Setelah acara makan malam yang seru, keluarga bahagia itu mulai berancang-ancang untuk meninggalkan restoran.
Ketika hendak berdiri, Fana kembali mendengar suara jeritan dan pukulan antara benda-benda keras dan besar di sekitarnya. Gadis itu bahkan tampak kesakitan, serta terus saja memegang kedua telinganya.
"Fana, kenapa?" tanya papa sambil menutup dompet kulit berwarna coklat muda, pemberian istrinya setahun yang lalu. "Kamu sakit?"
"Nggak, Pa. Cuma pusing aja dan seperti mendengar suara yang ramai sekali."
"Seperti apa?" tanya papanya sambil menunduk.
"Suara pukulan benda keras, teriakan permintaan tolong, tangisan, bahkan ledakan," jawab Fana kian mundur dengan pandangan yang berkunang-kunang.
Papa dan mamanya Fana saling menatap, seakan mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada putri sulungnya tersebut. Namun, tak ada satu pun diantara keduanya yang berniat untuk mengatakan apa pun.
"Sebaiknya kita segera pulang saja, Ma! Supaya Fana bisa langsung beristirahat."
Sang mama menganggukkan kepala tanda setuju, "Baik, Pa. Ayo!"
Mama masih menggendong Pita, papa membantu Fana untuk berjalan. Saat itu, si kecil tampak awet tersenyum, seraya menghisap susuu dari dalam botol kesayangannya.
"Pa, Fana bisa kok jalan sendiri. Sudah mendingan," kata gadis itu sambil menatap papanya.
"Yakin?" tanya papanya sekali lagi karena khawatir.
"Iya, Pa."
"Kalau gitu, Papa duluan. Mau bukakan pintu mobil."
Fana mengangguk dalam senyum. "Iya."
Papa, mama, dan Pita bergerak lebih dulu. Setibanya di dalam mobil, papa keluar kembali dan berteriak. "Fa! Tolong ambilkan ponsel Papa! Mungkin ketinggalan di atas meja atau di sisi kasir."
"Iya, Pa," jawab Fana sambil menghentikan langkahnya. Kemudian, ia membalik arah untuk kembali ke restoran tersebut.
Selang lima menit, Fana keluar dari pintu kaca ukuran besar dan menatap jauh ke depan. Di sana, papanya masih berdiri di sisi kanan depan mobil.
Saat itu, Fana tersenyum kembali, seraya mengangkat tangan kanan yang sudah menggenggam ponsel milik papanya. Sang papa pun membalas senyum putrinya dengan wajah cerah.
Namun, tiba-tiba saja Fana melihat bayangan asing yang mengenakan pakaian serba hitam, menyerupai jas hujan, sudah berada di belakang papa dan juga sisi belakang mobil. Sementara, mama dan Pita berada di depannya (Kursi depan).
Fana memicingkan mata, demi memfokuskan penglihatannya. Tidak salah lagi, makhluk asing itu memang nyata. Dengan cepat, gadis itu berjalan sambil berteriak, dengan tujuan memberitahukan sang papa mengenai apa yang ia lihat.
"Papa, Mama, Pita, awas! Ayo ke sini!" pinta gadis itu histeris karena dengan cepat jantungnya bergetar hebat.
Sepersekian detik setelah panggilan bernada ketakutan itu, dari arah belakang, mobil tronton bergerak cepat dan oleng.
Kendaraan yang memiliki body ekstra besar itu, tampak kehilangan keseimbangan dan dengan brutal melindas apa yang ada di hadapannya.
Lebih dari lima mobil di depannya ringsek parah. Apalagi kendaraan milik keluarganya Fana.
Saat ini yang bisa gadis itu lihat hanyalah, lambaian tangan kanan Pita yang masih mungil dan keluar dari kaca kiri.
"Tidaaak!" pekik Fana tanpa ampun, bersambut dengan suara tabrakan beruntung dan ledakan mobil yang berada di sebrang jalan lainnya.
Wajah-wajah penuh ketakutan dari orang-orang yang hampir meregang nyawa, membayangi gadis berambut pendek sebahu tersebut.
"Pitaaa! Mamaaa! Papaaa!" Ia menangis sambil terus berlari, tetapi tubuhnya tidak pernah sampai.
Kaki kanan Fana menabrak kaki kiri dan ia hilang kendali atas tubuhnya. Tubuh muda itu tersungkur di atas aspal dan pada saat yang bersamaan, ia dapat melihat sang papa berada di bawah kolong mobil dengan wajah yang sudah bersimbah darah.
Fana histeris dan menangis seperti orang gila. Ia berusaha untuk kembali berdiri dan mengejar. Namun ledakan dahsyat terlanjur menghancurkan niatnya dan tubuh itu terlempar cukup jauh.
Api membakar semua yang ada, asap hitam membumbung tinggi di angkasa, udara sejuk pun berubah menjadi panas, malam kelam memerah. Tidak ada satu pun yang mampu diselamatkan.
Untung saja, Fana sempat melindungi wajah cantik miliknya, dari percikan api dengan tangan kiri. Walau begitu, jika ditanya, ia akan memilih mati dan ikut bersama dengan yang lainnya.
Tubuh Fana kembali tergeletak di atas aspal cukup jauh dari lokasi kecelakaan gila yang menghabisi nyawa seluruh anggota keluarganya.
Di dalam sadar pada posisi tengkurep, gadis itu masih meluruskan pandangannya, hanya untuk menatap kehancuran di depan mata. Fana, kini ia hanya seorang diri dengan luka bakar di tangan kirinya.
***
Tiga bulan kemudian, di Rumah Sakit Kasih Ibu, ruang ICU.
'Kakak, ha ha ha ha ha.' Suara tawa khas milik Pita menemani waktunya, di dalam ketidaksadaran.
'Pita!' Panggil Fana sambil mencari-cari sumber suara tersebut. 'Deeek!'
'Kakak!' Panggilan itu terngiang kembali. Namun lama-kelamaan menjauh, lalu menghilang.
Fana tersentak, ia terbangun dari tidur panjang selama tiga bulan. Ketika ia terduduk, para perawat pun langsung mendekat dan memeriksanya.
"Syukurlah, dia sudah sadar," ucap salah seorang perawat yang bertugas. Saat itu, Fana langsung menatap perempuan keturunan Timur Indonesia itu.
"Tenang ya, Mbak!" pinta yang lainnya seraya mendorong lembut kedua sisi lengan Fana, supaya dia kembali membaringkan tubuh. Gadis itu pun mencari asal suara itu dan menatapnya dalam.
Tanpa menjawab, Fana mengikuti dorongan lamban tersebut dengan berjuta tanya. Hanya satu yang ia ketahui, saat ini sekujur tubuhnya terasa begitu sakit. Dan hanya satu yang ia syukuri, yaitu apa yang ia lihat, alami, dan rasakan, hanyalah mimpi.
"Besok pagi, saat dokter visit datang. Kamu bisa mengutarakan semua keluhan dan rasa sakit yang dirasakan ya!?" ucap perawat dalam senyum simpul.
Fana kembali menatap dalam. "Di-di mana mama?" tanyanya dengan suara parau.
Perawat tersenyum hangat, "Sebaiknya jangan banyak bicara dulu supaya cepat sembuh! Besok, pagi-pagi sekali, biasanya beliau sudah datang," sambung wanita berhijab itu sambil merapikan selimut Fana.
Fana mengangguk dan sudah merasa sangat lega. Perkataan perawat itu, membuat pikirannya tenang dan menganggap apa yang selalu ia lihat di dalam kenangan ini adalah sebuah mimpi buruk semata.
Keesokan harinya, sekitar pukul 06.00 WIB. Gadis cantik itu sudah membuka kedua matanya lebar-lebar. Ia tengah menanti papa, mama, dan juga Pita.
Sayangnya, setelah tiga jam penantian, apa yang ia harapkan tidak kunjung tiba. Tanda tanya kembali merasuki pikirannya. Sebab, kedua orangtuanya tidak pernah bersikap acuh tak acuh kepadanya.
"Sayang, kamu sudah sadar?" Seseorang dari arah kanan bertanya dengan suaranya yang lembut dan serak. "Fana ... ," ratapnya dalam pelukan hangat.
Fana menatap wanita berparas cantik, berambut sebahu, dan bergelombang tersebut. "Tante?"
Claudia mengangkat wajah dan menatap Fana dengan sorot mata iba. Lalu tangan kirinya, memegang kepala keponakannya itu dengan penuh kasih sayang.
"Tante di sini, selalu bersamamu." Saudara papa itu memegang tangan Fana. "Biasanya, om kamu juga di sini. Hanya saja, sudah tiga hari ini keluar kota. Pas tadi subuh, Tante telepon untuk mengatakan kabar baik darimu, beliau langsung senang," jelasnya dalam senyum.
Fana pun turut memaksakan senyumnya, "Di mana Pita?" Ia tampak begitu merindukan adik yang sedang lucu-lucunya dan kerap tampil menggemaskan.
"Apa?" Claudia melipat dahi dan merasa sangat terkejut. Tampaknya, ia baru menyadari bahwa Fana lupa akan apa yang telah terjadi.
"Kenapa Tante bengong begitu?" tanya Fana manja, seperti biasanya. "Fana kangen sama pipinya, Tante."
Mata wanita cantik itu, berkaca. Ia pun terhenyak sejenak, seraya menatap keponakan kesayangannya tersebut.
Claudia memegang kedua tangan Fana sangat erat, "Sabar ya, Sayang! Tuhan lebih sayang dan kangen sama mereka semua," jelas Claudia yang samar-samar terdengar. Seolah, suara itu tidak mampu menembus tenggorokannya.
"Tidak mungkin!" elak Fana yang masih terkejut. Ternyata, selama ini ia tidak tengah bermimpi. Semua bayangan yang kerap kali menyiksa hatinya adalah kenangan.
Fana kembali terbayang kejadian naas tersebut. Wajah papa yang bersimbah darah dan lambaian tangan Pita, terulang kembali. Ia juga dapat melihat dirinya, ketika terkena jilatan si jago merah.
Dengan cepat, Pita menarik tangan kiri dan memeriksakannya. Benar saja, api itu memang sudah berlalu. Tetapi, masih menyisakan luka bakar di lengan kirinya.
Bulir-bulir air mata gadis itu pun menetes berat. Bibirnya bergetar hebat, dan kepalanya terasa berputar kuat. Lalu ia tidak lagi dapat merasakan apa pun.
Bersambung.