Ragha memiliki dua versi pagi favoritnya. Pertama, saat ia membuka matanya di pagi hari dan ada keberadaan Adara di sisinya. Memastikan jika Adara tidur dengan nyenyak dan baik-baik saja saat bersamanya. Dan yang kedua, saat ia bisa menikmati secangkir teh hangat yang masih mengepulkan asap sembari menatap hamparan hijau penuh bunga-bunga di taman belakang rumah Ibun. Nah untuk saat ini, ia sedang menikmati pagi favoritnya yang kedua.
Pagi tadi, Mama memang memaksanya untuk mengantarkan ke rumah Ibun. Bukan hanya sekadar memastikan jika Adara benar ada di sini. Tapi juga untuk bertemu Ibun dan membicarakan satu hal penting bagi keduanya. Dan pembicaraan itu nampaknya harus terhenti lantaran kehadiran Adara secara tiba-tiba tadi.
Tahu jika pembicaraan itu tidak lagi memungkinkan untuk terus dibahas, dengan keberadaan Adara di sana, Mama memutuskan untuk pamit dengan Sana yang bersedia menjemput. Membawa keduanya pergi sama dengan membuat Adara kembali menghela napas lega.
Tapi, bukan berarti Ragha akan lepas begitu saja dari pembicaraan yang sudah dibahas sebelumnya oleh Ibun dan Mama. Karena saat ini, ia harus kembali melanjutkan pembahasan, berdua saja bersama Ibun.
“Ibun rasa nggak baik menutupi semuanya terlalu lama, Ragha.” Ibun membuka pembicaraan setelah memastikan Adara kembali memasuki area dapur, setelah menyajikan teh hangat juga roti-roti kecil buatan Ibun.
“Saya akan menyampaikan semuanya, di saat yang tepat, Bun.”
Ibun menghela napas. Tidak merasa puas dengan apa yang Ragha sampaikan. Jawaban itu masih sama, menggantung. Seperti yang selalu Ragha lakukan saat Ibun membahas hal yang sama.
“Kapan di saat yang tepat itu?”
Ragha lagi-lagi terdiam. Tidak mampu memberi jawaban atas pertanyaan yang memang tidak ia ketahui jawabannya. Sejak awal, ia hanya terus mengulur waktu tanpa pernah memikirkan kapan waktu yang tepat itu. Wajar jika Ibun memaksanya untuk tahu waktu yang tepat yang Ragha maksud.
“Ibun tahu, nggak seharusnya Ibun ikut campur terlalu dalam. Karena kalian jauh lebih berhak untuk semuanya. Tapi kamu juga tahu, Nak, kalau Ibun paling nggak bisa melihat Dara sedih, Ibun nggak siap melihat Dara terluka lagi. Ibun sudah bersama Dara sejak hidupnya nggak baik-baik saja. Ibun sudah hapal wajah-wajah Dara, bahkan yang tersembunyi sekalipun. Dan untuk saat ini, Ibun tahu kalau sebenarnya Dara sedang nggak baik-baik saja, ‘kan?”
Ragha yang sebelumnya diam sembari menatap asap teh yang mengepul kini mengangkat pandangannya. Menatap wajah Ibun yang sedang menatapnya tanpa ekspresi.
“Bun, saya ….”
“Karena Mama kamu?” sela Ibun tanpa memberi kesempatan Ragha untuk selesai berbicara.
Ragha enggan mengangguk, atau sekadar menjawab iya. Karena Adara sudah melarangnya untuk menyampaikan hubungannya yang tidak berjalan baik bersama sang mama. Namun jika posisinya sudah seperti ini, apa lagi yang harus Ragha tutupi?
Ibun jelas sudah mengetahui semuanya. Mungkin Ibun terlihat tidak menaruh curiga. Ibun juga nampak santai saat bertukar kata bersama Mama tadi, walau sesekali Mama menyampaikan kalimat yang menyebalkan, Ibun tetap terlihat santai. Tapi Ibun tetaplah seorang ibu yang memiliki naluri kuat terhadap anaknya. Tanpa perlu Adara mengadu, tanpa perlu melihat secara langsung. Dengan mendapati Adara dan Mama yang berada di satu ruangan dengan kondisi seperti tadi saja, sudah memberi banyak jawaban atas kebingungan Ibun selama ini.
“Ibun sempat merasa sangat lega saat Adara hadir dengan senyuman lebarnya. Dia juga menceritakan kalau mama mertuanya sangat baik dan menerima kehadirannya dengan apa adanya. Ibun bahkan merasa sangat bersalah karena sempat menaruh prasangka pada kamu dan mama kamu selama dua tahun ini, dengan ketidakhadiran Adara di hidup Ibun. Menurut kamu apa yang Ibun rasakan sekarang, setelah tahu kenyataannya?”
Sungguh, Ragha tidak pernah siap untuk pertanyaan semacam ini. Ia seolah diadili lantaran janjinya yang tidak mampu ditepati. Ya, Ragha pernah menjanjikan untuk kebahagiaan Adara, dulu, sehingga Ibun bisa melepaskan Adara untuk bersamanya. Namun kini, tanpa perlu banyak penjelasan, Ibun tahu kalau Adara tidak bahagia selama hidup bersamanya. Bukankah Ragha pantas mendapatkan tatapan kebencian dari Ibun, karena tidak mampu menepati janjinya?
“Bun, maaf.”
Hanya maaf. Ya, hanya sebuah permintaan maaf. Bukan karena Ragha kehilangan banyak kata atau hal lainnya. Hanya saja, Ragha merasa kalau memang tidak ada kata, kalimat, juga tindakan lain yang lebih berhak untuk ia sampaikan pada Ibun kecuali permintaan maaf.
Ia sudah mendapat kepercayaan dari Ibun untuk kebahagiaan Adara. Ibun juga sudah menaruh rasa percayanya pada Ragha. Namun kepercayaan itu dikhianati dengan begitu mudahnya. Karena pada nyatanya, semenjak Ragha mengikat Adara untuk selalu di sisinya, Adara tidak pernah merasakan apa itu bahagia. Ragha jelas tidak mampu menepati janji yang ia ucapkan.
Dalam hal ini, Ragha bukan hanya merasa gagal sebagai suami Adara. Tapi ia juga gagal sebagai seorang laki-laki karena tidak mampu memegang omongannya.
Ibun menghela napas panjang. Menatap Ragha dalam dan lama. Menelisik baik-baik. Apakah Ibun sudah benar menitipkan Adara pada laki-laki ini? Dan Ibun mendapatkan jawabannya detik itu juga.
“Bukan kesalahan kamu, Ragha. Ibun tahu, bahkan selalu tahu sejak kamu hadir saat itu, kalau kamu memang laki-laki yang bisa Ibun andalkan, yang bisa menepati janjinya untuk membahagiakan Adara. Karena sejak awal, Ibun sudah bisa melihat dari sorotan mata kamu, kalau kamu memang mencintai Adara dengan apa adanya. Tapi kondisi yang memaksa kalian untuk bersedih lebih lama. Bersabar lebih panjang. Ibun paham hal itu, Nak.”
Ragha menunduk lebih dalam. Tiba-tiba saja merasa malu karena terus bersikap baik-baik saja di hadapan Ibun yang sudah mengetahui semuanya. Malu pada dirinya yang gagal menjaga Adara dari luka hati yang tersemat dari luar. Juga malu karena mamanya yang terus menolak keberadaan Adara. Padahal sudah berjalan dua tahun sejak Adara ia bawa ke hadapan Mama.
“Maaf karena saya nggak bisa menjaga Adara dari Mama.”
Ibun mengangguk beberapa kali. Sorotan matanya menampakkan kepedihan yang tidak bisa Ragha lihat lebih lama. Juga tatapan kekecewaan yang membuat hati Ragha terhimpit sesak. Membuatnya kembali sulit bernapas.
“Ibun mungkin nggak akan merasa sesakit ini kalau Dara atau kamu jujur sejak awal. Tapi yang Ibun dapat selama ini hanya wajah ceria Dara, cerita-cerita indah yang mungkin Dara karang, cerita-cerita yang Dara harapkan bisa ada di hidupnya secara nyata. Jujur Ibun terluka karena baru tahu sekarang.”
“Dara nggak pernah mengizinkan saya untuk menceritakan semuanya, Bun. Maaf karena menyembunyikan fakta ini dari Ibun.”
Tatapan Ibun menerawang jauh. Menatap dedaunan hijau yang ujungnya dihiasi warna-warni bunga. Nampak indah dan menyegarkan di pandangan mata. Namun kali ini terasa berbeda karena kondisi hati yang sedang tidak baik-baik saja.
“Dara memang anak baik. Sejak Rhea membawa Dara pulang dalam keadaan berantakan, Ibun sudah mengira kalau Dara anak yang baik. Sayangnya, hidupnya nggak berjalan sebaik itu. Dia harus menerima banyak kebencian untuk sikapnya yang benar. Dan Ibun nggak bisa melihat dia kembali terluka saat melihat kondisi ayahnya yang ….”
Ibun tidak mampu meneruskan kalimatnya. Air matanya sudah menetes duluan. Menelan suaranya dalam-dalam dan digantikan dengan suara isak tangis yang memilukan.
Ragha tidak memiliki hal lain untuk dilakukan. Ia hanya memejamkan matanya, menahan air matanya agar tidak ikut menetes. Ia juga menolak melihat Ibun yang menangis karena membuatnya kian merasa bersalah.
“Mama kamu memberi batas waktu, ‘kan?” tanya Ibun setelah berhasil menahan tangisannya. Ibun tidak bisa menangis lebih lama. Takut jika saja Adara melihat dan mengetahui semua kesedihan yang selama ini ditutupi.
Ragha mengangguk. “Tapi saya akan menolak itu, Bun. Adara hidup saya. Saya nggak bisa melepaskan Adara apapun alasannya.”
Ibun mengangguk. Mengerti sekali dengan perasaan mendalam yang Ragha simpan untuk Adara. Sayangnya, keduanya masih harus menghadapi hal-hal menyebalkan yang terus mengusik. Membuat kebahagiaan itu tidak kunjung hadir dan melingkupi keduanya.
“Pertahankan Adara selagi Adara mampu dan mau untuk terus bersama kamu. Tapi kalau Adara lelah dan memilih menyerah, tolong jangan paksakan apapun. Biarkan dia memilih yang menjadi pilihannya.”
Tidak ada jawaban lain selain mengiyakan. Ragha tentu memahami dengan baik apa yang Ibun maksud. Yang terpenting bagi keduanya adalah kebahagiaan Adara. Entah Adara akan terus mendampingi Ragha, atau justru memilih lepas dan berjalan di jalur masing-masing.
“Mengenai ayahnya, Ibun nggak sanggup memberitahu secara langsung. Selama tiga bulanan ini pun, Rhea yang mengurusi semuanya karena setiap kali melihat ayahnya, Ibun akan selalu mengingat Adara. Ibun selalu merasa bersalah pada Adara.”
Ragha menghela napas panjang. Mencoba menghilangkan sesak yang menghimpit parunya. Membuatnya tidak leluasa menarik oksigen yang tersedia dengan cuma-cuma.
“Saya yang akan memberitahu Adara nanti, Bun. Pelan-pelan. Supaya dia bisa mengerti kondisi yang sebenarnya tanpa bersedih terlalu lama.”
Ibun mengiyakan itu. Sebelah tangannya terulur untuk menepuk bahu Ragha beberapa kali. Bahu yang kuat, yang mampu mengangkat beban berat sendirian. Tanpa menginginkan untuk menyakiti satu hati dan hati lainnya.
“Ibun tahu, seberat-beratnya beban Adara, masih lebih berat beban kamu, Ragha. Jadi jangan abaikan diri kamu sendiri karena kamu terlalu fokus pada Adara. Selain Adara, kamu juga berhak untuk bahagia.”
Jika saja boleh meminta, Ragha menginginkan lahir dari sosok ibu seperti Ibun. Yang bisa mengerti perasaan anak satu dan lainnya. Lebih mementingkan kebahagiaan anak-anaknya sebelum kebahagiaannya sendiri. Bukan malah sosok ibu yang selalu menganggapnya sebagai lawan, musuh yang harus dihancurkan. Dengan memaksakan kehendaknya yang egois, tanpa pernah mendengarkan pendapatnya, tanpa pernah peduli pada rengekan tangisannya.
Tapi apapun itu, Ragha berusaha untuk terus bersyukur untuk apa yang ia miliki. Setidaknya ia masih memiliki Mama di sisinya, juga Papa yang tidak selalu ada. Walaupun nampak kejam, keduanya akan tetap mengurusi kala Ragha terjatuh. Sedangkan Adara sudah kehilangan ibu kandungnya sejak usianya muda. Juga kehilangan kasih sayang dari sang ayah yang sibuk dengan kehidupannya sendiri. Membuat Adara harus menopang hidupnya sendiri. Berdiri di kakinya sendiri, bahkan sebelum anak seusianya tahu caranya mencari uang.
Beruntungnya, Rhea dan Ibun hadir untuk menemani Adara di tahapan kehidupannya. Walaupun kehadiran keduanya tidak mampu menggantikan kasih sayang dari ayah dan ibu kandung, setidaknya Adara selalu memiliki tempat untuk pulang, tempat untuk mengadukan rasa menyebalkan yang hadir tanpa diminta.
***