"Ada apa?" tanya Mila bingung.
"Ini empat tiga puluh. Kamu minum dulu, ya? Dari setengah jam lalu kita di sini, kamu belum ada minum apa pun. Nanti bisa dehidrasi, dan itu nggak baik buat kesehatan, apalagi kamu baru sakit." Altha menyuguhkan segelas minuman dingin.
Mila langsung mengambil dan hendak meminumnya, tapi seseorang mengambil paksa gelas dan melempar ke lantai sampai pecah berkeping-keping.
"Mila nggak boleh minum sembarang minuman." Arata yang datang dengan napas terengah-engah menatap tajam Altha.
"Arata kok ke sini?" Mila tidak terlihat senang dengan kedatangan lelaki itu, tapi beberapa detik kemudian, dia malah bercerita tentang kegiatannya dengan Altha tadi. “Arata, tahu, nggak, Atlan bisa memainkan banyak alat musik, loh.”
Sementara dua lelaki adu tatap untuk menilai masing-masing kepribadian, Mila malah berceloteh tentang kebolehan teman barunya meniup saksofon, juga menceritakan tentang ayah Altha yang menurutnya sangat hebat karena bisa membuat banyak lagu.
“Ayah Atlan juga ternyata sering membawa anak-anak ke luar negeri untuk kompetisi musik tingkat dunia, loh. Pak Suyuf keren, kan? Oh, katanya ada anak PHS yang juga pernah dibawa sama Pak Suyuf, walau nggak menang, tapi tetap hebat. Mereka juga keren.”
Adu tatap diputus sepihak oleh Arata. Lelaki berkecamata itu kemudian duduk di dekat Mila, menarik wajah sang adik agar lebih dekat dengannya. "Yah, mereka hebat. Coba kulihat wajahmu sebentar... Eum, matamu kering, kamu pasti lupa berkedip beberapa kali tadi. Kamu juga terlalu banyak aktivitas. Sudah ke kamar mandi?"
Mila menggeleng.
"Di mana kamar mandinya?" tanya Arata ke Altha yang terlihat dongkol.
"Apa kamu akan membantunya buang air? Atau memasangkan popok untuknya juga?" sindir Altha.
"Apapun yang kulakukan, nggak ada hubungannya denganmu. Aku pikir, menunjukkan letak kamar mandi bukanlah masalah besar." Arata menaikkan kacamatanya yang sedikit melorot, tak lupa menyeringai.
"Kamu itu─”
Perdebatan mereka dihentikan oleh Mila yang sudah buang air kecil di sofa. Gadis itu baru sadar telah terkencing ketika merasakan sesuatu mengalir ke pahanya dan terdengar suara tetesan kencingnya yang membasahi lantai.
Altha terbelalak, amat terkejut melihat sesuatu yang terjadi di depannya. Dia bahkan lupa mengontrol ekspresinya ketika bertatapan dengan Mila.
Mila menggigit bibir bawahnya sambil menunduk dan mencengkeram celananya.
Arata yang mengabaikan bau pesing dan cairan hangat di dekat kakinya, langsung menyembunyikan wajah Mila di d**a. Dengan kode gelengan kecil, dia menatap penuh permohonan kepada Altha. Untung saja pemusik itu masih punya sedikit pengertian, dia pun segera pergi dari sana.
"Nggak apa-apa, Mil. Nggak usah malu. Aku di sini, bersamamu." Arata melepas rengkuhannya, gantian menggenggam tangan gadis itu. "Coba kulihat wajahmu. Astaga, baru kutinggal sebentar kamu langsung jadi jelek. Jangan gigit bibirmu, itu kebiasaan buruk." Arata melepas ranselnya dan mengambil salep, obat tetes mata, serta pelembab bibir dan wajah.
"Apa benar-benar jelek?" tanya Mila, dia menarik ingusnya yang hampir keluar. "Apa nanti Atlan akan mengusirku? Tadi dia melihatku seperti aku ini sangat menjijikkan."
Sebelum meletakkan salep ke pelipis Mila yang ternyata ada luka gores, Arata lebih dulu mengambil tisu dan menyeka ingus gadis itu. Ketika pernyataan terakhir Mila meluncur, tangannya sempat berhenti sejenak di udara. Dia kemudian tersenyum. "Nggak mungkin adik termanisku ini jelek. Tenang saja, hanya perlu sedikit sentuhan dari abangmu ini, kamu akan jadi cantik lagi." Arata pun mulai meneteskan cairan dari botol kecil ke mata Mila. "Berkedip sekali, lalu pejamkan sejenak."
Mila menurut.
"Coba lihat aku."
Mila tersenyum lebar. "Sudah cantik?"
"Ya. Sedikit lagi." Arata membuka botol kecil pelembab wajah, menuang sedikit ke tangannya lalu mengoles ke wajah Mila. Dia lakukan pula ke bibir gadis itu. "Sempurna. Kamu sudah cantik lagi."
“Arata nggak marah aku dekat-dekat dengan musik?”
“Aku marah. Sangat marah. Tapi aku bisa apa kalau adikku ini menginginkannya.” Arata merapikan pula perban di kepala Mila yang sidikit bergeser dari posisi normalnya.
“Berarti aku boleh main musik?”
“Nggak.”
Mila merengut. Dalam beberapa detik berikutnya, dia kembali tersenyum. “Baiklah, ayo kita pulang.”
“Pakai ini dulu,” kata Altha yang tahu-tahu sudah masuk kembali dengan sebuah totebag berisi pakaian dalam dan gaun selutut warna biru muda. "Aku menyuruh Mbak Asih beli pakaian dalam di super market depan. Kalau gaunnya, ini punya ibu pas masih muda dulu."
Mila mengalihkan pandangan dari Altha, dia berdiri dan sembunyi di belakang Arata. Abangnya itu tanggap dengan mengambil jaket hitam dari dalam tas dan mengikatkan ke pinggang sang adik.
“Ayo kita pulang, La,” kata Arata sembari menggenggam tangan Mila.
Mila menurut, mereka berjalan melewati Altha yang terdiam dengan totebag yang masih terulur. Tak mau kalah, Altha lantas menahan tangan Mila. “Bukannya tadi kamu bilang mau belajar musik, Mil?”
Secepat tangan Altha meraih pergelangan tangan Mila, secepat itu pula Arata menepis tangan Altha dari sana. Arata kemudian menyembunyikan Mila di belakang punggungnya. “Jangan sentuh adikku,” katanya.
Altha menyeringai kecil. Kemarin dia sangat yakin kalau lelaki berkacamata di depannya ini terlihat ketakutan di hadapannya, tetapi sekarang mau sok jadi abang yang baik, begitu? “Aku bertanya sama Mila. Kamu nggak perlu mewakilinya bicara.”
“Urusan Mila berarti urusanku. Karena aku abangnya.”
Altha semakin melebarkan seringainya saat melihat Arata sedikit mundur. Benar dugaannya, lelaki di depannya ini cuma sok berani. “Oh? Cuma abangnya rupanya?”
“Atlan, maaf, aku nggak mau bermain musik lagi,” ujar Mila, tapi masih menolak menatap Altha. “Aku mau pulang.” Mila lantas segera menarik Arata pergi dari ruangan itu.
Altha menatap kecewa kepergian Mila, hanya mampu mencengkeram tali totebag semakin kuat.
♫ ♫ ♫
"Apa aku perlu pakai popok saja, ya, Arata?" Itu adalah pertanyaan pertama Mila setelah dia memasuki mobil.
Tangan Arata mengepal, rahangnya mengeras. Dia melirik Mila yang duduk menatap ke jalanan. "Kenapa kamu harus pakai popok? Kamu sudah terbiasa ke kamar mandi di jam-jam tertentu tanpa perlu diingatkan. Tadi itu kamu cuma terlalu keasikan sama si gondrong.”
“Arata benar.” Mila tersenyum kecil. “Arata lihat ekspresi dia tadi pas aku kencing di celana? Haha... dia terkejut banget, sampai wajahnya hampir memutih kayak mayat. Mungkin dia pikir aku punya penyakit Inkontinensia, seperti kata teman kita waktu SMP dulu pas lihat aku terkencing di kelas.” (Inkontinensia: ketidakma mpuan menahan air kencing, disebabkan karena kegagalan sistem kandung kemih dan uretra pada saat memasukkannya urin secara berangsur-angsur dari ureter; sumber: Wikipedia).
“Nggak usah memedulikan si gondrong itu. Dia nggak penting.”
“Hemm... Arata benar.”
♫ ♫ ♫