Bab 2. Tugas Seorang Sekretaris

1238 Words
"Kau tak mau melakukan pekerjaan itu, Nona Jovanka?" tanya Luka dengan nada mencela. Ia tersenyum miring ketika wajah kesal Jovanka memucat. "Kau bisa pergi jika kau tidak ingin bekerja denganku!" Jovanka menggeleng keras. "Tidak! Tidak, Tuan. Saya bisa bekerja dengan baik. Ini bukan pekerjaan yang sulit." Jovanka kembali membaca daftar pekerjaannya dan mengumpat dalam hati. Ia menatap Luka dan tersenyum. "Sekarang saya harus membuat kopi untuk Anda. Di mana saya bisa membuatnya?" "Devon, kau antarkan dia ke pantry!" perintah Luka. "Baik, Tuan." Devon mengedikkan dagu pada Jovanka. Ia melangkah keluar dari ruangan Luka dengan dibuntuti Jovanka. “Dia gila!” umpat Jovanka ketika mereka tiba di luar ruangan. “Kau sudah tahu sejak kemarin?” Devon mengangguk. “Kau hanya harus menyediakan kopi, makan siang dan menemaninya jika dia ada pertemuan, tetapi itu jarang terjadi. Biasanya tuan Luka akan mengajakku. Pekerjaan yang mudah, Jo. Kau bisa santai selama berjam-jam.” “Aku sekretaris! Bukan pesuruhnya,” kata Jovanka kesal. “Tuan Luka bukan orang yang gampang percaya pada orang lain. Selama ini dia hanya mengandalkan aku. Urusan pekerjaan biar aku yang melakukan,” kata Devon. “Kau santai saja. Oke?” Jovanka tak protes, ia mengikuti Devon hingga sampai di pantry yang ada di lantai tersebut. Beberapa orang sontak menatap penasaran ke arah Jovanka. “Sekretaris baru tuan Luka,” ujar Devon seolah menjawab pertanyaan yang mereka simpan dalam hati. Jovanka bisa merasakan tatapan penasaran sekaligus prihatin dari mereka. Ia juga mendengar dua orang berbincang lirih di dekatnya. “Ini pertama kalinya tuan Luka memiliki sekretaris seorang wanita," ujar seorang wanita berambut pendek pada temannya yang bertubuh gempal. “Ya, aku penasaran berapa lama dia akan bertahan? Kurasa tak akan lama." Si wanita bertubuh gempal menimpali. "Kasian sekali. Dia pasti dibuat repot oleh tuan Luka." Keduanya cekikikan lalu meninggalkan pantry. "Abaikan saja mereka," ujar Devon pada Jovanka yang terbengong. "Kemari, aku ajari kau membuat kopi yang disukai tuan Luka." Jovanka menyimak dengan baik ketika Devon menunjukkan bagaimana cara meracik kopi pagi Luka. Ia memutuskan untuk bekerja dengan baik karena tak ingin dipecat atau kena marah dari Luka di hari pertamanya bekerja. Toh, yang harus ia lakukan hanyalah menyediakan apa yang harus masuk ke perut pria itu. “Dia minum kopi di pagi hari sekitar jam segini. Tapi terkadang dia juga akan memintamu menyiapkan sarapan. Jika ia memintanya berarti kau harus datang ke kantor pukul 6.30 dan pastikan sarapan Tuan Luka sudah siap di ruangannya pukul 7.00 pagi,” ujar Devon menerangkan. “Kenapa dia tidak sarapan di rumah saja? Atau di hotel? Atau di kantin perusahaan?” tanya Jovanka jengkel. Ia tidak menduga bahwa Luka sangat rewel perihal makanan dan minuman saja. “Sepertinya kau belum membaca semua berkas yang aku berikan padamu. Baca lagi nanti usai mengantar kopinya!” *** Usai membuat kopi, Jovanka mengetuk pintu ruangan Luka. Ia melangkah masuk. Kali ini, ia hanya berdua saja dengan Luka. “Kopinya, Tuan,” ucap Jovanka. Ia menunggu respon Luka setelah meletakkan kopi itu di atas meja yang ada di bagian kanan ruangan. Devon yang memintanya untuk melakukan itu. Namun, Luka bahkan tidak mengangkat ujung penanya kali ini. “Saya bisa keluar?” “Ya.” "Sial," batin Jovanka. "Bagaimana bisa Kak Devon bekerja dengan pria seaneh dan sedingin itu?” Jovanka akhirnya duduk di mejanya yang ada di depan ruangan Luka. Ia ingat pesan Devon untuk membaca berkas tentang Luka. Jovanka tercengang membacanya. Rupanya benar, seperti rumor yang pernah ia dengar, Luka sama sekali tidak bisa berdekatan apalagi bersentuhan dengan orang lain. Itu sebabnya ia lebih memilih sendirian di ruangannya dibanding berada di tempat umum. "Jadi, bagaimana dia bisa hidup selama ini?" pikir Jovanka. Tak lama, Devon datang dan duduk di mejanya yang berseberangan dengan meja Jovanka. Pria itu membawa setumpuk berkas untuk dikerjakan sedangkan Jovanka hanya bersantai membaca buletin perusahaan di komputernya. Ini pekerjaan paling santai sekaligus paling menyebalkan baginya. “Tuan Devon,” panggil Jovanka saat ia sudah berusaha menggigit lidahnya selama hampir setengah jam. Jovanka adalah gadis yang cerewet jadi susah sekali baginya untuk tidak bicara dalam waktu yang lama. Apalagi Devon adalah kakaknya. Ia tidak tahan untuk mengajaknya bicara sejak tadi. “Aku sudah baca ini dan aku penasaran tentang tuan Luka.” “Kau hanya harus melakukan pekerjaanmu tidak usah pikirkan apapun, Nona Jovanka,” kata Devon yang masih sibuk mengetik di komputer. Ia meringis tiba-tiba dan meremas perutnya. “Kenapa? Ada apa?” tanya Jovanka yang melihat gestur Devon. “Kau sedang sakit?” Ia berdiri dari duduknya agar bisa melihat Devon lebih baik. “Tidak, hanya mulas. Diamlah!" Devon mengibaskan tangannya sebagai kode agar Jovanka kembali duduk. "Aku sedang bekerja. Kau jangan banyak bicara." “Bukankah itu seharusnya menjadi pekerjaanku. Kenapa seorang asisten yang mengerjakan semua? Kau bisa membaginya denganku,” ujar Jovanka yang kini menyandarkan tubuhnya di punggung kursi dan menggoyangkan kakinya hingga kursi itu bergerak setengah memutar ke kanan kiri. Devon tidak berkomentar lagi, sementara Jovanka memperhatikan kakaknya bekerja. Ia agak khawatir pasalnya Devon sesekali meringis seperti menahan rasa sakit. “Dasar gila,” umpat Jovanka. “Bos gila itu membuatmu bekerja keras hingga sakit.” Menit-menit berlalu dengan lambat meskipun Jovanka sudah menghabiskan waktunya untuk bermain game di komputernya. Ia melirik jam dan rupanya sudah waktunya ia untuk menyiapkan makan siang untuk Luka. Usai mengetuk, Jovanka masuk saja ke ruangan. Ia berdiri di depan garis berjarak 2 meter dari meja Luka dan membungkuk sekilas. “Tuan ingin memesan apa untuk makan siang nanti?” tanya Jovanka dengan senyum lebar di wajahnya. “Nasi goreng seafood tanpa seafood,” jawab Luka. Ia menautkan jemarinya dan meletakkannya di bawah dagu sementara kedua netranya menatap wajah Jovanka yang tampak kebingungan. “Maaf? Apakah saya salah dengar?” tanya Jovanka. “Tidak. Aku mau kau membawakan nasi goreng seafood tanpa seafood. Tapi sebagai gantinya aku mau telur ceplok di atas nasinya.” “Tunggu,” kata Jovanka. “Apa maksud Anda, Tuan? Nasi goreng seafood tanpa seafood? Bagaimana itu bisa disajikan?” Luka menampakkan seringaian di wajahnya. “Itu tidak sulit. Setelah memasak nasi goreng seafood, minta kokinya untuk memisahkan topping dengan nasinya. Aku mau telur ceplok yang matang seratus persen. Aku tidak mau telur setengah matang.” “Tapi itu tidak masuk akal, Tuan! Mana mungkin kokinya mau memisahkan apa yang sudah ia campurkan,” kata Jovanka geram. “Kalau begitu kau yang harus melakukannya. Itu tidak sulit,” kata Luka sambil mengibaskan tangannya. “Keluar! Setengah jam lagi aku harus makan. Bawa makanan itu ke sini secepatnya.” *** Jovanka akhirnya memesan menu yang diinginkan Luka. Namun jelas, pegawai restoran itu hanya menertawakan pesanan Jovanka. Ia tak punya pilihan lain untuk memisahkan sendiri topping dalam nasi goreng tersebut. Sembari mengumpat, Jovanka akhirnya menyelesaikan menu pilihan Luka dengan meminjam dua piring milik mereka. Dengan bersungut-sungut, Jovanka datang ke ruangan Luka. Ia meletakkan nasi goreng seafood tanpa seafood itu di atas meja. Tak lupa ia juga menaruh telur ceplok di atasnya. "Selamat makan, Tuan Luka," ujar Jovanka. Ia masih terengah karena hanya memiliki waktu singkat untuk mendapatkan makanan Luka. "Sekarang belikan aku minuman," ujar Luka datar. "Apa? Saya baru kembali dari luar dan Anda ingin saya berlarian lagi?" tanya Jovanka dengan menahan segenap kekesalan di hatinya. "Ya. Aku lupa mau bilang padamu tadi," kata Luka. "Oke, Tuan. Apa minuman yang Anda inginkan untuk menemani makan siang Anda?" tanya Jovanka selembut mungkin. Ia tidak menduga dibuat pusing dengan pesanan Luka. "Aku mau es americano tanpa es, Nona Jovanka."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD