Jovanka mengikuti langkah Luka memasuki sebuah ruangan VIP di sebuah restoran yang ada di Hotel Sunny. Bella rupanya telah menunggu. Ia memamerkan senyuman pada Luka saat keduanya masuk ke ruangan.
“Oh! Kau membawa wanita ke sini,” ucap Bella yang tampak tak senang.
“Dia sekretarisku,” jawab Luka seraya duduk di kursinya. Meja bulat itu sangat besar. Luka dan Bella masing-masingnya duduk di ujung meja dan hanya ada dua kursi di sana. Jadi Jovanka mau tak mau berdiri tak jauh dari kursi Luka.
“Begitu?” gumam Bella yang melirik sinis Jovanka. “Dia cantik, dan wajahnya tidak asing. Apa kita pernah bertemu, Nona? Siapa namamu?”
“Nama saya Jovanka, Nona,” ucap Jovanka. Ia sengaja tidak menyebutkan nama belakangnya agar Bella tak tahu ia adalah mantan sekretaris ayahnya.
“Ah, ya. Namamu mengingatkanku pada seseorang yang bekerja pada ayahku. Dia w*************a pria yang sudah menikah dan akhirnya dia dipecat,” ucap Bella tanpa ampun.
Jovanka menelan keras, ia mencoba memasang wajah santai agar tidak ketahuan bahwa dirinyalah wanita yang dimaksud. Meskipun sebenarnya tidak benar. Ia tidak menggoda pria beristri, apalagi itu Jonathan Archibald, ayah Bella. Semua itu fitnah, justru ia yang hampir dilecehkan hari itu.
Dua orang pramusaji datang dan membawakan menu pembuka untuk kedua pasangan itu, sementara Jovanka hanya menahan rasa lapar di perutnya.
"Sialan!" batinnya. "Apakah Devon juga biasa melakukan pekerjaan seperti ini? Pantas saja ia sampai sakit."
“Kita harus sering-sering bertemu, Luka. Tiga bulan lagi kita akan menikah,” kata Bella saat pramusaji keluar dari ruangan.
Jovanka spontan terbatuk mendengar ucapan Bella. Ia tidak bisa membayangkan menikah dengan pria yang tidak tersentuh itu.
“Ada yang salah, Nona Jovanka?” tanya Bella dengan nada mencela.
“Tidak, maaf. Saya sedang flu,” ucap Jovanka asal. Ia melirik Luka yang hampir tidak menyentuh makanannya. Ia hanya meneguk tehnya.
“Kita tidak akan pernah menikah,” kata Luka setelah beberapa detik keheningan. “Aku tidak bisa menikah denganmu, Bella.”
“Kenapa? Bukankah kau sudah sepakat dengan pertunangan kita?" tanya Bella dengan nada mencela. "Ibumu sudah sangat menyukaiku. Aku berguna untuk kelangsungan Heamin Grup. Aku ingin menikah denganmu. Jadi aku bisa segera diangkat sebagai CEO!”
Luka tersenyum miring. Ia tahu hubungannya dengan Bella hanya untuk keuntungan kedua belah pihak. Namun, ia tidak pernah ingin menikah dengan siapa pun.
“Aku setuju dengan pertunangan, tapi tidak dengan pernikahan,” ucap Luka seraya meletakkan sendoknya.
Tak lama, masuk dua pramusaji yang mengambil piring mereka dan menggantinya dengan menu utama. Jovanka menelan ludah, karena ia semakin lapar melihat makanan lezat itu. Jovanka agak penasaran kenapa Luka sama sekali tidak makan sementara Bella menikmati makanan itu sendiri.
“Aku akan melakukan apa pun agar kita bisa menikah, Luka,” kata Bella di tengah keheningan.
“Kau tidak pernah dengar rumor tentangku? Kau akan sial jika berdekatan denganku. Bagaimana kita bisa menikah? Aku bahkan tidak berhasrat untuk menyentuhmu,” tutur Luka dengan nada santai.
Jovanka kini bisa melihat raut wajah Bella yang memerah, ia pasti merasa sudah dipermalukan dengan ucapan Luka. Padahal, Bella adalah wanita yang sangat cantik, berbadan indah dan pastinya semua pria tidak akan bisa menahan diri untuk tidak menjamah tubuh sintal itu. Tentu saja semua pria, kecuali Luka yang aneh.
“Padahal, kau terlihat dekat dengan sekretarismu,” desis Bella. “Kau yakin, kalian sama sekali tidak pernah bersentuhan?” Bella melayangkan tatapan mencela pada Jovanka yang membelalak seketika. “Dia menggoda ayahku malam itu, Luka. Dia melakukan tindakan senonoh pada ayahku dan akhirnya dipecat. Kau harus berhati-hati pada sekretarismu itu.”
Jovanka mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengetat saking inginnya ia protes. Namun, tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Tentu saja itu tidak benar!
“Luka, biarkan aku menjadi satu-satunya wanita yang bisa menyentuhmu,” kata Bella dengan nada berambisi. “Aku benar-benar menyukaimu. Aku menyukai pertunangan ini dan aku sangat ingin menikah denganmu. Kita harus akur dan segera menikah. Aku akan melahirkan pewaris untuk Heamin Grup. Mengerti?”
“Kita bicara lain kali, aku sudah selesai,” kata Luka seraya berdiri. Ia mengedikkan dagu pada Jovanka yang mengangguk. “Sampai jumpa, Bella.”
Luka lebih dulu keluar setelah Jovanka membukakan pintu. Mereka bertemu dengan pramusaji yang datang dengan menu penutup. Namun, bahkan Luka tidak menyantap apa pun siang ini apalagi tertarik dengan makanan penutup tersebut. Jovanka hanya bisa menelan saliva atas kelakuan konyol bosnya.
“Tuan, tunggu!” panggil Jovanka yang membuntuti langkah lebar Luka.
“Aku mau makan,” kata Luka.
Jovanka mendengkus, bahkan tadi ada sajian makanan lezat tetapi pria itu tak mau makan sama sekali dan kini ia bilang ingin makan?
“Baik,” kata Jovanka yang kini berdiri tak jauh dari Luka di dalam lift. “Ehm, Tuan! Yang Anda dengar dari nona Isabella, itu tidak benar. Saya bukan wanita seperti itu.”
Luka menarik ujung bibirnya diam-diam. “Aku tidak peduli dengan masa lalumu, Nona Jovanka. Kau tak perlu membicarakannya.”
Sementara itu, Bella yang ditinggal seorang diri di ruang VIP merasa geram dengan perlakuan Luka. Ia memang sangat sulit mendapatkan hati pria dingin itu. Namun, kali ini ia merasa dua kali lebih kesal karena Luka datang bersama Jovanka meskipun status mereka hanyalah bos dan sekretaris.
“Awas kau, Luka! Aku tidak akan membiarkan wanita manapun mendekatimu!”
***
Jovanka merutuk dalam hati sepanjang sisa harinya. Karena untuk siang tadi, ia harus menikmati proses memisahkan makan siang Luka lagi. Kali ini menunya adalah nasi goreng kepiting tanpa kepiting. Ia sangat kesal karena harus melakukan pekerjaan konyol ini.
Jovanka juga terus membatin tentang hubungan Luka dan Bella. Luka memiliki tunangan cantik, tetapi kelihatan sekali bahwa Luka tidak tertarik menjalin hubungan dengan Bella. Ia tidak heran karena rata-rata orang kalangan atas hanya bertunangan dan menikah atas dasar bisnis.
Namun, Luka menolak menikah dengan Bella. Jovanka sependapat, mungkin Luka tidak akan pernah menikah. Pria dingin itu tidak cocok untuk memiliki pasangan secantik Bella. Bahkan tidak ada yang cocok menikah dengannya selama ia masih bersikap dingin dan kejam seperti ini
“Tuan Luka, saya antar pulang sekarang,” kata Jovanka saat jam kerjanya telah usai. Rasanya ia begitu lega karena hari yang berat bersama Luka telah berakhir.
Luka mengangguk. Sejujurnya ia lebih nyaman pulang dan pergi dengan Devon karena sejak semalam ia merasa berdebar jika menatap Jovanka. Dan kini mereka berdua ada di mobil dalam diam. Jantung Luka tak bisa tenang sedikit pun.
“Tuan Luka.” Jovanka mencoba memulai obrolan karena ia paling tak tahan untuk tidak bicara. Ia juga melirik Luka melalui spion mobil untuk melihat respon pria itu. “Saya ingin menjelaskan apa yang diucapkan nona Bella tadi.”
“Tidak perlu, aku tahu dia adalah pembual. Kau tidak benar-benar dipecat dari sana, bukan?” tanya Luka.
“Saya dipecat,” jawab Jovanka. Ia melirik ekspresi datar Luka dari spion. “Tapi saya tidak pernah menggoda pria yang sudah menikah apalagi itu bos saya, tuan Jonathan. Saya tidak ingin Anda salah paham karena apa yang terjadi tadi malam di antara kita.”
Detak jantung Luka spontan meningkat karena ucapan Jovanka. Kejadian tadi malam di antara kita!
Luka melonggarkan dasinya karena tiba-tiba merasa gerah dan sesak. Ia teringat kembali saat bibir lembut Jovanka menyentuh bibirnya. Padahal itu bukanlah ciuman yang basah dan b*******h. Itu hanyalah tindakan darurat.
“Saya ingin menceritakan semuanya agar Anda tidak salah menilai saya,” kata Jovanka lagi.
“Aku akan dengarkan,” ucap Luka datar. Sesungguhnya ia tidak terlalu peduli, ia yakin adik Devon bukanlah orang yang akan melakukan tindakan tercela. "Apa yang terjadi di antara kau dan ayah Bella?"