“Ayah suka menciptakan banyak lagu untuk dinikmatinya sendiri, dan ibu selalu hidup dalam setiap melodinya. Aku pernah berharap seseorang akan membuat lagu yang penuh akan diriku, seperti cara ayah mengenang ibu...”
Althafa
♫♫♫
“.... tolong rahasiakan dari orang lain, ya?”
Hangat napas Rena menggelitik kuping Arata, tapi lelaki itu berusaha keras bersikap tenang seolah tidak terjadi apa pun. Dia bahkan menahan napas agar tidak terus-menerus menghidu wangi Sakura yang menguar dari leher Rena, tapi sayangnya gagal. Penciuman Arata sudah dipenuhi bau keringat Rena yang bercampur parfum. Dia pun hanya bisa kembali mengangguk, dan bergegas berdiri untuk pergi dari sana.
"Jangan pergi dulu. Aku perlu membicarakan sesuatu denganmu," kata Rena, yang membuat Arata kembali duduk.
Dalam benak, Rena berpikir sikap Arata sangat cool dan terkesan cuek. Gadis itu pun menyeringai kecil, lantas mengeluarkan seragamnya. Setelah melihat keadaan belakang gedung IPA yang sepi, di depan Arata, dia berganti baju. Sebenarnya dia hanya melepas jaket hitam, kemudian memakai baju putih dan rok abu-abu tanpa melepas tank top dan hotpants. Aksinya gagal membuat Arata tertarik. Lelaki berkacamata tersebut malah asyik bermain ponsel, wajahnya tanpa ekspresi. Rena kesal karena merasa diabaikan. Tanpa sengaja, dia melempar jaket hitam tadi sampai mengenai kotak bekal Arata.
Rena menatap lama bekal itu, senyumnya perlahan pudar, lalu detik berikutnya malah tertawa. "Hahaha... Kamu bawa bekal ke sekolah? Kayak anak TK."
Arata menatap bekalnya, lalu memandang Rena. Dia mengangguk, menatap layar ponsel lagi.
"Kamu nggak bisa ngomong, ya?" tanya Rena, sembari merapikan rambut pendeknya dengan jemari, lalu mengambil sepatu sekolah warna hitam dari dalam tas.
"Bisa."
Rena mendengkus kala memerhatikan Arata benar-benar tidak berminat melihatnya. Apa yang salah darinya? Apa Arata tidak tahu kalau Rena adalah top model terkenal yang sedang naik daun? Apa Arata tidak tahu kalau ada lusinan lelaki di luar sana yang mungkin rela baku hantam demi mengambil posisi duduk Arata saat ini? Apa Arata itu sebenarnya buta? Benar, mungkin Arata tidak bisa melihat, bahkan dengan kacamata pun, penglihatannya mungkin masih terganggu, karena itu dia mengabaikan Rena. Dengan semua spekulasi di benaknya itu, Rena membuat keputusan untuk mengambil tindakan lebih dulu.
Rena merengkuh pipi Arata dengan kedua tangannya, memerhatikan dengan detail iris cokelat madu yang membulat sempurna di balik kacamata itu. "Kamu nggak bisa lihat aku, ya?”
Arata amat terkejut dengan tindakan tiba-tiba Rena, maka refleks dia menepis kuat tangan gadis di depannya. Rena tidak kalah syok dengan penolakan Arata barusan. Ini pertama kali dalam hidupnya ada seseorang yang menepis tangannya, biasanya dia yang selalu melakukan itu, baik terhadap kaum hawa maupun kaum adam yang mengaguminya.
Arata lantas berdiri, mengantongi dua tangan di saku celana, memerhatikan Rena yang mendongak dengan wajah terkejut yang sangat jelas. Membuang napas, lelaki berkacamata itu lantas mengalihkan pandangan, sebenarnya karena jantungnya berdebar amat cepat dan kegugupan itu semakin menjadi-jadi, tapi Rena malah mengartikan sikap Arata sebagai penolakan sangat keras terhadapnya.
“Kakak Kelas ingin mengatakan apa?” tanya Arata, tanpa memandang Rena. “Kalau nggak ada, aku akan kembali ke kelas.”
Sikap cuek Arata itu mengingatkan Rena dengan kenangan lama, dia kemudian tersenyum samar. “Aku ingin bekalmu,” katanya. Keinginan itu tak pelak membuat Arata megernyitkan dahi.
"Hah?" Arata berkedip-kedip, bingung.
"Aku lapar," kata Rena dengan santai, lalu duduk menekuk kedua kaki, kedua tangan tumpang tindih di atas paha, senyumnya terbit, dan dia jadi sangat feminin. “Temani aku sampai selesai makan, ya?”
Arata bingung dengan sikap Rena yang tiba-tiba berubah, tapi dia tetap kembali duduk dan menyerahkan bekalnya untuk gadis itu. Dia tidak tega membiarkan orang lain kelaparan.
Rena langsung menyambar kotak bekal bening segi empat dengan inisial A pada penutup atasnya. "Siapa yang masak? Enak, loh, ini," kata Rena sembari mengunyah telur dadar gulung dan nasi gurih. Sikapnya jadi mirip anak kecil yang baru diberi makan setelah kelaparan tiga hari. Arata bertanya-tanya dalam hati, sudah berapa lama Rena tidak makan?
"Tante yang tinggal di rumahku," ujar Arata.
Rena berhenti mengunyah nasi untuk sesaat, fokus melihat Arata yang masih menolak memandangnya. "Tante itu maksudnya kayak pembantu?"
"Bukan. Dia bukan pembantu."
"Berarti adik ibumu, atau ayahmu, ya?"
Arata melirik Rena sekilas, tersenyum samar melihat nasi di pipi kanan gadis itu. "Hemm, begitulah." Refleks dia coba mengambil nasi di pipi Rena, tapi tangannya berhenti di udara ketika mendengar pertanyaan gadis itu.
"Kenapa Tante itu yang masak? Ke mana ibumu?" tanya Rena, yang sangat lahap mengunyah nasi, sampai tidak memerhatikan ekspresi terkejut di wajah Arata karena pertanyaannya. Saking asiknya makan, dia lupa sekitar.
"Kakak Kelas, ada nasi di pipimu," jawab Arata akhirnya.
Rena mendongak menatap Arata, lalu segera mengusap-usap pipinya.
"Aku mau ke kelas." Arata bangkit.
"Eh, tunggu, bekalnya belum habis."
"Bawa saja," kata Arata, dia lantas menepuk-nepuk celananya yang ternodai rerumputan
"Hoi, junior, siapa namamu?" teriak Rena ketika Arata benar-benar melangkah pergi.
Arata berhenti mengayun kaki, berbalik menatap Rena. Posenya yang berdiri di bawah guguran dedaunan kersen sembari mengantongi satu tangan di saku celana itu membuat mata Rena membulat. Meski sudut bibirnya penuh memar, dan ada luka di beberapa bagian wajah, entah kenapa, kesan jantan dalam diri Arata malah terkesan semakin menguar ke permukaan.
"Arata," ujarnya, lalu berbalik pergi.
"Wah, junior s****n itu membuat jantungku berdebar," gerutu Rena. “Kenapa mereka sangat mirip.” Rena kembali melahap bekal dari adik kelasnya. "Oh, ya, ampun,”─menepuk jidatnya─"dia kelas berapa, ya? Bagaimana caraku mengembalikan kotak bekalnya tanpa tahu kelasnya?"
♫♫♫
"Kenapa wajahmu murung, seperti dunia mau kiamat?" tanya Altha, yang ternyata berjalan di belakang Mila sejak tadi.
"Arata kayaknya marah sama aku. Dia belum ada nge-chat dari tadi malam," keluh Mila, dia masuk ke ruang rawat Altha tanpa permisi, lalu mengempaskan p****t ke kursi kayu di dekat brankar.
"Arata...?" tanya Altha ketika membereskan beberapa pakaian ke dalam tas. Dia kemudian tersenyum kecil, dalam hati bertanya-tanya, apakah namanya benar-benar Arata atau Mila sudah mengubah namanya seperti yang dia lakukan terhadap nama Altha?
"Abang aku. Cowok yang kemarin Atlan suruh minggir."
Altha membulatkan mulutnya tanpa suara. "Oh cowok kacamata yang wajahnya banyak memar itu, ya?”
“Iya benar.”
“Dia hobi berkelahi?”
“Enggak,” tegas Mila. “Arata adalah anak baik. Itu kemarin si Botak saja yang selalu cari masalah sama Arata. Dari SD sudah kayak gitu.”
“Ah, begitu. Terus kenapa Arata marah sama kamu?"