Setengah jam sudah mereka ada di butik dan Devid hanya bisa membalas chatting dari grup WhatsAppnya saja menunggu Acha memilih aksesoris untuk dikenakan di hari kemeriahannya sebagai mantan anak SMP.
"Fotoin gua, dong!"
Mata Devid mencari-cari suara yang tak asing baginya. Seketika ia hanya bisa diam melongo menatap penampilan Acha di depannya.
"Wow, Changcuters gua berubah!" teriak Devid tak menyangka.
Senyuman Acha yang dimanis-maniskan itu segera luntur terganti oleh wajah sebal. Pramuniaga yang setia di samping Acha menahan tawa karena Devid meneriaki Acha dengan panggilan sayangnya 'Changcuters.'
Kedua jemari Acha siap untuk menonjok bibir merah Devid dengan keras, tetapi ia menahan gejolak amarahnya di depan pramuniaga yang ada di sampingnya.
"Napa tuh muka? Ditekuk gitu?" tanya Devid heran.
"Mau ganti baju gua! Ayo, Mba!" sebal Acha pergi meninggalkan Devid yang masih kebingungan.
"Katanya pengen gua foto? Kok malah ganti baju, aneh dah!" gerutu Devid kembali memainkan ponselnya.
Tak lama Acha sudah berganti pakaian kembali seperti semula. "Ke kasir!"
"Ok, Bos!" balas Devid sembari mengikuti Acha di belakang.
Di depan kasir kebaya yang diinginkan dalam proses dikemas dengan tas khusus butik glamor itu, tak lupa tercatat semua alamat media sosialnya untuk keperluan pelanggan.
"Maaf, Mba, kalo mau datengin make over ke rumah lewat mana ya, pesannya?" tanya Acha.
Mendengar pertanyaan Acha membuat Devid mengerutkan keningnya dalam, karena mama Acha juga selalu memakai make up setiap hari lalu mengapa Acha memilih menyewa untuk mempoles wajahnya? Pikirnya.
"Tante Sinta bukannya jago make over, Chang?"
Acha mengalihkan pandangannya. "Mama ada urusan katanya, gak ada di rumah nantinya," jelasnya.
"Ohh."
"Gimana, Mba?" tanya Acha kembali.
"Sudah tertera di depan bag belanjaan, Dek," jawab seorang kasir cantik dengan bibir yang sangat mungil.
"Ohh iya, hehehe," cengenges Acha sembari melihat bagnya.
Setelah memberikan total harga yang tertera, Acha dan Devid kembali mengendarai motornya melaju cepat melewati pedagang kaki lima yang memenuhi trotoar kota kembang Bandung menyegarkan.
Merasa dinginnya udara dan kecepatan motor yang tak biasa membuat Acha mengeratkan pelukannya di pinggang Devid.
"Gua mau ke apotek dulu, ya?" teriak Devid mengalahkan bising suara motornya.
"Ngapain, lu?" tanya Acha heran.
"Kepo!"
"Yaelah, t*i kuda lu!" balas Acha sebal.
***
Devid menghentikan laju motornya tepat di depan apotek, ia langsung menyuruh Acha hanya berdiri di samping motornya tanpa mengikuti.
"Panas, Dev," keluh Acha.
"Kan pake helm, gimana sih!" ketus Devid seraya berlari meninggalkan Acha yang terus saja menggerutu.
"Dasar t*i kuda!"
Seorang apoteker menghampiri Devid dengan senyuman manis menyambutnya.
"Mau beli apa, Dek?"
"Hmm ada, cat warna rambut, Mba?"
"Ada, mau warna apa?"
"Hijau tua aja, mereknya bebas deh soalnya saya baru beli jadi gak bisa bedain bagus yang mananya, Mba," jelas Devid.
"Ohh iya, Adek kelas berapa?" tanyanya kembali menilai postur tubuh Devid.
"Minggu depan party perpisahan SMP, jadi calon anak putih abu, hehehe," jawabnya.
"Buat party, ya? Takutnya Adek masih sekolah normal."
"Enggak, Mba."
Dibayarlah pewarna rambut yang dipilih Devid dan kembali menghampiri Acha. "Yuk!"
"Beli apa sih, lu?" tanya Acha penasaran mencuri-curi pandang isi kantong yang dijinjing Devid.
"Urusan pria ganteng, lo gak usah tau!" Devid memakai kembali helmnya dan menaiki motornya.
"Entar juga tau, ayo naik!" serunya karena Acha masih saja mematung menatap kantung yang ada di tangannya.
"Pelit, lu!" Acha pun menaiki motornya.
Di perjalanan pulang mereka tetap membisu sesampainya di depan rumah Devid ia langsung memarkirkan motornya di halaman, Acha pun turun, tetapi lengannya dicekal oleh Devid.
"Paan?"
"Masuk dulu, tolongin gua."
Acha mengerutkan keningnya dengan cepat Devid menariknya masuk ke dalam rumah.
"Kalian udah pulang?" sambut Dinda masih bersama kue-kue buatannya di dapur.
"Iya, Ma!" jawab Devid sembari menyampirkan jaket hitamnya ke lengan kursi ruang TV.
"Acha, gimana kebayanya?"
"Ada, Tan, cantik loh, tapi Devid tadi gak mau ambil foto, Acha!!"
"Heh! Tadi kan lo yang ngeloyor ke belakang aneh banget!" tukas Devid tak terima disalahkan.
"Itu gara-gara elo manggil gua, 'Changcuters', ya pastilah mood gua ambyar deket pramuniaganya, lagi!" jelas Acha sembari mendekap tangannya di d**a.
Devid meniru-niru cara bicara Acha membuatnya semakin naik darah, ia pun duduk di depan tv yang sedang menyiarkan sinetron.
"Udah, gak usah diperpanjang, nanti juga Tante liat di hari H," ucapnya menenangkan. "Bukannya kamu mau nginep di sini, Cha?"
"Nah, tuh! Lo juga mau nginep!!" seru Devid mengacungkan remote tv merasa menang.
"Ihh t*i kuda!! Gua mau pulang ajalah!" sebal Acha mulai angkat kaki.
Di dapur Dinda hanya bisa geleng-geleng melihat tingkahnya.
"Heh, Changcuters! Gua minta bantuan b**o!!"
"Tauk!"
Segera Devid bangkit membawa kembali kantung yang tadi berisi pewarna rambut berlari mengejar Acha yang sudah menuju rumahnya di sebelah.
"Ngambek mulu ...," goda Devid berjalan beriringan.
Acha menghentikan langkahnya dan berkata garang, "Lo mau apa sih?!"
"Balik lagi, yuk! Gua minta maaf and minta tolong ama, lu!" jawabnya dengan mengapitkan kedua tangannya memohon.
Acha mendengus sebal. "Berani bayar berapa, hah?!" tantang Acha mengingat kebiasaannya sejak kecil selalu ada jaminan uang recehan.
"Kuota sebulan gua yang beliin, deal?!" Mengajak berjabatan.
"Deal dong!" jawab Acha menjabat tangan Devid keras.
"Ok!"
Mereka pun saling bergenggaman tangan tertawa geli karena tingkah yang masih kekanak-kanakan itu, menuju kolam renang yang ada di halaman belakang rumah Devid.
"Ngapain sih?" tanya Acha masih penasaran.
"Lo tunggu di sini, ya, gua mau ambil sesuatu dulu di kamar!" Devid pun berlari dengan tangan kiri masih menjinjing kantong kresek yang entah apa isinya pikir Acha.
Acha memilih duduk santai di pinggir kolam menenggelamkan setengah kaki membiarkan celana jeansnya basah.
"Basah dong celana, lo!" ucap Devid duduk di samping Acha menggenggam sisir rambut dan peralatan yang entah untuk apa.
Acha mendongak. "Biarin seger juga, nih!"
Dikeluarkannya bungkusan yang membuat Acha kepo banget dengan isinya. Sudah terkumpul pula alat-alat yang dibawa Devid dari kamarnya, seperti kaca kecil, wadah khusus kacang polong, dan sendok.
"Lo mau warnain tuh rambut?!" kejut Acha melihat produk yang sangat terkenal itu.
"Napa? Tambah ganteng?" gurau Devid terkikik.
"Ganteng pala, lu!"
"Hahaha, biar beda gitu, elo kan pake make up nah gua pake aja pewarna rambut!"
"Kenapa warnanya ijo? Biasanya anak nakal kalo lo misalnya, warna kuning atau apalah gua kagak tau!" jelas Acha seraya mengibaskan tangannya ke depan muka Devid.
"Kan biar couple sama kebaya, elo!"
Acha menyipitkan matanya curiga. "Kok gua? Bukannya pasangan sehidup semati lo itu Kanada, ya!" gurau Acha meledek nama pacar Devid yang terakhir, Nada Syahita.
"Calon putih abu masa pacarnya yang lama, yang baru dong, Chang!" jawab Devid sok ganteng.
"t*i kuda! Udah kagak laku juga sok mahal, lu!" ledek Acha mulai membuka bungkusan pewarna rambut itu.
"Sebagai sahabat, masa gak ada hati liat Changcuters gua kagak punya pasangan waktu perpisahan? Sahabat macam apa gua ini?!" jelas Devid merutuki nasib yang akan mendatang jika dirinya tetap bersama kekasih kecilnya.
"Lebay, lu!"
"Udah bantuin gua aja nih pake, susah kayanya."
Mereka pun sibuk membaca cara memakainya, karena itu hal baru bagi mereka.