Bab 4. Ciuman Pertama

1407 Words
Jovanka terkesiap ketika Luka mendadak bangun. Ia langsung menegakkan tubuhnya dan menatap Luka memundurkan tubuhnya hingga menghantam sisi konter dengan keras. Luka baru saja mengikis jarak di antara mereka berdua. “Apa yang kau lakukan padaku?” Suara parau Luka menggema di ruangan. Napas Luka tersengal. Jovanka tak yakin apakah itu karena Luka terkejut atau karena kondisinya tadi. “Maaf, saya hanya ingin menolong Anda. Anda mengalami henti napas. Saya panik, jadi saya melakukan pertolongan pertama,” kata Jovanka menerangkan. “Anda baik-baik saja? Haruskah kita ke rumah sakit?” “Pergi! Pergi dari sini!” usir Luka yang mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi padanya. Ia menggeleng pelan. Ingatannya langsung memutar adegan ketika wajah Jovanka begitu dekat dengan wajahnya Luka meraba bibirnya. “Kau menciumku!” Jovanka terkesiap, “Itu bukan ciuman,” ucapnya gugup. Tentu saja meskipun bibir mereka bersentuhan itu tidak bisa disebut sebagai ciuman! “Berani-beraninya kau menciumku! Kau melanggar perjanjian kerja kita,” ucap Luka sambil meraba dadanya, ia tampak kesulitan untuk mengatur napas. “Tuan, sebaiknya kita ke rumah sakit dulu. Anda bisa memarahi saya nanti,” kata Jovanka seraya berdiri. “Ponsel,” ucap Luka. “Aku pinjam ponselmu saja!” “Oh, ya!” Jovanka merogoh ponselnya dan maju selangkah tetapi ia langsung berhenti karena telapak tangan Luka teracung padanya. “Lemparkan!” "Sial!" batin Jovanka. Jovanka pun melemparkan saja ponsel tipis itu dan dengan cekatan Luka menangkapnya. Ia menatap Luka mengetik sesuatu di sana lalu menempelkan ponselnya di telinga. “Ini aku. Aku sedikit sakit. Bisa periksa aku sekarang juga?” Jovanka mendengarkan dengan saksama bagaimana Luka menelepon seseorang dengan ponselnya. Tak lama, Luka berdiri dengan limbung. Jovanka baru tahu bahwa Luka ternyata sangat tinggi karena seharian ini ia hanya melihatnya duduk di balik meja kerja. “Dimana Devon? Bukankah dia yang harus datang? Kenapa kau bisa masuk?” Luka mendadak memberondong Jovanka dengan beberapa pertanyaan. “Dia sakit dan harus dioperasi malam ini,” jawab Jovanka. "Devon meminta saya untuk menggantikannya." Luka tampak mengernyitkan kening lalu ia meletakkan ponsel Jovanka di atas konter. Ia berjalan menjauh dari Jovanka. Tak lama, terdengar pintu terbuka dan Jovanka yang mengikuti langkah Luka—tentu saja dengan jarak lebih dari 2 meter—mendapati seorang wanita cantik baru saja masuk dengan terengah. “Duduk!” perintah wanita itu sambil membuka tasnya. Jovanka mengamati apa yang dibawa wanita itu. Jovanka langsung tahu wanita itu adalah seorang dokter. “Apa yang terjadi?” “Biasa,” jawab Luka yang kini duduk berhadapan dengan si dokter. "Dia datang." Jovanka tak tahu siapa yang dimaksud Luka, tetapi ia yakin ada pemicu yang membuat Luka pingsan. Seseorang baru saja ke sini dan ia tak bisa menebak siapa. Seingatnya ia hanya berpapasan dengan ibu-ibu cantik tadi. Tak mungkin Luka berurusan dengan wanita tua, kecuali dia adalah ibunya, pikir Jovanka. “Kau kenapa? Habis olahraga atau apa?” tanya si dokter yang memeriksa detak jantung Luka dengan stetoskop. “Kenapa?” Luka menatap dokter itu. “Jantungmu berdetak sangat kuat,” ucap si dokter. “Aku tak apa, Rensi. Aku baru saja pingsan,” jawab Luka. Jovanka yang menatap adegan di depannya itu hanya bisa menelan saliva. Ia sangat penasaran dengan Luka dan mulai berspekulasi, "Benarkah dia tak tersentuh? Harus jaga jarak? Oh, tak masuk akal! Dokter itu begitu santai memeriksa dan menyentuhnya." “Kau berdebar,” kata si dokter yang kini diketahui Jovanka bernama Rensi. “Sangat liar.” Tiba-tiba mata Rensi bertemu dengan tatapan Jovanka. “Oh, maaf aku tidak tahu ada orang lain di sini. Hai!” “Ya, hai. Saya sekretaris Tuan Luka,” ucap Jovanka gugup. “Kau yang menemukan Luka?” tanya Rensi seraya menyimpan peralatannya. “Ya. Dia pingsan dan gagal napas. Saya terpaksa melakukan pertolongan pertama,” kata Jovanka jujur. Ia tidak ingin dituduh telah mencium Luka. “Beruntung sekali ada sekretarismu,” kata Rensi pada Luka. “Kau berdebar karena ada dia?” Luka menepis tangan Rensi begitu saja. “Berikan suntikannya dan cepat pulang. Aku akan istirahat.” “Oke.” Rensi tidak protes dan segera memberikan obat untuk Luka melalui suntikan. Ia berdiri kemudian menatap Jovanka. “Aku bersyukur kau ada di sini, Nona.” Rensi menepuk bahu Luka. "Sepertinya kau sudah lebih baik, aku pulang saja. Kau harus istirahat dan telepon aku jika kau belum membaik." Begitu Rensi menutup pintu dari luar, Luka berdiri lalu menatap Jovanka. “Kau bisa pergi juga,” “Tapi kita punya pertemuan, Tuan,” kata Jovanka mengingatkan. “Akan aku batalkan. Aku tidak enak badan," ujar Luka. "Pergilah.” “Tapi ini pertemuan yang penting. Haruskah sa—” “Tidak!" potong Luka keras. Ia menatap sengit Jovanka. "Aku bilang akan aku batalkan. Kau tidak perlu repot dan pulang saja." “Baik. Sampai jumpa di kantor besok pagi, Tuan,” ucap Jovanka seramah mungkin. Ia merasa cukup kesal, sudah capek-capek datang, tetapi ia hanya disuruh pulang. “Devon sakit apa?” tanya Luka saat Jovanka mengambil setelan miliknya di dapur dan membawanya ke ruang depan. “Radang usus buntu. Dia dioperasi malam ini. Saya rasa, dia sudah menahannya selama beberapa hari,” kata Jovanka dengan nada mengejek. Ia bertambah kesal pada Luka karena ingat kakaknya yang bekerja sangat keras itu. “Begitu?” gumam Luka tanpa ekspresi empati. Jovanka mengepalkan tangan di bawah lipatan setelan. “Kalau begitu besok pagi kau harus datang ke sini pukul 6.00 pagi.” “Kenapa?” tanya Jovanka kaget. “Tentu saja untuk menjemput dan menyiapkan sarapanku," jawab Luka. "Devon tidak bisa hadir bukan?” “Tapi itu bukan pekerjaan saya,” tolak Jovanka jengkel. “Aku memberimu kesempatan, Nona Jovanka. Kau baru saja melanggar isi perjanjian kerja kita. Kau menyentuhku!” hardik Luka dengan nada dingin. Jovanka mengerjap beberapa kali. “Kau bisa kupecat sekarang juga!” “Tapi itu darurat,” ucap Jovanka. “Saya panik. Bagaimana jika Anda mati dan saya yang disalahkan? Saya tidak mau dipenjara di usia 24 tahun.” “Aku tidak akan mati," ujar Luka dengan nada dingin. "Aku akan sadar setelah beberapa saat. Jadi, jangan lakukan itu lagi padaku. Dan jangan lupa, besok pagi!” Luka tidak bicara lagi. Ia meninggalkan Jovanka yang masih terbengong di bawah anak tangga. Jovanka tak mengira hari pertamanya bekerja dengan Luka sangat menyebalkan. Bahkan, besok ia harus menggantikan Devon untuk menjemput Luka. “Ambil ini!” Jovanka mendongak saat mendengar suara Luka dari arah tangga. Ia melihat Luka melemparkan sesuatu dan spontan ia menangkapnya. “Pakai mobilku! Ada di parkiran bawah tanah. Jangan sampai lecet!” Jovanka terperangah. Ia bahkan tidak sempat protes karena Luka sudah kembali naik ke lantai dua dengan cepat. Ia tak punya pilihan dan segera meninggalkan apartemen Luka. Namun, saat ia keluar, Rensi sudah menunggu di muka pintu. “Kau tidak apa-apa?” tanya Rensi panik. “Ya. Saya baik-baik saja." Jovanka menatap Rensi bingung karena tiba-tiba ditanyai seperti itu. "Apakah karena aku sudah menyentuh Luka?" “Aku dokter pribadi Luka. Aku tinggal di ujung sana,” ucap Rensi seraya menunjuk ujung koridor. Jovanka hanya mengangguk, rasanya ia tidak butuh penjelasan dari Rensi, tetapi ia mendengarkan saja. “Luka ... kau benar-benar melakukan CPR padanya? Dan napas buatan?” “Ya. Itu darurat, saya panik," jawab Jovanka. "Apa saya akan dihukum karena melakukan itu padanya?” “Tidak. Melihatmu baik-baik saja berarti tidak ada masalah. Kau bisa pulang,” kata Rensi. “Memangnya apa yang akan terjadi jika seseorang menyentuhnya?” tanya Jovanka tak tahan lagi. Ia sudah mendengar rumor tentang Luka, siapa saja akan sial jika menyentuhnya tubuh pria itu. “Tidak ada, dia hanya akan marah dan mungkin menyerangmu. Tapi kau baik-baik saja.” Jovanka tampak tergelitik mendengar ucapan Rensi. "Jadi, Luka pria yang berbahaya," pikirnya. “Pulanglah,” kata Rensi lagi. “Ah, jangan katakan apa pun tentang ini pada siapa pun. Luka tidak akan suka.” Jovanka mengangguk pelan. Lagipula ia sudah diancam akan dipecat. Ia hanya harus melakukan apa yang diinginkan Luka agar tidak kehilangan pekerjaannya. *** Sementara itu, Luka terbaring di atas ranjangnya dengan perasaan aneh. Ia meraba dadanya yang masih berdetak liar. Ia agak malu karena Rensi mendengar detak jantungnya yang tak masuk akal ini. Baru pertama kali Luka merasakan sensasi seperti ini. “Apa yang terjadi?” bisiknya. Jemari Luka kemudian meraba bibirnya. Ia menggeleng pelan. Entah kenapa bayangan Jovanka yang tengah memberinya napas buatan terus diputar di otaknya. "Bibir itu sangat lembut," pikir Luka. “Kenapa aku jadi begini? Dia sudah mengambil ciuman pertamaku! Sial!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD