♫♫

1023 Words
"Atlan sekolah di mana?" "PHS." Mila membulatkan mulut. "Jangan bilang kelas X IPA 1?" "Kenapa? Kamu sekolah di sana juga?" "He’em..." Mila mengangguk antusias. "Atlan kelas X IPA 1 juga? Tadi memang ada satu siswa yang kata bu guru belum bisa hadir karena masih sakit. Itu Atlan, kan?" "Yah, itu aku." Mila kemudian menggeser posisi duduknya jadi sangat dekat dengan Altha, hal itu membuat si lelaki seketika terbelalak dan refleks mundur. "Atlan sejak kapan suka main biola? Apa Atlan bercita-cita ingin menjadi musisi suatu hari nanti?" Altha terjatuh dari kursi, dia kemudian mengalihkan pandangan ke pintu masuk kamar rawat. "Sudah lama sekali nggak ada yang bertanya tentang cita-citaku," lirihnya. Mila bangun dari brankar, mengulurkan tangan ke hadapan Altha. "Atlan baik-baik saja?" Altha tersenyum kecil, tanpa meraih uluran tangan Mila, dia berkata, "Aku baik," lalu kembali duduk tapi kali ini di brankar, bersisian dengan Mila. Keduanya memandang koridor depan kamar rawat. “Atlan suka musik?” tanya Mila setelah diam beberapa detik. Altha menoleh sekilas, kembali memandang beberapa orang yang lewat di depan kamar. "Aku suka musik, karena dia nggak akan pernah meninggalkanku.” “Atlan pernah ditinggal seseorang?” Mila tersenyum kecil, kakinya dia ayun-ayunkan bergantian, sesekali melirik Altha yang diam saja. Bibirnya kemudian menyenandungkan lagu Twinkle Little Star. Altha melirik Mila, ikut bersenandung pelan. “Apa Atlan akan menjadi musisi suatu hari nanti?” “Suatu hari nanti?” Altha mengembuskan napas pelan, tertawa hambar. “Hahaha... Entahlah, aku mungkin nggak akan pernah mencapai ‘suatu hari nanti’ itu, tapi, aku pernah sangat ingin menjadi musisi, menciptakan banyak lagu melalui biola, dan jadi tokoh hebat seperti Niccolo Paganini. Yah, tapi itu hanya cita-cita yang terkubur lama. Aku sudah melupakan mimpi itu." "Paginani?" tanya Mila. "Siapa Paginani?" Altha tertawa kecil. "Paganini, Mil. Tahu, nggak, Niccolo Paganini itu mengembangkan teknik baru permainan biola, makanya biola bisa sekeren yang sekarang. Dia bisa memainkan tiga oktaf di empat senar biola dalam satu jangkauan tangan, juga bermain harmoni dengan dua senar." Altha menirukan gerakan memainkan biola, lalu dia bersiul satu kali. "Kemampuan teknik tinggi itu sangat jarang bisa dimainkan pemain biola di jaman ini. Segala tentangnya memang keren, mulai dari teknik penjarian, karya ciptaannya, bahkan dia bisa bermain gitar. Menurut yang k****a, pada jamannya dulu, aliran biola masih lambat dan hanya menjadi pengiring, Paganini lah yang berani menentang jalur aman dan membuat gebrakan baru di dunia musik, terutama biola. Lihat sekarang, banyak pemain biola solo. Dia inspirasiku. Aku ingin seperti dia." Altha tiba-tiba berhenti bicara ketika matanya bertemu pandang dengan Mila. "Kenapa berhenti? Ceritakan lagi tentangnya," ujar Mila dengan antusias. Altha berdeham, sedikit menyingkap rambutnya. "Kamu nggak bosan dengar ceritaku?" "Enggak. Aku suka. Wajah Atlan kelihatan bahagia pas cerita Paginani. Kalau memang mau menjadi sepertinya, kenapa malah mengubur mimpi menjadi musisi?" Altha tertegun, hanya diam memandang iris cokelat terang Mila dan lengkungan bibir tipis gadis itu. Setelah beberapa detik, dia bangkit. "Aku mau kembali ke ruanganku." Mila menahan tangan Altha. "Besok aku boleh ketemu Atlan lagi, nggak?" "Untuk apa?" "Mendengar permainan biolamu dan cerita Paginani." "Paganini, Mil" koreksi Altha. Mila tertawa. "Iya itu maksudku." Altha menepis pelan tangan Mila. "Terserah." Dia melangkah pergi, tapi berhenti ketika sampai di ambang pintu. "Besok sore aku keluar rumah sakit. Lusa sudah bisa bersekolah. Saat di sekolah nanti, pura-pura nggak kenal aku, ya?" Senyum Mila melebar. Dia mengangguk. "Pasti... Aku pasti akan sering mengajak Atlan ke kantin bareng, atau ke perpustakaan biar kita bisa bahas musik lagi. Nanti juga akan aku kenalkan sama Arata. Oh, apakah besok aku boleh mengantar Atlan pulang?" Altha terkikik pelan saat membelakangi Mila. Tanpa menjawab pertanyaan gadis itu, dia menutup pintu kamar rawat. "Gadis aneh," pikirnya.   ♫♫♫ Satu jam kemudian.   "Arata sedang marah, ya? A-ra-ta-aaa..." Mila terus mencolek-colek wajah Arata dengan telunjuk, namun abangnya itu masih saja berwajah datar dan pura-pura membaca buku. Merengut, Mila mengambil buku Arata dan melemparnya ke sofa, lalu ditariknya wajah lelaki itu agar menghadapnya. "Maafkan aku, kalau Arata kesal karena aku melukai tanganku. Itu hanya luka kecil. Besok juga akan sembuh." Arata mengalihkan pandangan, bibirnya menipis, kemudian dia menepis pelan tangan Mila yang merengkuh wajahnya. "Kenapa kamu mau menemuinya lagi? Untuk memperlihatkan pertunjukan menyayat leher kali ini?" "Enggak, kok. Aku cuma ingin mendengar ceritanya tentang biola. Arata nggak lihat caranya membuat anak-anak itu menari tadi? Aku selalu suka melihat jemarinya menekan senar biola. Suara Atlan juga merdu. Oh, dia juga cerita tentang Paginani, pemain biola favoritnya." "Aku mau pulang, dan makan. Tiba-tiba jadi sangat lapar. Kalau mau menemuinya, pergilah." Arata merapikan buku-bukunya. "Tapi aku nggak pernah pergi ke mana pun tanpa Arata." Wajah Mila memelas. "Tadi kamu pergi tanpaku. Untuk me-ne-mui-nya." Arata menggeser pelan lengan Mila, lalu keluar ruang rawat. Mila menghela napas, menatap kepergian Arata dengan sayu.   ♫♫♫   Arata mengusap wajahnya ketika sampai di depan mobilnya. Seorang sopir sudah membukakan pintu, tapi Arata masih diam mematung menatap ke dalam rumah sakit. Menghela napas, dia kemudian memasukkan tas ke jok belakang, duduk dengan muka ditekuk. Sopir tersenyum kecil. "Den Arata kok melihat ke belakang terus? Apa ada yang ketinggalan di rumah sakit?” Arata berdecak sebal. "Jangan panggil Den Den segala lah, Pak. Arata saja." "Ah, maaf, kebiasaan." Sopir beruban itu pun nyengir ke spion mobil. "Beneran nggak ada yang ketinggalan di rumah sakit? Obat buat luka wajah, Den Arata , mungkin?” “Enggak ada yang ketinggalan, kok, Pak.” “Berarti lagi marahan sama Non Mila, ya? Wajah Den Arata kusut begitu." "Hemm... Begitulah, Pak. Dia degil banget kalau dibilangin." Sopir tertawa. "Dia selalu ingin tahu banyak hal." Arata diam saja, hanya bermain ponsel sepanjang perjalanan menuju rumah. Tiba di kompleks Perumahan Griya tepatnya Blok G, mobil menepi di depan pagar bercat hijau toska. Bangunan satu lantai dengan warna dinding abu-abu silver itulah rumah Arata. "Terima kasih, ya, Pak," kata Arata ketika keluar mobil. "Loh, Arata ikut pulang juga? Nggak jadi menemani Mila di rumah sakit?" tanya Ningrum ketika melihat Arata menapaki ruang tamu. Ningrum adalah ibu kandung Mila, merupakan ibu tiri Arata. "Hemm," jawab Arata singkat. "Sini, Ibu bawakan tasnya." Ningrum tersenyum kecil ketika mendekati Arata dan coba meraih buku-buku anak itu. "Nggak perlu." Arata menepis tangan Ningrum, membuat buku-bukunya terjatuh ke keramik putih motif bunga lily. Dia lantas melirik anak lelaki usia delapan tahun yang sembunyi di belakang Ningrum sambil menarik bagian belakang daster wanita itu. "Tante urus saja Dean. Lihat, dia sudah perlu didongengkan untuk tidur." Ningrum terkejut dengan suara buku yang jatuh, lebih terkejut lagi dengan panggilan 'tante' dari mulut Arata. Arata mendengus. "Tante nggak usah syok gitu. Aku udah bilang, hanya di depan Mila, aku akan memanggil Tante dengan sebutan Ibu."   ♫♫♫
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD