9. So High

1002 Words
“Cewek aneh bin menyebalkan yang terus mengikutimu demi biola ini adalah satu-satunya yang kamu ajak dansa...” Mila ♫ ♫ ♫   “Pergilah! Aku bisa sendiri!” teriak Rena, dengan nada kesal. Arata hanya geleng-geleng kepala. Ekspektasinya tentang Rena si cewek seksi dan dewasa seperti yang terlihat kemarin lenyap begitu saja hari ini. Yang ada hanya Rena si cantik yang sedikit kekanakan, tapi memang cantik. “Hemm...?” Altha tahu-tahu sudah merangkul Arata, sembari tersenyum misterius, yang bagi Arata itu menjijikkan. “Ternyata tipe cewekmu yang kayak Rena, ya?” Senyum Arata menghilang seketika, lantas menepis tangan Altha yang nangkring di bahunya. Abai dengan si pemusik itu, Arata yang hanya mengenakan kaus putih pun berlalu dari kamar mandi. “Mau nomor hp Kak Rena, nggak? Aku punya beberapa koneksi di sekolah ini,” kata Altha, memaksa berjalan di sebelah Arata yang dongkol. “Kamu,” tunjuk Arata ke Altha ketika mereka berhenti di koridor X IPA 7, kelas yang paling dekat dengan kantin, “benar sepupu Rey?” Altha tertawa. “Hahaha... enggaklah. Aku tadi lihat gestur cowok itu yang ketakutan. Dia sebenarnya bukan anggota BBC, mungkin dia pernah masuk geng itu kalau melihat nada angkuhnya, tapi pasti hanya bertahan sebulan. Ya, aku manfaatkan saja untuk membohonginya.” Arata merapikan letak kacamatanya yang sedikit melorot ke hidung, dia mengakui ketajaman analisis Altha. “Kenapa? Kagum sama cara berpikirku?” tanya Altha. “Aku ini ahlinya mengartikan gestur orang lain.” Arata merengut, lupakan pujiannya tadi untuk makhluk sombong di depannya ini. “Kamu menggali kuburanmu sendiri dengan mengaku-ngaku sebagai sepupu Rey.” “Hoo? Kamu mengkhawatirkanku sekarang?” Arata berdecak sebal. “Sesukamu sajalah.” Altha terkikik melihat tingkah Arata. “Tapi kamu berani juga, ya, membela Kak Rena di depan banyak orang begitu? Kamu nggak lihat tadi anak-anak cewek pada mupeng pengen berada di posisi Rena. Ya, secara, cowok paling cool dan cuek sejagat raya lagi memedulikan cewek cantik.” Arata diam saja. Setelah dipikir-pikir, sepertinya Altha adalah versi maskulin dari Mila. Sama-sama cerewet, sok tahu dan suka ikut campur urusan orang lain. Atas pemikiran itu, Arata tertawa, yang disalahpahami Altha sebagai ceritanya yang lucu. “Aku pikir kamu nggak bisa tertawa,” kata Altha. Tawa Arata berhenti. Dia berjalan lebih cepat lagi ke kelas. Altha ingin menyusul, tapi sekurumunan siswi dari kelas X IPA 3 menghalangi jalannya. Dia tak punya pilihan lain selain meladeni gadis ini, atau image-nya sebagai cowok super ramah akan lenyap.   ♫ ♫ ♫   Mila duduk di bawah pohon Angsana di tepi lapangan basket, menekuk kaki dengan dagu di atas lutut, telinga tersumpal earphone, tersenyum melihat Noval lihai bermain basket bahkan menantang guru olahraga mereka. Soal fisik, Noval juaranya. “Nggak ikutan olahraga, Mil?” tanya Altha, yang baru datang dan tanpa permisi mengambil duduk di kanan Mila. Mila masih diam memerhatikan kerumunan teman sekelasnya di depan sana yang menyoraki Noval akibat kalah dalam perebutan bola dengan guru olahraga. Pemandangan saat Noval teriak kesal dan anak-anak lain menertawakannya itu membuat Mila ikut tertawa pelan. Altha tersenyum kecil kala melihat Mila tertawa sembari memerhatikan Noval. Dia jadi berpikir kalau orang yang tempo hari ingin Mila buatkan lagu adalah si bad boy sekolah itu, Noval. Mengambil sebelah earphone dari telinga Mila, Altha kini mendapatkan perhatian penuh dari gadis itu. “Lagi mendengar lagu apa?” tanya Altha, lantas mengenakan earphone itu di telinga kirinya. “Coba tebak,” tantang Mila. “Hoo? Kamu nantangin?” Mila terkikik, lalu ikutan diam saat Altha memejamkan mata dan mendengarkan lagu dengan saksama. “Altha nggak ikut olahraga juga?” “Enggak. Aku masih sakit.” “Sakit apa?” “Spring, oleh Antonio Lucio Vivaldi.” “Hah?” Altha mengacak pucuk kepala Mila. “Musik klasik yang lagi kita dengar ini.” Lelaki itu kemudian memberikan earphone-nya ke Mila, sementara dia berdiri di depan gadis itu, membungkuk hormat ala pangeran di hadapan sang putri. Mila terkikik dibuatnya ketika tangan Altha terulur seolah mengajak berdiri pula. “Mau ngapain?” tanya Mila, tersenyum geli melihat Altha, tapi tetap memberikan tangannya untuk kemudian dikecup Altha punggung tanganya. “Dansa,” kata Altha sembari mengambil ponsel Mila. Dia melepas earphone yang tersambung, kemudian sedikit mengeraskan volume, memutar ulang musik klasik Spring oleh Vivaldi dari awal, lalu kembali membungkuk di depan Mila yang telah berdiri. “Aku nggak bisa dansa.” “Ikuti saja aku,” kata Altha, dia mengerling. Mila tertawa, menggeleng pelan. Altha lantas meraih tangan kanan Mila dan meletakkan di bahunya, sementara dengan tangan kirinya, dia memegang pinggang Mila. Tangan lain yang bebas saling menyatu dan mereka mulai bergerak sesuai irama musik. Altha berdeham, sedikit gugup ketika dadanya beberapa kali bersentuhan dengan d**a Mila. Mencegah canggung, dia berkata, “Musik ini ada syairnya, aku pernah baca di Wikipedia.” “Oh, ya?” tanya Mila, masih pasrah ketika Altha menggerakkan pinggangnya ke kanan dan kiri, atau sesekali berputar. “Mau dengar?” Mila mengangguk, menatap lekat iris gelap Altha dengan wajah ceria dan mata berbinar. Sial. Dia sangat imut. Altha kembali berdeham, mulai berpuisi. “Musim semi menjelang... Burung-burung menyambut kedatangannya dengan senandung suka cita...” Mila mulai paham gerakan tariannya tanpa dibimbing Altha. “... dan angin sepoi lembut membelai aliran sungai yang gemericik... Badai guntur, pertanda musim semi, meraung, menghamparkan selimut gelapnya, menutupi langit...” Rambut Mila yang tertiup angin memanjakan mata, aroma vanila dari lehernya menusuk penciuman, kulit lembutnya menggetarkan sesuatu dalam hati Altha. Sepertinya dia sudah melakukan kesalahan ketika mengajak Mila menari di bawah guguran daun dari pohon akasia pada terik hari ini, karena dia baru saja berharap dapat berdansa dengan Mila unuk selamanya. Sinting! “... Lalu mereda, burung-burung mengalunkan lagu syahdunya sekali lagi...” Kini Mila berputar sembari ujung tangan kirinya dipegang tangan kanan Altha. Tangan kiri Altha di belakang punggungnya. Karena gugup, Altha melepas tangannya yang menggenggam Mila. Ketika Mila berputar dan kehilangan pegangan, Altha refleks bergerak ke depan gadis itu, membuat sang gadis menabrak dadanya, dengan kedua tangan memegang kedua bahu Altha. Mereka berhenti sejenak, Altha melakukan respirasi, meredam degup jantung kala memegang pinggang Mila dengan kedua tangan. “... Di hamparan padang bunga, ranting-ranting daun bergemerisik di atas kepala. Sang penggembala kambing terlelap, anjingnya yang setia di sampingnya...” Mila tertawa ketika Altha malah mengajaknya menari dengan posisinya yang masih memegang kedua bahu lelaki itu. Gerakan mereka semakin cepat seiring musik mengentak. “Dipandu suara riuh dari alat musik tradisional bagpipe, para peri, dan penggembala dengan gemulai ...” Altha sekali lagi membuat Mila berputar, tanpa memegang tangan gadis itu. Mila, sekali lagi berputar, dan kembali menabrak d**a Altha ketika pendaratan, tapi kali ini, Mila tidak memegang kedua bahu Altha melainkan mengalungkan tangan ke leher lelaki itu. Mereka berpelukan. “...berdansa di bawah kanopi musim semi yang bersinar,” bisik Altha tepat di telinga Mila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD