05

1057 Words
Sore hari yang cerah tergantikan dengan tiba-tiba hujan lebat mengguyur kota kembang itu membuat Sinta yang sudah siap-siap berangkat menuju bandara pun kecewa harus terhenti. "Tandanya alam gak merestui, Ma!" celetuk Acha sembari membuka lipatan payung. "Mau ke mana, kamu?" tanya Sinta tak mengubris apa yang diucapkan anaknya barusan. "Ke panti asuhan!" jawab Acha ia pun berjalan santai keluar menuju arah kiri yang tak lain adalah rumah Devid. Saat kakinya tepat berada di lantai dingin halaman Devid, Acha begitu saja membuka pintunya tanpa mengetuk terlebih dahulu karena itu sudah kebiasaanya. "Mama kamu sudah berangkat, Cha?" tanya Dinda masih dengan kue cantik hasil buatannya. "Belum, Tan!" balas Acha sembari duduk di samping Devid yang fokus dengan layar ponselnya. "Main apa, lu?" tanya Acha penasaran. "Belajar sonoh, entar gak masuk kelas unggulan lagi," ledek Devid. "Bosen!" Devid mengehentikan rutinitas menembak dan mendapatkan sesuatu yang para gamers dambakan. "Napa lu? Ada masalah?" "Biasalah, mama." "Karena elo gak ada kerjaan, gua mau kasih lu pelajaran, biar otak encer lu itu gak mubazir!" jelas Devid membuat kening Acha mengerut dalam. "Apaan?" "Mau jadi gamers?" tanya Devid sembari menampilkan layar ponselnya. "Dapet apa gua nanti?" "Dapet hiburan, lah!" serunya dongkol. "Gak tau caranya!" Devid mendekatkan wajahnya tepat di depan Acha. "Gua ajarin, lah, t***l!" "Hmm yaudah sih, mana coba!" *** Acha pun mengeluarkan gadjetnya dari saku celana, dengan cepat diraih oleh Devid langsung masuk ke pengunduhan khusus aplikasi. "Gua jamin, nanti kita selevel, Dev," tantang Acha mengedikkan bahunya. Devid meliriknya dengan tatapan merendahkan. "Liat aja, gua udah pro, Changcuts!" "Bodo!" balas Acha. Setelah susah payah Devid mengajarkan bagaimana cara memainkannya tak lama hanya beberapa menit Acha mulai mengerti. Ia merasa tak sulit untuk mendapatkan sesuatu yang selalu diincar para gamers. "Akun ini juga bisa dijual, makanya banyak banget para gamers menjualnya gak cuma-cuma!" jelas Devid setelah akhirnya Acha mulai terbiasa. "Seru juga, ya! Selain kebiasaan lu mainin cewek, ini juga enak buat gak ngebosenin!" timpal Acha mulai gereget dengan game barunya. "Tapi lo harus hati-hati, Cha, game ini juga berhasil membuat orang pada gila, itu sih yang udah kecanduan banget," pesan Devid. "Kalo gua sih candunya mainin cewek, gantengnya ini loh minta ampun," gurau Devid diakhiri tawa nyaringnya. Acha mendelik sebal. "Sok ganteng padahal kagak, sok jual mahal padahal murah!" caci Acha sebal dengan tingkat kepercayaan Devid itu. "Bodoamat!" balas Devid sembari melirik jam dinding yang ada di depan menunjukan pukul 17.25 WIB. "Udah mandi?" tanya Devid. Acha yang masih memainkan gamenya hanya mengangguk, suara bising berasal dari tembakan pistol menggema di ruang TV itu, sedangkan Dinda masih sibuk mempercantik kue pesanan pelanggannya. Devid menghampiri Mamanya seraya memeluk pinggangnya dari belakang. Ia berbisik tepat di samping telinga, "Minggu, papa pulang, ya?" Dinda mengulum senyumnya, tangannya masih mempercantik kue dengan butiran permen mini berwarna-warni. "Kamu rindu, Dev?" Dibalasnya dengan mengeratkan pelukannya. "Gak tau." Dinda melepaskan pelukan anaknya yang mengerat seakan menandakan sesuatu yang tak diinginkan. "Maafkan papamu, dia manusia biasa yang bisa khilaf kapan saja," jelasnya menatap mata Devid sayu. "Susah, Ma, itu jahat banget," balasnya menunduk. Sebuah elusan hangat mendarat di kepala Devid. "Mama mencintainya, Dev, kamu sudah tau itu," ucapnya. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi Dinda kuat bisa menahannya. "Sudahlah, Acha sendirian tuh, mamanya kan kerja. Sekarang dia nginep, kamu kasih hiburan sana! Jangan biarkan dia tau, anak mama yang paling ganteng merajuk, jelek tau!" jelas Dinda sembari mencubit pipi tirus Devid. "Love you, Mam," balas Devid dan mencium kedua pipi Dinda. "Love you too." Devid pun menghampiri Acha yang masih menunduk bersama game barunya. *** Kamis pagi, Acha dan Devid sudah mulai bersiap untuk berangkat ke sekolah, catat ya! Tanpa seragam SMP karena mereka hanya akan menonton latihan yang akan digelar waktu minggu pagi nanti. Sweater putih dipadu dengan training olahraga, tak lupa rambut hitam legam sebahu Acha terkuncir rapi di belakang. "Kenapa sih, gua diciptakan sekeren ini?" ucap Devid merapikan kaos abu berlengan pendek itu, tak lupa jeans selutut yang senada dengan warna putih mulus kulitnya. Rambut hitam dan alis tebalnya menjadi incaran semua cewek, terkecuali Acha yang menurutnya biasa saja. Tak lupa hidung mancung Devid warisan dari papanya, matanya yang sedikit warna cokelat perpaduan dari sang mama. Acha mendelik. "Jadi orang itu jangan sok cakep! Karena suatu saat juga tuh, rupa bakal berubah!" "Suatu saat, Cha, ini kan sekarang, emang dari lahir juga gua udah super ganteng melebihi aktor Indonesia ataupun opa-opa Korea!" dengusnya membuat bibir kemerahan Devid tersungging senyum miring. "Terus gua harus ngemis buat fotbar ama lu, gitu?" "Mungkin nanti, waktu gua udah populer lo pastinya kesusahan!" Ditempelkan punggung tangan Acha ke dahi Devid. "Minum obat dulu, ya, halunya ketinggian takutnya lu jatuh gak ketulungan!" ledek Acha sembari menggoes sepedanya meninggalkan Devid dengan pelongon yang membuat para ciwi-ciwi kelepekan. "Halu dia bilang? Emang fakta gua ganteng dari sebelum berojol juga!" gerutu Devid dan mulai mengejar Acha dengan sepedanya. *** Sesampainya di depan sekolah, Acha membalas senyuman satu-satu siswa yang dijumpainya termasuk adik kelasnya. Devid masih dengan wajah mahalnya ia akan membalas hanya senyuman miring, membuat para ciwi-ciwi terkikik salah tingkah. "Hallo, kak Devid ...," sapa keempat cewek paling populer di zamannya. "Hai," balas Devid singkat, seketika mereka membalas kembali dengan senyuman kegenitan. Masih di depan gerbang sembari duduk di sepeda, mereka dikejutkan oleh salah satu guru kesenian. "Assalamualaikum, Bu, apa kabar?" salam Acha menghampiri sang guru, Devid pun membuntuti. "Waalaikumsalam, Alhamdulillah baik," jawabmya tersenyum ramah. "Kalian melanjutkan sekolah ke mana?" tanyanya. "SMA Garuda, Bu," jawabnya. "Ohh itu, katanya pembagian kelasnya gak sembaranga, ya? Akan ada semacan tes tentang semua pelajaran." "Iya, Bu, tapi kita bisa pilih itu soalnya paling deket dari rumah, walau gak deket amat juga, hehehe," jelas Acha. "Bagus juga sih, membuat para pelajar berfikir bahwa kelas unggulan itu memang ada!" "Ekhm." Devid pura-pura gatal menggaruk tenggorokannya. Acha yakin ia merasa tersindir akan nilai yang semakin ke sini menjadi kecil. "Yaudah, Bu, kami hanya ingin keliling doang," pamit Acha kembali menyalami tangan mulus Bu Hani itu yang anggun oleh polesan make up menor. "Iya, silakan." Mereka pun kembali mengggowes sepedanya, mulai dari lapangan basket dan asrama yang ada di sana. "Kak Devid! Punya pacar belum, hahaha," teriak ciwi-ciwi yang sedang latihan menari membuat Devid menghentikan sepedanya. "Lagi nyari, nih," balas Devid. "Aaa .... Aku aja, Kak!" teriak mereka histeris bersamaan. Acha yang sudah berada jauh di depannya merasa ingin muntah. "Nyari t*i kuda aja, lu!" gerutunya kembali menjalankan sepedanya santai. "Nanti aku dm, ya, jangan lupa bales!" teriak salah satu dari mereka. "Iya," balasnya diakhiri senyuman maut. "Jangan senyum mulu! Kita gemeter nih," ucapnya ketawa-ketiwi. "Takut diabetes!" "Manisnya buat nanti kita jalan bareng aja, Kak! Hahaha." "Sedang apa kalian?!" teriak seorang pelatih tari, mereka pun gelagapan kembali menuju aula. Devid membalasnya dengan senyuman, si pelatih yang kira-kira baru menginjak umur sembilan belas ke atas pipinya bersemu merah mulai salah tingkah. "Anjir! Gua ditinggalin, dasar bakso gejrot!!" sebal Devid saat matanya menangkap sosok Acha yang jauh darinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD