Part 6

2840 Words
 Selina menimbang kembali tawaran Leo. Jabatan manager mungkin dia tidak terlalu antusias menyambutnya. Dia pernaha melihat manager yang dulu kesulitan menyusun laporan lalu masih harus ke kantor pusat seminggu sekali untuk rapat dengan atasan. Sementara gajinya tidak berbeda jauh. Yang menjadi pertimbangan Selina adalah uang lima ratus juta yang Leo janjikan.  Benarkah ada orang sebaik itu? Hanya menemaninya satu malam lalu akan di berikan uang yang banyak. Apa orang kaya memang melakukan hal seperti itu untuk menghabiskan uang mereka? Selina bertanya-tanya dalam hati. Rasanya dia tidak percaya dengan ucapan Leo namun, kesempatan hanya datang satu kali. Selina tidak mungkin melewatkannya. Akan tetapi dia sangat bimbang, takut jika Leo melakukan hal lain selain hanya menemani. Selina menghembuskan napasnya keras, dia memantapkan hatinya untuk menerima tawaran Leo.  Selina menyentuh layar ponselnya lalu mengetikkan balasan pada Leo. Leo mengajaknya untuk bertemu di hotel yang bersebelahan dengan mall tempatnya bekerja. Besok jam delapan malam adalah waktu yang Leo tentukan.  Selina Baik, Pak. Saya akan datang tepat waktu Selina menekan tombol kirim lalu menekan dadanya yang berdetak lebih cepat.  Dia menarik napasnya lalu menghembuskannya secara perlahan. Selina melakukannya berulang kali untuk menenangkan jantungnya.  Sementara itu Leo yang menerima balasan dari Selina tersenyum senang. Rasanya dia baru saja mendapatkan sebuah proyek besar dan hal tersebut membuatnya sangat bangga pada dirinya sendiri.  "Pak, Anda harus memeriksa ini." Arnold masuk dengan setumpuk berkas di tangannya. Dia mengangkat alisnya bingung melihat atasannya yang tersenyum seperti orang kurang waras. Padahal pagi tadi pria itu mengamuk di ruang rapat karena kesalahan dari divisi keuangan.  "Sepertinya Anda baru saja mendapat kabar bahagia, Pak." Arnold menebak santai. "Dia setuju untuk menemaniku satu malam," ucap Leo. Masih dengan senyum yang tidak luntur dari wajahnya. Arnold langsung tahu kemana arah pembicaraan bosnya.  "Sudah membuat perjanjian tertulis, Pak?" Entah mengapa Arnold tidak begitu yakin dengan Selina. Dia merasa Selina berbeda dengan wanita yang sering dia temui. Wanita itu terlihat lebih tulus dan juga polos.  "Kami tidak butuh perjanjian semacam itu." Menurut Leo, surat perjanjian hanya akan membuat keadaan kaku. Lagi pula Selina begitu mudah dikendalikan. Leo tersenyum licik, otaknya sudah penuh dengan berbagai rencana untuk menaklukkan Selina di atas ranjangnya.  "Saran saya pakai surat perjanjian aja, Pak. Tidak ada yang tahu apa yang wanita itu pikirkan." Leo menggeleng.  "Itu tidak perlu, dia wanita yang penurut dan sangat mudah di kendalikan," ucap Leo tanpa melihat ke arah Arnold.  "Semoga penilaian Anda tepat, Pak. Saya hanya khawatir Anda di tipu." Arnold lalu pamit keluar dari ruangan Leo. Leo sendiri hanya mengangkat bahunya acuh, dia tidak terlalu mengindahkan perkataan asistennya itu.  *** Hari berganti dengan cepat, satu hari terasa seperti satu jam. Selina melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, masih jam lima sore. Selina baru saja selesai bekerja. Selina memilih kembali kerumah dan mengganti pakaian kerjanya. Dia punya waktu tiga jam sebelum jam  delapan malam.  Setibanya di rumah, Selina langsung membersihkan tubuhnya. Dia lalu memilih celana jeans dan kaos polos berwarna kuning kesukaannya. Selina memoles riasan tipis di wajahnya lalu menyemprotkan parfum untuk sentuhan terakhir. Dia tidak ingin Leo mengusirnya dan berakhir dia tidak mendapatkan uang karena bau keringat di tubuhnya. Selina mengirimkan pesan untuk Eva-kakak sepupunya, mengabari wanita itu kalau kemungkinan dia tidak akan pulang malam ini. Selina berbohong pada Eva, dia mengatakan kalau dia bermain ke rumah teman kerjanya. Setelah menempuh hampir tiga puluh menit di perjalanan, Selina akhirnya tiba di depan hotel yang sudah Leo tentukan. Seorang wanita datang menghampiri Selina.  "Nona Selina?" Selina mengangguk.  "Mari, saya akan mengantar Anda kepada Tuan Leo." Jantung Selina tiba-tiba berdetak lebih kencang. Perasaannya kembali meragu. Dia ingat kembali perkataan Eva saat dia pertama kali tiba di Jakarta. "Jangan percaya pada siapaun di kota ini, apalagi  itu orang yang baru kau kenal. Tidak ada orang benar-benar tulus, yang ada hanya mereka yang ingin mencari keuntungan sendiri." Tapi, keuntungan apa yang bisa Leo ambil darinya?  "Kita sudah sampai, Nona. Silahkan masuk, Tuan Leo sudah menunggu Anda sejak tadi," kata wanita itu lalu mengetuk pintu dua kali kemudian membiarkan Selina masuk seorang diri.  "Selamat malam, Pak," sapa Selina pada Leo yang duduk di sofa dengan berbagai makan yang berada di hadapannya.  "Duduklah, kita makan dulu." Leo menunjuk tempat kosong di sisi kirinya. Selina yang memang belum makan malam tidak menolak tawaran itu. Dia langsung duduk lalu meletakkan tasnya di samping kanan. Dia menjadikan tas itu penghalang antara dirinya dan Leo.  "Makan yang banyak. Saya tidak ingin kamu kelelahan di tengah kegiatan kita nantinya." Selina mengerutkan keningnya.  "Memangnya kita akan melakukan apa, Pak?" Leo hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Selina tanpa berniat menjawabnya.Selina sendiri lebih memilih melanjutkan makannya. Perutnya semakin lapar apalagi melihat makan mahal di hadapannya. Selina memlih menu lalu melahapnya tanpa malu. Dia tidak menahan diri atau bersikap jaim di hadapan Leo. Hal itu membuat Leo semakin senang. Selina berbeda dengan wanita yang sering di temuinya, mereka lebih sering menyisakan makan di piring atau hanya memakan dedaunan saja.  "Ini cek lima ratus juta. Kamu bisa menyimpannya sekarang." Leo memberikan selembar cek kepada Selina tepat setelah mereka selesai makan. Selina mengambil cek itu dengan tangan gemetar. Seumur hidupnya, dia belum pernah melihat uang sebanyak itu.  "Terima kasih, Pak," ucap Selina pelan lalu memasukkan kertas selembar itu ke dalam tasnya dengan sangat hati-hati. Selama beberepa menit mereka saling terdiam. Kemudian Leo pelan-pelan bergerak semakin dekat dengan Selina. Tas yang menjadi penghalang mereka sudah Leo singkirkan ke atas meja. Selina tiba-tiba berdiri. "Sa-saya mau ke toilet, Pak." Leo menunjuk pintu tanpa mengatakan apapun. Kemudian Selina langsung bergegas menuju pintu itu. Leo menghitung waktu, menunggu Selina dari kamar mandi. Tepat lima menit Selina keluar dari kamar mandi dan kembali duduk di samping Leo.  "Apa kamu tahu, kalau kamu sangat cantik?" Leo menatap Selina tepat di matanya. Mengunci bola mata hitam pekat itu, menghipnotis Selina untuk menikmati keindahan wajah tampan Leo. Selina tersentak saat bibir Leo menyetuh bibirnya dengan gerakan halus. Untuk beberasa saat Selina tidak tahu hendak melakukan apapun. Dia hanya bisa diam menerima perlakuan Leo.  "Apa ini pengalaman pertamamu?" tanya Leo sedikit memberi jarak antara  dirinya dengan Selina.  "Apa yang Bapak lakukan?" tanya Selina. Dia menatap polos mata Leo. Perempuan itu belum bisa menebak situasinya sekarang. Leo tersenyum, benar-benar masih polos, pikirnya.  "Aku sedang memberikan pengalaman dewasa untuk kamu. Hal ini bertujuan agar kamu tidak mudah di tipu laki-laki." Leo memuji dirinya sendiri karena sangat lancar berbohong. Selina mengangkat tangannya dan menahannya di dadaa Leo. Dia menjauhkan dirinya dari serangan bibir laki-laki itu. Selina mulai bisa membaca  situsianya sekarang.  "Bapak berjanji kalau saya hanya menemani Anda, Pak. Bapak tidak boleh melakukan hal lain, apalagi hal dewasa yang Bapak maksud." Selina menggeleng menolak. Leo mengambil kedua tangan Selina dan menggenggamnya erat namun tidak sampai menyakiti perempuan itu.   "Apa saya mengatakan kalau kita hanya diam dan duduk sepanjang malam? Ingat perkataan saya saat kita pertemuan kita di restoran?" Selina memutar ingatannya ke pembicaraan mereka. lalu dia menggelengkan. "Bapak hanya bilang kalau saya akan menemani Anda satu malam lalu Bapak menjanjikan uang dan juga jabatan."  "Aku mengatakan kalau hal lainnya akan menyusul. Ingat?"  "Ta-tapi, Pak-" "Kamu tidak bisa menolak, uangnya sudah kamu terima." Leo lalu menarik Selina dengan satu gerakan halus dan membuat Selina jatuh di pangkuan Leo. Leo memindahkan tangannya ke pinggang Selina, menghirup wangi yang menguar dari tubuh Selina. Leo mendaratkan bibirnya di leher Selina mengecup lembut kulit mulus perempuan itu.  "Saya suka wangi tubuhmu," bisik Leo di sela-sela kegiatannya. Selina mengepalkan tangannya menahan perasaan aneh yang timbul lalu wajah kedua orang tuanya timbul di pikirannya. 'Pandai menjaga diri iya, Nak'. kata ayahnya saat itu.  Selina masih tidak melawan ketika Leo meloloskan kaos dari kepalanya menyisakan tanktop berwarna putih dan juga braa dengan warna senada. Leo menadang Selina dengan takjub, tubuh perempuan itu begitu indah. Leo berdiri tanpa menurunkan Selina dari pangkuannya. Dia membawa gadis itu ke atas ranjang empuk berukuran king. Di sana dia kembali menyentuh kulit Selina yang terbuka. Leo meninggalkan bekas kemerahan di leher dan pundak Selina. Dia benar-benar tidak bisa melepaskan perempuan itu, Leo menyukai semua yang ada pada Selina.  Selina tidak menikmati permainan itu. Yang dia semakin takut ketika bayangan kedua orang tuanya terus menerus muncul di kepalanya. Selina tersenyum, sebuah ide melintas di kepalanya. Dia mulai menerima ciuman Leo, membalasnya dengan ragu dan kaku. Hal itu rupanya semakin membuat Leo b*******h. Selina mendorong Leo membalikkan posisi mereka. Dia mengambil dasi Leo yang berada di atas nakas.  "Apa yang kamu lakukan?" tanya Leo.  "Menikmati Bapak," jawab Selina polos. "Boleh aku mengikat tangan Bapak? Saya janji akan melepasnya kalau kita sudah selesai," katanya lagi. Leo yang kehilangan otaknya karena dikuasai gairah hanya menngangguk pasrah. Selina menyatukan kedua tangan Leo di kepala ranjang lalu mengikatnya dengan simpul mati. Leo sama sekali tidak menyadari rencana yang Selina susun.  