Bab 10. Jangan Racuni Saya, Pak

1067 Words
"Sudah pulang? Secepat itu?" Rion menunjukkan raut sedikit kecewa. Pandangan Ilyas begitu tajam tertuju pada pria yang dicintai sang istri. "Kamu pikir dia sakit parah? Sampai harus dirawat berhari-hari," sindir Ilyas. Padahal memang Amira dianjurkan oleh dia untuk tetap di rumah sakit sampai sore. Bukan karena kondisi Amira buruk, namun Ilyas saja ingin membawa sang istri pulang setelah jam kerja selesai. "Begitu ya, syukurlah jika Amira baik-baik saja sekarang." Mata Ilyas membingkai bunga di tangan Rion. "Serahkan ini padaku." Rion terkejut dengan Ilyas yang langsung merampas bunga tanpa izin. "Kembalikan. Biar aku yang memberikannya langsung." Sorot mata Ilyas menjadi tajam. Pria lain yang merupakan saingan ini akan berkunjung ke rumah. Bersenda gurau dengan sang istri. Oh, bahkan kucing saja menunjukkan taring jika berebut betina. Apalagi Ilyas yang seorang manusia. "Tidak perlu. Aku tinggal serumah dengan Amira, aku akan berikan padanya," tolak Ilyas. Rion tak habis pikir, Ilyas kan memang serumah dengan Amira karena suami istri. Belum sempat Rion lanjut bicara, Ilyas sudah lebih dulu melewati. "Setidaknya berikan alamat rumahmu, aku ingin melihat Amira," pinta Rion mengikuti kaki Ilyas. "Enyahlah," sahut Ilyas dengan mata melotot marah. Rion hanya bisa menghela napas dan terpaksa berhenti mengikuti. Pria itu mengepalkan tangan erat dan bergerak meninju punggung Ilyas yang sudah jauh. "Sialan. Cuma pria yang singgah dua hari langsung ngajak nikah, apa spesialnya? Aku sudah mengenal Amira sejak lama," keluh Rion dengan kesal. Sementara Ilyas yang sudah dekat dengan pintu kamar rawat Amira, langsung berhenti dan memandang tong sampah di sebelah. Tanpa ada rasa sayang, Ilyas membuang bunga pemberian Rion. "Dasar tidak tahu malu." *** Lembayung sore mulai singgah dengan damai di atas langit. Berbeda dengan situasi Ilyas dan Amira. "Tidak Pak, saya mohon jangan masak," pinta Amira dengan tangan sampai menyatu memohon. Ilyas yang sudah memegang pisau sampai mengerutkan dahi. "Kenapa? Aku tidak buat bubur." "Please, perut saya baru saja diobati dan sekarang belum enakan. Jadi, jangan racuni saya ya, Pak." Ilyas nampak tak terima hingga menancapkan pisau pada papan kayu irisan. "Kapan aku meracuni kamu heh? Salahmu sendiri makan mie pedas saat perut kosong, belum lagi kamu ada riwayat maag!" Amira langsung menutup telinganya karena mendengar ocehan dari suaminya. Ilyas mendengkus dengan kesal, kemudian sepenuhnya meletakkan pisau. Mendekati Amira sembari melempar apron yang baru dilepas padanya. "Eh, Bapak tidak menyuruh saya masak kan?" Amira menunjuk diri sendiri dengan tidak percaya. "Apa aku ada menyuruhmu melipat apronnya?" Amira memandang memelas ke arah apron di tangannya. "Saya tidak bisa masak. Kalau Bapak minta dibuatkan kopi, saya bisa." Ilyas memandang Amira serius. "Beneran tidak bisa masak?" Amira pasti dicap istri macam apa! Cuma bisa bikin kopi, tapi tidak bisa masak. Amira siap dimaki, ketimbang bikin anak orang keracunan. "Kalau begitu pesan makanan dari luar saja," putus Ilyas tanpa memaki Amira sama sekali. "Boleh." Makanan yang dipesan sudah datang. Meski tidak ada menu yang pedas sama sekali. Amira melirik ke arah Ilyas yang makan dengannya sembari menonton televisi. Ternyata Ilyas tidak seburuk yang dirinya duga. "Pak," sebut Amira. "Hm." "Bapak jadi orang senyum dikit kek, biar tampan. Tapi, senyumnya jangan kaya patung Statue Of God," celetuknya. Ilyas mengerutkan dahi. "Patung apa?" Amira langsung diam dan menyumpal mulutnya dengan makanan. Ilyas sendiri memilih tak bertanya lebih lanjut, karena melihat sang istri makan lahap. "Makan sedikit demi sedikit, biar perut tidak sakit lagi," saran Ilyas kemudian makan lagi. Amira diam-diam menarik napas lega. Karena Ilyas tidak tanya lagi. Patung di anime itu kan bisa mengubah ekspresi, dari wajah datar menjadi tersenyum mengerikan. Amira bisa kena damprat, jika Ilyas sampai tahu. "Besok masuk kerja?" singgung Ilyas. "Iya. Nanti kena PHK." Ilyas langsung menoleh. "Dipecat mertua, suami yang maju." Amira langsung tersenyum mendengar ucapan dari suaminya. Ilyas nampak diam dan membingkai wajah ceria dari Amira. Dia mendadak tertarik dengan bibir sang istri. Namun, mendapati sayuran nyangkut di gigi saat tersenyum. Minat Ilyas benar-benar hilang dan langsung makan lebih lahap dari Amira. "Bapak ih! Jangan dihabiskan, saya juga kan mau." "Periksa gigimu!" "Gigi saya lengkap, jumlahnya ada 32," sahut Amira cepat merebut makanan di tangan Ilyas. *** Pagi harinya. Amira bisa kembali bekerja, meski kata Ilyas harus tetap minum obat sampai perut lebih enak dan kepala tidak pusing. Amira duduk di meja kerjanya dan Malik datang-datang langsung menghampirinya. "Bagaimana keadaanmu menantuku?" tanya Malik dengan memandangnya serius. "Anak sialan itu tidak mengizinkanku menjengukmu sama sekali," gerutu ayah mertuanya dengan kesal. "Saya baik-baik saja, Pak." Dahi Malik langsung mengerut. "Kamu lupa ingatan? Sudah menikah dengan Ilyas masih panggil aku bapak." Amira terkekeh. "Ini kan kantor." "Tetap saja kamu menantu kesayanganku, terlepas ini kantor atau bukan. Panggil papa baru benar." Amira tersenyum dan terpaksa melakukannya. "Baik, Papa." Malik mengacungkan jempol, kemudian menyerahkan roti dan camilan lainnya. "Makanlah selagi senggang, papa dengar kamu harus selalu mengunyah meski porsi sedikit." "Iya, Pa. Terima kasih." Malik tersenyum, kemudian meninggalkan dirinya untuk masuk ke ruang kerja. Amira benar-benar beruntung, memiliki mertua sebaik Malik dan ya Ilyas juga kadang ada baiknya. Amira langsung memandang pada rekan kerja yang lain. "Mba, Mas. Ada yang mau camilan?" "Tidak, Ra. Buat kamu saja." Bahkan Amira memiliki rekan kerja yang sangat baik dan perhatian padanya. Kemudian Amira mendekati Lusi, senior pembimbingnya dulu sewaktu masih jadi asisten. "Mba," sebutnya sembari meletakkan roti di kubik kerja dan langsung dieksekusi oleh Lusi sendiri. "Kenapa, Ra?" "Itu Mba. Katanya dulu Mba ikut kursus memasak ya? Kontaknya masih simpan tidak." "Masih sih, mau belajar masak memangnya?" Amira tersenyum canggung. "Ya bagaimana lagi Mba, sudah jadi istri orang." Lusi tersenyum. "Belum lagi nanti kalau kamu punya anak loh, anak pasti nagih minta dimasakin." Amira langsung mengangguk. Meski belum mikir sampai ke sana sih, tapi bisa saja kan Amira dan Ilyas dikasih keturunan cepat. Sekali pun mereka berdua menikah tanpa cinta, namun pernikahan tidak bisa dibuat mainan. Terlebih masalah ranjang kan hal umum, tidak harus saling cinta dulu. Amira mengakui itu setelah tahu rasanya disentuh suami. Dan ya, dirinya tak masalah jika melakukannya sesekali dengan Ilyas. "Aku yang rekomendasikan kamu ya, nanti kamu tinggal bayar dan ikuti kursusnya," ujar Lusi sembari tersenyum. "Makasih banget ya Mba." "Jangan sungkan, Ra. Kalau mau minta bantuan." "Iya Mba." Amira tahu kalau kursus memasak yang Lusi ikuti hanya satu minggu dua kali. Dan itu dilakukan setelah jam pulang kantor, jadi tidak mengganggu jadwal kerjanya. Amira kembali ke kubik kerjanya dan hendak mengirim pesan pada Ilyas, memberi tahu kalau dirinya ingin ikut kursus memasak. Namun, Amira mengerutkan dahi. "Buat apa bilang? Kayak jadi istri yang dicintai saja sampai dicari kalau pulang terlambat."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD