Setelah kejadian di hari naas itu, Dior merasa frustasi hebat. Dia memutuskan untuk pergi ke Amerika dan tinggal di sana selama bertahun-tahun lamanya. Niatnya untuk menetap hidup di Amerika harus pupus karena dia diminta kembali oleh Papanya setelah 5 tahun tinggal di negara Paman Sam itu.
Dior naik pesawat dengan penerbangan malam sehingga dia akan tiba di negaranya kembali pada malam hari berikutnya.
Seperti dugaannya kalau kedatangannya kembali ke negaranya tidak akan mendapatkan sambutan apapun dari keluarganya. Meski hal itu sudah biasa terjadi padanya, tapi hati Dior tetap merasa kecewa terhadap perhatian keluarganya yang masih sama dari dulu sampai sekarang, yakni tetap tidak peduli padanya.
“Selamat datang kembali ke rumah ini Non Dior. Mbok senang sekali Non Dior bisa tinggal di rumah ini kembali.”
“Terima kasih, Mbok. Aku juga senang bisa bertemu dengan Mbok Mina lagi. Mbok sehat, kan?”
“Sehat, Non Dior.”
“Oh iya, di mana Mama dan Papa? Apa mereka sudah tidur?”
“Kalau Nyonya sudah tidur. Sedangkan Tuan, beliau masih ada di ruang kerjanya di atas.”
“Callia?”
“Nona Callia sedang pergi berkencan dengan calon suaminya.”
“Oh, begitu.”
“Non Dior, apa benar kalau kepulangan Non Dior ke sini karena Non Dior yang akan mengurus semua keperluan pernikahan Non Callia?”
“Iya, benar. Papa memintaku untuk mengurus semuanya, meski aku tidak mau.”
Masa lalu itu masih terasa sangat pahit untuk Dior rasakan dan setiap mengingatnya, hati Dior selalu merasa terluka.
Sekarang, Dior sudah berdiri di depan ruang kerja Aston, Papanya. Dia begitu sulit untuk sekedar mengetuk pintu ruangan itu, mengingat hubungannya dengan Aston tidak terlalu baik belakangan ini.
Tok... tok... tok...
“Masuk!” Titah Aston dari dalam ruang kerjanya. Dia sudah tahu kalau yang datang adalah sulungnya.
Dior segera membuka pintu itu, lalu berjalan masuk ke dalam. Langkah kakinya berhenti tepat di hadapan Aston yang duduk di kursi kerjanya.
“Akhirnya kamu pulang juga.” Ucapnya, tanpa ada senyuman sedikit pun yang tersirat dari raut wajahnya. “Kalau bukan karena pernikahan adikmu, mungkin kamu tidak akan kembali ke rumah ini selamanya.”
“Lebih tepatnya, aku akan memutuskan komunikasi dengan dua wanita itu.”
“Ternyata kamu masih belum berubah juga.”
“Katakan saja dengan cepat, apa alasan Papa memanggilku sekarang tanpa memberi waktu untuk aku beristirahat terlebih dahulu?!”
“Papa hanya minta agar kamu tidak mencari masalah dengan adikmu. Jadi, tolong urusan semua keperluan pernikahan Callia dengan baik. Waktumu tidak banyak, karena pernikahan itu dimajukan menjadi dua bulan lagi.”
“Apa yang salah dariku?” Tanya Dior, dengan hembusan nafas kasar sebelum pertanyaan itu keluar dengan lemah dari mulutnya.
“Banyak sekali.” Aston menjawab cepat.
“Kalau memang ada banyak sekali kesalahan yang aku lakukan. Lalu, kenapa Papa masih memintaku untuk mengurus pernikahan Callia? Padahal, Papa tahu kalau aku dan Callia tidak pernah akur dari kami remaja.”
“Pertanyaan macam apa itu!? Kamu pikir, memangnya kamu siapa sampai berani mengatur Papa? Yang perlu kamu lakukan hanyalah mematuhi perintah Papa dan Mama kamu!”
“Dia bukan Mamaku! Mamaku sudah lama mati dan aku tidak sudi mengakuinya sebagai Mama kandungku sampai kapanpun!!”
“Teganya kamu bicara seperti itu pada wanita yang telah melahirkan kamu!!”
“Jangan salahkan aku kalau aku sampai bersikap tidak patuh pada kalian, karena kalianlah yang mulai duluan memperlakukan aku tidak adil selama ini!!”
“Sudah cukup! Sudah cukup kataku! Aku tidak ingin berdebat panjang denganmu. Aku hanya minta kamu membantu menuntaskan tugasmu sebagai Wedding Organizer pernikahan adikmu. Kalau perintahku ini bisa kamu lakukan dengan baik, maka Papa pastikan, Papa akan melakukan apapun semua keinginan kamu yang kamu inginkan selama ini.”
Mendengar janji Aston membuat Dior terkejut. Dia merasa seperti akan ada kehidupan yang baik yang akan terjadi padanya jika dia patuh pada perintah Aston kali ini.
Dior pun memastikan pada dirinya sendiri kalau dia akan bekerja dengan baik untuk menjadi WO pernikahan Callia.
**
Keesokan harinya...
Dior sedang berada di sebuah tempat yang akan dijadikan untuk acara resepsi pernikahan Callia dengan calon suaminya nanti.
Dior yang sedang bicara dengan seorang staf yang mengurus Gedung tersebut, tiba-tiba saja dihampiri oleh Callia yang muncul secara tidak terduga di hadapannya.
“Callia?”
Dior menghentikan sejenak obrolannya dengan staf tersebut untuk menyapa adiknya itu.
“Kalau bukan karena desakan Papa, maka aku tidak akan mau menerima kamu untuk mengurus segala keperluan pernikahanku.” Ucap Callia dengan nada sinis.
“Baguslah Papa menunjukku sebagai WO pernikahanmu, dengan begitu aku bisa merebut kedudukanku kembali yang selama ini telah kamu ambil secara paksa dengan cara yang licik.”
“Tidak aku sangka ternyata sifatmu masih sama seperti dulu. Sungguh menyedihkan dan menakutkan. Itulah mengapa aku enggan melakukan gencatan senjata denganmu, karena kamu mengkhawatirkan sekali untuk menyerangku dengan keluguanmu.”
“Kamu tidak perlu khawatir untuk hal itu, karena aku tidak berminat untuk melakukan gencatan senjata denganmu juga.”
“Awas saja kalau kamu sampai menggeser posisiku sebagai CEO di Perusahaan Nobii Group, maka aku tidak akan tinggal diam untuk melakukan sesuatu padamu.”
“Jangan mengancamku kalau kemampuanmu hanya sebatas minor. Aku yang sudah memiliki kemampuan melebihi mature, tidak akan merasa takut sama sekali dengan ancamanmu itu.”
“Dasar wanita licik!” Pekiknya.
“Kamulah yang licik.” Balas Dior.
“Kamu dan Ibumu yang sudah mati itu ternyata memiliki pribadi yang sama buruknya. Pantas saja Papa lebih memilih Mamaku daripada Ibumu.”
“Diam kamu!” Dior langsung murka. Langkah kakinya langsung mendekat cepat Callia dengan dua bola mata membesar, yang membuat Callia cukup ketakutan. “Kalau kamu sampai berani menghina Ibuku, aku tidak akan segan untuk merobek mulutmu dengan tanganku sendiri.”
“Apa kamu yakin memiliki nyali seberani itu untuk merobek mulutku? Kamu tidak akan bisa melakukannya selama pagarku masih dijaga oleh Mamaku. Ingat Dior, kamu punya hutang nyawa pada Mamaku!”
Dior merasa sangat geram pada ucapan apalagi perbuatan adik perempuannya itu. Kalau saja bukan persaingan jabatan yang sedang dia pertaruhkan demi almarhumah Ibunya, maka Dior tidak akan berpikir berkali-kali untuk menghabisi Callia dengan tangannya sendiri. Tak peduli meski penjara akan menantinya.
Di tengah persengitan yang sedang terjadi di antara mereka, sebuah deringan panggilan telpon dari ponsel Callia berbunyi. Callia pun segera mengangkat panggilan telpon itu.
“Halo, sayang.”
Dior langsung pergi begitu Callia menerima panggilan telpon dari calon suaminya.
“Aku sudah ada di dalam, sayang. Kamu cepat ke sini ya, sekalian aku mau kenalin WO untuk pernikahan kita. Mungkin ada yang ingin kamu tanyakan padanya.”
“Oke, sayang. Aku tunggu di sini ya.”
Callia menutup telpon itu, lalu dia berteriak memanggil Dior dengan suara lantang.
“Dior, tunggu!”
Dior terpaksa menoleh kembali ke arah Callia, lantaran dia harus tetap profesional sebagai WO pernikahan Callia, sekalipun WO musuhnya sendiri.
“Kamu tidak boleh pergi sekarang, karena calon suamiku akan segera datang untuk bertemu denganmu. Ada banyak yang ingin dia bicarakan denganmu tentang pernikahan kami nanti.”
Dior tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Callia. Dia pun segera menghampiri Callia kembali dan menunggu kedatangan calon suami Callia yang akan tiba tidak lama lagi.
“Sayang! Aku di sini!” Callia berteriak sambil melambaikan tangannya ke arah pria itu, saat calon suaminya itu sudah datang.
Dior yang sedang melihat layar ponselnya masih belum melihat sosok calon suami dari adiknya sendiri. Tapi, setelah Dior melepaskan matanya dari layar ponselnya dan menegakkan pandangannya lurus ke depannya, Dior langsung dibuat terkejut bukan main ketika dia melihat sosok pria dari calon suami Callia, yang ternyata adalah—
***