Setelah mengikat tangan Leo, Selina memastikan kalau ikatan itu tidak akan lepas meskipun Leo menariknya sekuat tenaga. Selina tidak langsung meninggalkan Leo. Dia masih berada diatas perut laki-laki itu, dia kemudian membungkuk lalu mengecup kedua pipi Leo. Kemudian ciumannya berpindah ke telinga pria itu. Hanya kecupan biasa namun mampu membuat Leo mendesah pelan. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjutkan ini," bisik Selina tepat di telinga Leo.  "Kamu mempermainkan saya?" Leo menarik tangannya yang terikat, dia menggertakkan giginya lalu menarik tangannya sekuat tenaga.  "Jangan berusaha terlalu keras, Pak. Takutnya malah menyakiti tangan Bapak." Selina turun dari perut Leo. Dia mencari kaosnya yang di lepaskan Leo tadi. Selina lalu memakainya dengan cepat. Selina mengambil tasnya lalu mengeluarkan cek dari sana.  "Saya mengembalikan uang Bapak, dan ini ..." Selina mengeluarkan uang seratusan ribuan sebanyak lima lembar. "Saya yakin tangan Bapak pasti memerah dan lecet. Jadi saya tinggalkan ini untuk membeli obat oles." Selina meletakkan cek dan uang itu di atas nakas.  "Selina, kamu tahu, kan apa akibatnya, jika kamu mepermainkan saya?" Leo tidak lagi berusaha melepaskan tangannya dari ikatan dasinya sendiri. Selina mengangguk.  "Saya akan kehilangan pekerjaan saya," ucap Selina. Setelah ini dia akan mempersiapkan surat lamaran pekerjaan yang baru. Rasanya berat kehilangan pekerjaan yang sudah bertahun-tahun kita nikmati.  "Kamu tidak akan bisa menikmati kehidupan kamu seperti sebelumnya lagi. Saya akan membuat kamu tidak di terima bekerja di manapun." Leo tersenyum licik melihat perubahan warna di wajah Selina.  "Itu lebih baik daripada saya mencoreng nama baik kedua orang tua saya, Pak." Selina tidak akan menyesali keputusannya hari ini. Dia mungkin bisa menahan perkataan buruk orang lain terhadapanya, tapi tidak dengan kedua orang tuanya. Terlebih ibunya, wanita itu begitu perasa. Selina takut menyakiti kedua oran tuanya, dia begitu menyayangi mereka yang sudah berjuang keras demi dia dan adik-adiknya.  Selina kemudian mendekati Leo lagi, dia mengambil ponsel Leo lalu mengarahkannya ke wajah Leo untuk membuka layar ponsel yang terkunci. Dia mencari nama Arnold di sana, Selina pernah mendengar kalau nama orang kepercayaan bernama Arnold, semoga saja dia tidak salah. "Saya mengirimkan pesan pada asisten Bapak. Tidak lama dia akan tiba di sini." Selina mengembalikan ponsel Leo ke samping pria itu.  "Selina Sialan!" maki Leo keras. Selina melihat Leo dengan tatapan yang tidak bisa di baca. Entah apa yang perempuan itu pikirkan hingga dia membungkuk lalu mengecup kening Leo lembut. Sangat lembut hingga amarah Leo sedikit berkurang karenanya.  "Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Ini salah saya karena tidak menangkap maskud dari perkataan Bapak. Seandainya saya tahu kalau yang Bapak inginkan adalah tidur dengan saya, maka saya tidak akan pernah setuju untuk datang ke sini." Selina kemudian berbalik lalu berjalan menuju pintu kamar itu.  "Memangnya apa yang bisa kamu lakukan setelah kehilangan pekerjaan?" Pertanyaan Leo menghentikan langkah kaki Selina.  "Cari pekerjaan lain, Pak."  "Apa kamu pikir kamu akan bisa mendapatkan pekerjaan setelah mempermainkan saya seperti ini?"  "Kalau begitu saya akan kembali kepada kedua orang tua saya di kampung," jawab Selina tanpa pikir panjang. Memangnya apa lagi yang bisa dia lakukan kecuali pulang?  "Selamat malam, Pak," ucap Selina lalu benar-benar keluar dari  kamar hotel. Leo menghela napasnya kesal. Kesal karena tujuannya tidak tercapai. Leo menghitung waktu menunggu Arnold datang untuk melepaskannya. Simpul yang Selina buat cukup kuat hingga Leo sendiri tidak mampu melepaskannya.  Lima belas menit setelah Selina pergi, Arnold masuk ke dalam kamar hotel. Wajahnya yang sudah di kenali pegawai hotel di sana, langsung di persilahkan masuk dengan kunci cadangan kamar hotel itu. Hotel itu bukan bagian dari Sadewa grup namun, Leo memiki saham di sana.  Arnold mengulum bibirnya begitu dia melihat kondisi bosnya. Wibawa Leo yang selama ini membuatnya menunduk hormat hilang seketika. Pria itu terlihat seperti korban penyekapan berhari-hari. Penampilannya acak-acakan. "Tertawa saja, tidak perlu di tahan," sungut Leo melihat ekspresi asistennya itu. Arnold menggelengkan kepalanya lalu mendekat pada Leo. Tanpa diminta dia membuka ikatan dasi di tangan bosnya itu.  "Ini simpul mati. Maaf, Bos, sepertinya saya harus merusak dasi ini." Arnold lalu mengeluarkan pisau lipat yang selalu dibawanya kemana pun dari balik jaketnya kemudian menyayat dasi itu.  "Saya masih belum bisa membayangkan bagaimana cara wanita itu mengikatmu, Bos." Arnold bisa menebak kalau Selina bukanlah wanita yang mudah. Tapi, dia tidak bisa menebak kekuatan wanita itu hingga bisa mengikat Leo di kepala ranjang seperti ini terlebih Leo merupakam pemegang sabuk hitam taekwondo. Apa mungkin Selina juga jago bela diri? Tapi di lihat dari riwayat pendidikan dan juga keluarganya, Selina tidak pernah mengikuti pelatihan olah raga  bela diri taekwondo.  "Tidak perlu membayangkannya. Kamu bisa pergi sekarang!" Leo mengusir Arnold yang banyak bicara.  "Seandainya Bos mengikuti saranku membuat perjanjian tertulis, saya jamin wanita itu tidak akan menolak seperti ini," kata Arnold seraya berlalu dari hadapan Leo sebelum pria itu melampiaskan amarahnya kepada Arnold.  *** Selina melangkah pelan dan hati-hati berusaha tidak menimbulkan suara saat memasuki rumah kontrakannya dengan Eva. Melihat ke kamar sepupunya itu, sepertinya dia sudah tidur. Selina memasuki kamarnya lalu menutup pintu. Dia menghembuskan napasnya lega karena tidak terpergok oleh Eva. Kalau saja tadi Eva belum tidur, dia mungkin akan jadi bulan-bulan wanita itu.  Selina duduk di kasur single miliknya, ingatannya berputar pada saat kejaadian di hotel tadi.  "Bodoh," sungut Selina pada dirinya sendiri. Dia begitu kesal karena mengira Leo orang baik yang akan memberinya uang secara cuma-cuma karena sudah menemaninya sepanjang malam hanya duduk dan diam. Selina bahkan sudah menyiapkan kopi instan di dalam tasnya untuk berjaga kalau dia mengantuk. Selina merebahkan dirinya lalu menatap lurus pada langit-langit kamarnya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kecewanya kedua orang tuanya kalau saja dia memilih pasrah tadi. Mungkin dia akan dipecat jadi anak.   Selina memejamkan matanya berharap kantuk segera menjemputnya. Lau melupakan semua yang dia alami hari ini. Namun yang datang saat dia menutup mata adalah bayang Leo yang mengecup kulit lehernya lembut, Leo yang merenggut ciuman pertamanya. Dan yang paling memalukan usahanya untuk membalas ciuman Leo. Selina membuka matanya cepat. Jantungnya tiba-tiba berdebar lebih cepat hingga rasanya jantungnya mau keluar.  "Ini aku tidak mungkin sakit jantung, kan?" gumam Selina takut. Selina memegangi dadanya dia meringis, jantungnya tidak kunjung berdetak normal. Selina belum pernah merasakan jantungnya seperti ini, jadi dia tidak bisa menebak apa yang dia rasakan.  Selina keluar dari kamarnya lalu mengambil sekotak s**u dari dalam kulkas. Biasanya jika susah tidur, minum s**u coklat akan membuatnya lebih cepat mengantuk. Setelah menghabiskan susunya, Selina kembali ke kamarnya. Benar saja tidak lama dia sudah mengantuk. Selina tertidur tanpa mengganti pakaiannya.  Keesokan harinya Selina bangun lebih siang dari biasanya. Dia tidak perlu repot-repot bangun pagi karena dia sudah kehilangan pekerjaan. Memang surat pemecatannya belum keluar tapi, bukankah itu hanya tinggal mneunggu waktu.  Selina keluar dari kamarnya langsung menuju dapur. Perutnya sudah mulai berbunyi minta di isi. Keadaan rumahnya sekarng sepi, itu artinya Eva sudah berangkat kerja.  Selina mengeluarkan dua buah telur dari kulkas lalu dia rebus kedua telor itu. Selina lalu mengambil priang kemudian mengisi nasi ke dalam piring. Telur yang dia rebus tadi, dia kupas. Selina sarapan hanya dengan nasi dan dua buah telur rebus ditambah saus sambal.  Setelah sarapan tidak ada lagi yang bisa perempuan itu lakukan. Dia lalu duduk di depan televisi lalu menggonta-ganti chanel mencari tontonan yang menarik. Setelah dua jam berada di depan televisi, Selina mulai bosan. Dia mengambil ponselnya, mengecek sisa uang yang dia punya. Tidak banyak yang tersisa, uang yang dia punya hanya cukup untuk makan sampai satu bulan kedepan. Selina butuh pekerjaan untuk tetap bisa menghasilkan uang untuk menyambung hidup. Lalu dia masih harus mengirim uang juga kepada adiknya dan juga orang tuanya. Selina membuka internet di ponselnya mencari lowongan pekerjaan yang di posting di sana.  Selina meletakkan ponselnya lalu menghela napasnya berat. Dari hampir dua puluh lowongan pekerjaan yang dia baca tidak satu pun yang cocok untuknya. Bukan karena Selina pemilih, tapi semua perusahaan itu mematok pendidikan minimal lulusan D3. Sementara Selina yang hanya lulus SMA tidak mungkin mengirimkan lamarannya. Tiba-tiba ponselnya berdering mengagetkan Selina. Yang meneleponnya adalah manager yang baru di The Fashion House tempatnya bekerja sebelumnya.  "Halo." Selina menjawab telepon itu di dering ketiga.  "Kamu tidak bekerja hari ini, Selina?" tanya wanita itu.  "Eh, bukannya saya sudah dipecat, Bu?" tanya Selina bingung. Jelas-jelas Leo mengatakan kalau dia akan dipecat dan di persulit mendapat pekerjaan.  "Siapa yang bilang?"  "I-itu-"  "Pak, Leo tidak memberikan perintah apapun tentang pemberhentian kamu. Saya beri waktu kamu tiga puluh menit. Bersiap dan segera datang ke toko." Lalu tanpa menunggu balasan dari Selina manager toko yang baru itu langsung menutup telepon. Manager yang baru jelas tahu tujuan Leo mendekati Selina. Dia sendiri di perintah langsung untuk memantau Selina. Bersambung.. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD