7 - Mantu Kesayangan

1507 Words
Rumah keluarga Dimitri sangat megah, tinggi gerbangnya mungkin lebih dari dua meter. Dengan di sekeliling pagar yang ditumbuhi tanaman rambat berdaun kecil seperti tanaman dollar. Masuk halaman depan terlihat jelas ada bangunan yang terpisah dari bangunan utama yang digunakan sebagai garasi mobil. Di bagian depan ada juga gazebo kecil lengkap dengan kolam ikan di sebelahnya. Ketika fawnia membuka pintu besar di ruang tamu, seorang asisten rumah tangga berlari kecil mendekatinya. Namanya Bi Minah, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja untuk di keluarga DImitri. Fawnia mengenal perempuan berusia 47 tahunan itu dengan baik, karena dulu setelah menikah dengan Dimitri, ia sempat tinggal beberapa bulan di rumah megah ini sambil menunggu proses renovasi rumah pribadi Dimitri. "Mbak Fawnia, duuh maaf ya bibi telat bukain pintu." ucapnya penuh sesal sambil menundukkan kepala. "Ah.. Bi Minah, santai aja." jawab Fawnia melemparkan senyum ramah. “Sehat Bi?” lanjutnya lagi. “Alhamdulillah sehat mbak, nih lihat saja badannya makin mekar gini.” jawabnya terkekeh sambil merentangkan kedua tangan di sisi tubuhnya yang memang semakin sehat melebar. "Bi, Minta tolong ambilkan mangkok sama sendok ya bi, antar ke kamar mama. Beliau tadi pesan soto babat." Lima belas menit meninggalkan rumah Dimitri, mama Wulandari sempat menghubungi sang suami karena ingin dibelikan soto babat langganannya. Ayah mertua Fawnia langsung menyanggupi agar sang istri bernafsu makan lagi. "Siap mbak." angguknya cepat. Fawnia sempat melirik jam besar di ruang tengah sebelum menuju kamar utama di lantai satu. Menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Tentu saja sang ibu mertua belum tidur, karena setau Fawnia, wanita paruh baya yang selalu tampil modis itu sering tidur diatas jam sepuluh malam. "Mama belum tidur kan Bi?" "Belum mbak, barusan saya dari kamar nyonya kok." “Ya sudah aku langsung ke kamar mama ya, ini nanti tolong taruh kamar aku diatas ya Bi.” Fawnia mengendikkan dagu pada travel bag yang ia letakkan di sisi meja ruang tamu. “Beres mbak.” Bi Minah mengacungkan ibu jarinya ke udara. Tak ingin membuang waktu, Fawnia bergegas menuju kamar mertuanya. Ia mengetuk pintu beberapa kali, dan masuk setelah mendengar suara lirih dari ibu mertuanya. “Assalamua’alaikum Ma.” sapa Fawnia dengan senyum ceria. “Wa’alaikumsalam anak cantiknya Mama.” jawab mama Wulandari merekahkan senyum lega. “Mama tunggu dari tadi lho.” Ini lah salah satu yang membuat Fawnia mencintai kedua orang tua Dimitri. Sambut hangat penuh kasih sayang selalu ia terima ketika bertemu dengan mereka. Dari Mama Wulandari terutama, sahabat dekat dari almarhumah ibunya itu selalu memanjakannya seperti seorang ratu kecil dalam rumahnya. “Maaf bikin Mama nunggu lama.” Fawnia duduk di tepian tempat tidur setelah meletakkan kresek berisi soto di atas nakas. “Mama kenapa?” tanya Fawnia sambil menggenggam tangan dingin mertuanya. “Nggak tau nih nduk, kepala rasanya berat banget dari kemarin. Vertigonya kumat kayaknya.” jawab beliau sambil memijat pelipisnya dengan sebelah tangan yang bebas. “Sudah ke dokter?” Pertanyaan Fawnia hanya dijawab gelengan pelan oleh ibu mertuanya. Eh tunggu, mantan ibu mertuanya. “Kalau ke dokter nanti hasilnya dibesar-besarin Faw, nanti Mama malah kepikiran terus.” “Kalau kurang sehat ya harus ke dokter dong Ma, biar tau penyebabnya. Biar gak berlarut-larut.“ “Sepertinya Mama sakit karena kangen sama kamu Fawnia, buktinya… begitu kamu datang mama langsung sembuh.” jawabnya sambil tersenyum lebar hingga menampilkan gigi rapinya. Lantas Mama Wulandari menegakkan duduknya sambil bersandar pada headboard dan bertumpu pada beberapa bantal yang ditumpuk di belakang punggungnya. “Mama bisa aja, kalau kangen kan bisa telpon…” “Bang Dim susah dihubungi nduk, sibuknya udah kayak pengawal pribadi presiden aja.” “Kan bisa telpon Fawnia.” saut Fawnia lembut. “Kamu sama aja, kalau ditelpon sibuk di salon. Lagian kalau telpon gak bisa lega kayak ketemuan langsung gini sayang.” mama Wulandari memamerkan lesung pipinya, tangannya terulur merapikan rambut Fawnia dan menyelipkannya di belakang telinga. “Ini udah ketemu kan, Fawnia nginep sini kok Ma.” “Nginep yang lama ya.” “Siap, aku bakalan nginep disini sampai mama bosen liat Fawnia.” canda Fawnia sambil menepuk pelan punggung tangan wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri itu. Tok.. Tok.. Tok.. Suara ketukan di pintu kamar membuat wanita beda generasi itu menoleh bersamaan. Ada Bi Minah yang masuk sambil membawakan mangkok beserta air minum untuk kedua majikannya. “Mbak Faw, ini mangkoknya nggih. Ini Bibi buatin teh s**u kesukaan mbak Fawnia.” ucap Bi Minah setelah meletakkan nampan di meja kecil yang tak jauh dari tempat tidur. “Makasih ya Bi. Bibi langsung istirahat aja, nanti aku yang bawa ke dapur.” ucap Fawnia yang langsung diangguki sang asisten rumah tangga. “Makan dulu yuk Ma, katanya tadi pingin soto babat yang di Ketintang. Papa udah antriin lama lho.” Fawnia menuangkan kuah soto ke dalam mangkok yang berisi sedikit nasi putih tersebut. “Hmm… suapin ya Faw.” “Siap, apa sih yang nggak buat mama cantikku ini.” Fawnia terkekeh sambil mengaduk kuah soto yang masih panas itu. “Lastri pasti bangga banget punya putri cantik dan penurut seperti kamu nak.” mama Wulandari menatap lekat-lekat menantu kesayangannya. Fawnia menunduk ketika mendengar nama ibunya. Lastri adalah nama ibu Fawnia yang sudah berpulang setahun yang lalu karena penyakit jantung yang sudah lama dideritanya. Lastri dan Wulandari yang sudah bersahabat sejak remaja memutuskan untuk menjodohkan putra putrinya untuk mempererat tali kekeluargaan di antara mereka. Sayangnya, Dimitri putra kesayangan mama Wulandari yang sudah memutuskan tali tersebut. “Fawnia juga bangga kok Ma, punya Mama baik hati yang jadi pengganti ibu.” gumam Fawnia memaksakan senyum. “Kamu makan juga ya sayang. Kamu kurusan lho, sibuk di salon ya?” mama Wulandari mengusap lengan Fawnia. Fawnia menggeleng. “Enggak kok Ma, di salon kan ada Nanda yang bantuin ini itu. Aaaakk dulu ma..” perempuan cantik itu mengangkat sendok di tangannya dan mulai menyuapi sang ibu mertua dengan penuh sabar. Beberapa menit berlalu. Fawnia tersenyum lega karena mama Wulandari bersedia menghabiskan makanannya. Demikian juga dengan Fawnia yang akhirnya juga mau ikut makan bersama dengan sang mertua. “Tuh kan… mama langsung sembuh kalau ada anak perempuannya kesini.” tiba-tiba saja ayah mertua Fawnia masuk kamar dan tersenyum lebar melihat interaksi antara istri dan menantunya. Fawnia hanya tersenyum sambil berdiri kaku melihat ayah mertuanya mendekat. “Pa, Papa tidur di kamar sebelah ya malam ini. Mama pengen tidur berdua sama Fawnia.” saut mama Wulandari. “Tapi ma-” “Nggak apa-apa nduk, papa kesini cuma mau ambil sarung kok. Emang mau pindah ke kamar sebelah, mamamu kalau udah ketemu menantu kesayangannya kan pengen ngerumpi terus.” jedanya membuat Fawnia meringis sungkan. “Iya Pa.“ “Dimitri sudah kasih kabar?” tanya papa Surdirman membuat Fawnia gelagapan. “Hmmm… Nia belum cek ponsel lagi sih Pa, tapi Nia yakin bang Dim sudah baca pesan Nia tadi kok.” jawab Fawnia cepat. Ayah mertua Fawnia hanya menggeleng heran. “Hadeeh… anak itu, sudah punya istri masih saja sering ngilang-ngilang gak jelas.” “Nggak ilang kok Pa, kan bang Dim lagi kerja banting tulang buat keluarganya.” “Bucin kamu nduk, dari tadi belain Dimitri terus.” cibir ayah mertuanya lantas berlalu keluar kamar setelah membawa sarung dan keperluan ibadahnya. “Kamu sayang banget ya sama bang Dim? tiap papamu gerah sama tingkah anaknya, kamu selalu maju duluan belain bang Dim.” mama Wulandari ikut tersenyum dan menggoda Fawnia. Namun kali ini senyum sang mama tak ikut menular pada Fawnia. Perempuan berambut panjang itu justru menunduk dalam mendengar kalimat ibu mertuanya. Ada sedikit nyeri yang menjalar di dadanya kala mengingat pria yang sudah memasung hatinya itu kini sudah tak lagi menjadi suaminya. Memang benar adanya, jika ia sangat sayang dan jatuh cinta pada Dimitri. Namun sayang, perhatian dan rasa sayangnya tak bisa meluluhkan hati Dimitri. “Kenapa malah nangis sayang?” mama Wulandari mencondongkan tubuhnya mendekati Fawnia yang justru sibuk mengusap lelehan air mata disudut matanya. “Nggak apa-apa Ma.” “Terus ngapain nangis?” “Fawnia cuma … cuma… hmm…” ia menengadahkan wajah demi menghalau air mata yang mendesak keluar lagi. “Iya, Fawnia sayang banget sama bang Dimitri yang pekerja keras buat keluarga.” lanjutnya sambil memegang dadà kirinya yang terasa sesak saat menyebutkan nama Dimitri. “Fawnia.. juga sayang banget sama Mama, sama Papa yang udah anggap Fawnia seperti anak kan- kan-.. anak kandungnya.” sambung Fawnia sambil terisak pelan. “Awww sayangnya Mama, cup.. cup..” mama Wulandari merentangkan kedua tangan dan langsung memeluk erat Fawnia yang masih terisak. “Mama juga sayang banget sama kamu nak, mama bersyukur sekali Dimitri punya istri seperti kamu. Dia pasti sayang juga sama kamu.” Sayang? Kalau sayang mana mungkin Dimitri menceraikannya. “Hmmm ... Maafin Fawnia ya Ma.” lirih Fawnia masih dalam pelukan mama Wulandari. “Maaf kenapa nduk?” Fawnia menggeleng pelan dan semakin menenggelamkan wajahnya dalam dekapan mama Wulandari. “Karena tak lagi bisa menjadi menantu kesayangan Mama.” gumam Fawnia yang hanya bisa ia teriakkan dalam hati. ➜➜ Cup… cup… Fawnia.. Mama please anaknya ditindak dulu dong. (~_~メ)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD