Neng.” “Bodo amat!” Bulan menarik tangan Mbak Uti masuk ke area pasar, dia tak tahan berlama-lama di tempat yang tak pernah dijamahnya. Selama di dalam pasar pun Bulan terus memaksa Mbak Uti agar lekas menyelesaikan urusannya meski yang dibeli memang harus banyak, Bulan tak suka dengan aroma menyengat khas amis ikan, bau busuk dari sayuran yang dibuang—apalagi air bekas ikan yang tercecer di selasar, semua benar-benar tampak mengerikan di mata Bulan. Nyatanya ia jadi pemandangan tersendiri oleh beberapa pedagang laki-laki, gadis itu terlalu menarik jika hanya dibiarkan. Beberapa penjual pun mulai menggoda Bulan, tapi yang mereka dapatkan justru cacian galak khas gadis itu atau ancaman mengajak mereka berkelahi. Bulan memang gadis cantik rasa preman. Kedua tangan Bulan sudah penuh oleh kantung belanja hitam yang cukup besar, sedangkan Mbak Uti hanya memegang satu saja. Gadis itu kerepotan mengekori Mbak Uti yang melangkah ke parkiran. “Main tinggal aja! Lo kira gue ini lagi ngebabu, hah?” tegur Bulan. “Aduh! Ya enggak atuh, Neng. Saya teh cuma minta tolong. Sini kasih saya aja.” Mbak Uti pun meraih semua kantung itu. “Jangan ngebut lagi ya, Neng. Nanti saya bisa masuk angin beneran, nggak jadi masak buat anak-anak.” “Hm.” Keduanya duduk di motor, Bulan juga menepati janjinya agar tak melajukan motor kencang. Semua bukan karena perintah Mbak Uti, tapi keadaan jalan yang ramai hingga Bulan terpaksa memelankan laju kendaraannya. ••• Mobil Naga sudah keluar melewati ruas tol yang cukup panjang, ia menepikan mobilnya di depan minimarket dan turun. Bulan masih terlelap setelah cukup lelah mengikuti aktivitas di panti, setelah pulang dari pasar Bulan tak jadi terlelap, ia pun harus membantu Mbak Uti bergelut dengan segala jenis bumbu dapur. Bulan sampai mual-mual karena mencium bau amis ikan yang akan dicuci, gadis itu juga memotong bawang dengan ukuran yang tak seharusnya, Bulan benar-benar tak tahu apa pun dengan segala hal yang berhubungan tentang dapur. Setelah membantu Mbak Uti memasak, Bulan kembali disibukan dengan urusan mengajar anak panti, dan setelahnya Naga datang karena mereka harus pergi ke Jakarta sesuai keinginan Bulan, kali ini lelah gadis itu sedang digantinya dengan lelap di mobil. Tak berselang lama Naga kembali seraya membawa sekantung softdrink dan snack yang kini diletakannya pada dashboard. Naga pun melajukan lagi mobilnya menuju tempat yang seharusnya yakni Perumahan Pondok Indah. Naga menepikan mobilnya di sisi trotoar dekat  rumah dengan nomor yang disebutkan Bulan saat gadis itu belum terlelap, dan empunya belum bangun juga ternyata. Naga mendekat dan ingin membangunkan gadis itu—tapi ia merasa kasihan, Bulan seperti begitu lelah, Naga memutuskan tak mengusik Bulan dan meminum softdrink yang sempat ia beli tadi. Laki-laki itu memasang headset sekadar mendengarkan musik hingga perlahan Naga ikut terlelap dan mereka melupakan rencana awal datang ke Jakarta. Sekitar pukul delapan Bulan terbangun, ia menguap sebelum mengedar pandang menyadari berada di mobil. “Naga?” Bulan cukup terkejut menyadari Naga yang masih terlelap, Bulan pun menarik kabel headset yang menjuntai itu hingga terlepas dan membuat empunya terusik. ”Kenapa lo nggak bilang kalau kita udah sampai sih?” Bulan terlihat kesal. “Lo tidur.” Naga melepas satu lagi headset dan menggulungnya, ia simpan ponsel itu pada saku celana. “Ya tapikan bisa dibagunin gitu? Atau lo nggak tahu cara bangunin orang?” “Sori.” Bulan berdecak, ia melihat ke arah rumahnya yang tampak terang, “Sekarang gue nggak mungkin punya kesempatan buat masuk rumah. Papa sama mama pasti ada di rumah.” “Itu rumah lo, kenapa harus kayak maling buat masuk?” “Karena gue lagi kabur!” “Ngapain orang kabur tengokin rumah? Maling?” “Berisik!” Bulan bersidekap dan memasang raut masam. “Tujuan lo ke rumah sebenarnya apa? Kalau lo emang udah niat kabur harusnya nggak kayak gini, lo udah siapin mental sama fisik lo buat hidup di luar sana belum?” tanya Naga. “Gue mau ambil duit, gue nggak punya duit.” “Kerja! Bukannya maling di rumah sendiri.” “Kerja apaan?” “Gue ada tempat buat kerja elo.” Naga menatap Bulan intens, dan Bulan emnbalasnya dengan tatapan penuh arti. ••• Jika kita tak pernah berusaha memulainya Lalu sampai kapan kisah itu akan tercipta?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD