When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Suara itu mulai mengalun di pendengaran Bevan, juga ia merasakan tangan lembut itu bergulat dengan kain sprei saat Bevan mulai membuat sentuhan di paha menjadi mainan. Pelan geliat tubuh itu mengambang seolah merancang sesuatu yang tidak dapat ditinggal, nikmat dan memastikan pertemuan kecupan Bevan bergulir hingga ke leher. “Kak…,” Rosie menoleh ke arah pintu. "Um… Pintunya…" "Aman sayang." Bevan seketika mengangkat wajahnya dari leher Rosie, ia menatap kedua mata yang berair. Bevan memahami keadaan ini, apa yang di dalam pikiran Rosie juga rasa sakit hati masih tertanam begitu dalam. Apalagi saat kepala itu menggeleng, sungguh Bevan bimbang karena apa yang telah dirasakan sudah terlalu memburu dan nikmat untuk diselesaikan. Karena tangis itu terlalu menyiksa