Bab 13. Kamu suruh Aku Cosplay Jadi Banci?

1050 Words
Amira langsung menoleh. "Kenapa? Rion kan calon adik ipar aku." Ilyas ikut menoleh. "Adik ipar? Dia malah berharap kamu jadi janda." Dahi Amira mengerut karena melihat Ilyas yang lebih sensi dari biasanya. Padahal suaminya mustahil sedang datang bulan, karena bukan kodratnya. "Pokoknya kamu wajib blokir, butuh apa pun aku yang bakal chat ke Rion." "Memangnya kenapa Mas? Ada masalah apa sama Rion?" Amira benar-benar penasaran. "Aku dapat kamu saja susah setengah mati, menunggu sampai 31 tahun baru dapat." "Dia ingin nikung? Huh, minta disleding dia," gerutu Ilyas sembari berbelok. Semakin Amira berpikir, ia tambah yakin. Hingga bibir langsung menertawai, membuat Ilyas menoleh dengan sorot mata yang tajam. "Jadi, ceritanya Mas sedang cemburu gitu? Kok bisa sih." "Cemburu?" Ilyas tersenyum sinis, kemudian menunjuk Monas yang dilewati dari kejauhan. "Itu Monas bakal jungkir balik kalau aku sampai cemburu." Amira menatap suaminya lekat. "Terus kenapa mengoceh begitu? Seperti orang sedang cemburu." "Wanita mana yang mau sama aku coba? Kalau sampai cari wanita lain, keburu ditelan tanah." Rasanya Amira ingin tersenyum dan berbangga diri mendengarnya. Seolah Ilyas tidak ingin ada wanita lain selain dirinya. Namun, bisa saja hati berubah. "Banyak yang mau sama kamu Mas, cuma kamunya saja yang tidak buka hati." Ilyas meliriknya. "Yang dikenal dan katanya baik saja, buktinya repot. Apalagi orang lain." Sebentar. Kepalanya langsung menoleh dengan mata memandang lekat. Ilyas tidak sedang menyindir dirinya kan. Pembicaraan di antara mereka berdua pun terhenti. Setelah mobil Ilyas parkir di depan gedung kursus memasak. "Setelah dibakar sama kamu, gedungnya bangkrut," sindir Ilyas membuatnya menghela napas. "Ini bukan jadwal kursus, makanya sepi. Jangan asal menuduh." Ilyas masuk lebih dulu dengan diikuti oleh Amira. Mata Ilyas menemukan seorang wanita lebih tua dari mereka berdua mendekat dan langsung memandang pada Amira. "Saya suaminya, ke sini ingin bayar ganti rugi," ujar Ilyas sangat pada intinya. "Oh benarkah? Baguslah kalau memang diganti secepat mungkin." Wanita itu memandang remeh ke arah Amira dan Ilyas. Karena penampilan Amira terlihat biasa saja, apalagi Ilyas yang hanya memakai kaos dan celana hitam panjang. "Ganti ruginya 10 juta saja cukup, melihat kalian sepertinya kesusahan." Amira langsung memandang ke arah suaminya yang sempat ingin mengeluarkan cek dari dompet, mendadak terhenti dan melempar tatapan tajam. Amira jelas lebih takut suaminya buat masalah. "Apa katamu barusan?" Bahkan Ilyas berubah tidak sopan. Pemilik ini menghela napas. "Penampilan kalian saja sudah mencerminkan tidak punya, jangan berlagak di sini. Masih bagus aku kurangi--" "100 juta," potong Ilyas membuat wanita tersebut malah tersenyum sinis. "Tadinya ingin beri sejumlah itu, tapi sepertinya bukan aku yang ganti rugi." Kemudian Ilyas memandang kebakaran yang Amira buat, diluar dugaan sekali. Karena kelihatan parah padahal dalam waktu sesingkat-singkatnya. "Aku memang sibuk, tapi demi istri, ayo ke pengadilan," ajak Ilyas. Amira kaget dan menyentuh lengan suaminya. "Mas." Ilyas menunjuk bagian yang terbakar. "Microwave terbakar karena buat kue? Sebahaya apa kue itu, tidak ada lemak atau pemicu terbakarnya microwave." "Bahkan sampai menimbulkan percikan api ke dinding. Aku akan datangkan detektif ke sini untuk memeriksa konsleting listrik!" Wanita tersebut nampak sedikit gugup, namun merasa kalau Ilyas hanya beromong kosong. Wanita tersebut menghela napas. "Baiklah, ayo ke pengadilan." Amira langsung meremas tangan suaminya dan berbisik, "jangan seperti ini ya. Kita kan datang ke sini untuk damai." Ilyas mendengkus kesal. "Dia kira siapa menghina kamu." Amira menggelengkan kepala, Ilyas benar-benar kesal namun melihat sang istri yang tidak ingin masalah semakin panjang. Ilyas memilih mengeluarkan cek baru dan menulis. "Cek itu asli kan?" Ilyas menggenggam erat pena di tangan. Amira menyentuh lengan suaminya untuk tetap tenang, kemudian matanya memandang pada wanita tersebut. "Bu, tolong jaga mulut Anda." Ilyas menuliskan angka 25 juta di sana dan meletakkan kartu nama sekaligus di atasnya. "Cari aku jika kamu tidak dapat uangnya." Wanita tersebut meraih cek dahulu, memastikan keaslian. Namun, saat melihat kartu nama milik Ilyas. Mata nampak melotot kaget dan bersiap bicara. "Ayo pergi." Ilyas langsung menariknya pergi dengan cepat, bahkan saat wanita itu ingin mengikuti. Ilyas melirik sangat tajam, dia marah besar karena telah dihina. Demi meredam amarah. Amira membawa suaminya pergi ke cafe yang dirinya tahu. Duduk berdua di lantai atas, saling memandang ke arah yang berlawanan. Amira meremas roknya dengan erat. "Warna langitnya sangat indah." Suara itu terlontar dari mulut suaminya. Amira bukannya memandang senja, justru tertuju pada Ilyas yang sudah lebih tenang. Kemudian Ilyas menghela napas dan meraih jus, menyesap amat pelan. Mata Ilyas mulai memandangnya. "Tidak usah belajar memasak, kamu bukan pembantu di rumah." Amira sedikit tersenyum. Padahal dirinya selalu memikirkan akan dapat suami seperti apa, seberapa menutut dirinya untuk bisa memasak. Ternyata Ilyas malah tidak memaksanya sama sekali. "Apa salahnya sih beli makanan di luar? Tidak akan bikin aku bangkrut juga," celetuk Ilyas lagi. "Baiklah," sahut Amira sembari tersenyum manis. Lantas, ikut menyedot jus apel yang dirinya pesan. Mata juga memandang pada senja yang mulai berubah menjadi semakin gelap. "Pernikahan adikku lusa," ujar Amira membuat Ilyas menatapnya. "Mungkin aku akan di rumah orang tua selama dua hari, ikut membantu menyiapkan pernikahan." "Tidak sewa gedung?" tanya Ilyas. "Ayunda maunya gitu, tapi pihak laki-laki menolak. Katanya Ayunda meminta mahar yang besar, jadi tidak bisa sewa gedung." Jika tidak ada percakapan mengenai Ayunda yang mengatai Amira murahan. Mungkin, dia akan menyumbang uang untuk gedungnya. "Kamu bakal datang kan Mas?" "Memangnya kamu punya muka sendirian saja?" celetuk Ilyas. Amira yang semula bicara lembut pun jadi menyesal. Kemudian memilih melengos sembari menyedot jusnya lagi. Ilyas menyenderkan punggung pada kursi. "Aku akan datang, kabari saja jamnya." Memang Amira tidak ingin mengajak suaminya yang sibuk untuk ikut membantu. Atau setidaknya bergadang bersama pria lainnya saat malam sebelum akad. Kemudian Amira menjadi ragu. "Anu." "Apa? Kamu pengen anu." Amira kesal dan melototi suaminya. "Bukan ih." "Kan harus punya baju untuk menghadiri, aku kebetulan tidak diberi pakaian. Hanya teman-teman Ayunda yang diberi." Ilyas menghela napas. Jelas sekali, kalau Ayunda tidak suka dengan Amira. Padahal menurut Ilyas, Amira adalah yang paling terbaik ketimbang adik sendiri. "Ayo," ajak Ilyas langsung berdiri. "Eh ke mana?" "Butik, beli baju buat ke pernikahan adik kamu." Amira langsung tersenyum, kemudian mengikuti suaminya yang turun untuk membayar. Ya, Amira memang menerima uang bulanan dari suaminya. Namun, tentunya tak dirinya pakai untuk hal tak berguna. Lebih baik ditabung, jika ada kebutuhan yang sangat mendesak seperti ganti rugi itu. Amira tidak perlu minta pada suaminya lagi. "Aku mau cari warna pink," gumam Amira membuat Ilyas langsung menoleh dengan melirik tajam. "Kamu suruh aku cosplay jadi banci?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD