10. KENCAN

1132 Words
Happy Reading ^_^ *** "Seriusan dia ngomong kayak gitu?" Jessica mengangguki pertanyaan Denise dengan santai. "Trus apa jawaban lo, njir?" "Jawaban gue? Kamu nanyaaaaaa?" sahut Jessica menirukan gaya berbicara yang beberapa waktu belakangan lumayan viral. "Anjing, gue serius. Bisa-bisanya lo sesantai ini sih, Jess? Gue aja rasanya udah kayak mau kejang-kejang!" "Lebay lo ah," sahut Jessica cuek. "Sebelum lo, gue udah terkejut duluan. Rasanya nano-nano. Saking nano-nanonya sampe gue bengong beberapa kali di motor. Ya untungnya gue masih bernyawa pas nyampe rumah." "Kalo gue jadi elo ya gue juga bakal bengong lah. Secara, kalian tuh hampir aja say hi di pengadilan, lho sekarang malah mau say hi di pelaminan. Kannn kayakkk unpredictable banget." seru Denise dengan menggebu-gebu. Matanya berbinar-binar. Meski bukan dirinya, tapi Denise turut senang kalau memang itu terjadi pada temannya. Lalu matanya menyipit saat mengingat sesuatu. Jessica belum menjawab inti pertanyaannya. "Tapi jawaban lo apa, anjir? Buruan jawab gue." katanya dengan intonasi yang lebih ngegas. Jangan sampai pikirannya sudah ke mana-mana tapi ternyata jawabannya tidak sesuai ekspektasi. "Yaelah, masih ditanya?" Jessica agak ngegas di sini. Tangannya yang tadi sibuk melukis eyeliner mematung sebentar agar dia bisa memberikan lirikan yang bisa menjelaskan jawabannya tanpa perlu diucapkan. Dan seolah punya ikatan batin, Denise paham. "Lo tolak?" Denise memegang tangan Jessica dan mengguncangnya dengan tak percaya. "Eh monyet elu beneran nolak dia?!" tambahnya. "...." "Woyyyy jawabbb!!" "Iya, Den. Iyaaaaaaaaa!" jawab Jessica dengan gemas. Barulah setelah mendengar itu guncangan di tubuh Jessica berhenti. Dan ekpresi Denise benar-benar di luar dugaan BMKG. Perempuan itu geleng-geleng kepala sambil menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. "Gila lo, Jess. Nggak waras lo!" "Kalo gue terima malah gue yang nggak waras. Gue udah tahu lho akan kayak apa ke depannya dan gue masih bersikeras—cari perkara itu namanya!" "Emang bakal kayak apa sih ke depannya? Mulai aja belum tapi lo udah suudzon aja." "Ya itu, masalah yang dia belum move on dari mendiang pacarnya." "Kan bisa aja berubah!" Denise ngegas, masih tak percaya dengan jalan pikiran temannya. Kali ini Jessica-lah yang tampak geleng-geleng kepala seolah-olah menegaskan betapa tidak percayanya dia dengan kemungkinan tersebut. Yang namanya kemungkinan memang selalu ada, tapi siapa yang bisa menjaminnya? Tidak ada. "Kalo cuma dibayangin ya memang bisa, Den. Gampang banget malahan.Tapi real-nya kan nggak segampang itu. Nggak ada yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan. Dan sampe waktu itu gue harus lapang d**a gitu menerima dia dengan masa lalunya?" Jessica menerangkan dengan pilu. Mood-nya untuk berdandan sedikit berantakan. Perempuan itu menghela napas. "Gue nggak buru-buru nikah kok. Tapi kalo disuruh nemenin seseorang untuk sembuh dulu ya monmaap gue skip. Iya kalo dia sembuh, kalo nggak? Bisa-bisa setelah itu gue yang sakit karena sok-sok an mau nyembuhin orang." Meski tampak tegas saat mengatakannya, tapi sejujurnya Jessica lumayan tertekan juga. Hal ini terbukti dengan tangannya yang sampai gemetar saat dia hendak melanjutkan make up. Baru membayangkannya saja sudah membuatnya patah hati, apalagi kalau hal ini sampai terjadi. Jessica menggeleng. Hal itu tidak akan terjadi padanya. Selagi pikirannya masih rasional, dia harus membentengi diri. Dan tentu saja menjauh. Masa bodoh dengan casing seorang Devian Mahendra yang tampak menawan sekali. "Terserah lo mau nganggep gue jahat, nggak berperasaan, atau cuma mau senengnya doang tapi nggak mau berproses bareng dia—gue nggak peduli. Patah hatinya dia seharusnya bukan tanggung jawab gue. Gue juga patah hati kok, tapi gue nggak mengandalkan siapa pun untuk sembuh. Gue berusaha sembuh sendiri, barulah setelah itu gue membuka diri lagi." Jessica tampak tegas dalam perkataannya untuk menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Denise menghela napas. "Terus sekarang lo mau ke mana dandan gini?" "Ke mana lagi? Ya jelas kencanlah." "Sama?" "Someone." "Kenal dari mana? Sosmed?" Mood Jessica sudah sedikit membaik. Dia pun kembali melanjutkan make up-nya. "Bisa dibilang gitu. Tapi awalnya bermula dari si Anya," kata Jessica yang merujuk pada teman semasa kuliahnya dulu. Sambil memberitahu, Jessica pun memoles lipstick warna soft pink ke bibirnya. Setelah rapi, barulah dia melanjutkan, "Kemaren Anya ngucapin ultah ke gue di ** story trus si cowok ini ngeklik profil gue. Dia say hi dan dari situ kita chat-an." "Dan lo suka sama dia?" tanya Denise terang-terangan. "Dibilang suka sih terlalu dini, tapi dari chat-nya lumayan asik makanya kita sepakat ketemu. Dari sini lah kelanjutan hubungan ini akan ditentukan." Denise mengubah posisinya menjadi berbaring menyamping. Dia menyangga kepalanya dengan sebelah tangan dan mengamati Jessica yang tengah berdandan lekat-lekat. "Dan dari sudut mana laki-laki ini sampe lo anggap dia lebih pantas untuk diberi kesempatan dari Devian Mahendra?" Jessica memutar tubuhnya. "Lo kayaknya lebih pro ke Devian Mahendra ya? Padahal kalian belum pernah ketemu lho." "Gue emang belum pernah ketemu sama Devian Mahendra, tapi setidaknya dia direkomendasikan sama kedua orang tua lo. Artinya, secara bibit, bebet, dan bobotnya terjamin. Minus di masa lalunya aja yang lo susah terima," katanya. "Tapi kalo laki-laki ini, lo yakin dia seseorang yang layak? Lo nggak khawatir kalo dia punya masa lalu yang lebih buruk dari Devian?" "Ya makanya kita mutusin untuk ketemu, Den. Dari sinilah semuanya akan diputuskan, apakah lanjut atau udah. Gue sama Devian pun seperti ini kok. Kita ketemu dan gue menemukan ketidakcocokan itu. And then ya gue skip. Laki-laki ini pun akan sama kalo ternyata dia juga begitu." Salah satu kekurangan Jessica yang paling menonjol adalah dia orang yang super positif. Tidak pernah sekali pun Jessica berfikir kalau pria yang mengajaknya berkenalan dengannya itu punya maksud terselubung. Semuanya dianggap baik, makanya setiap pesan yang masuk selalu dibalas dengan ramah terlepas mereka bakal ketemu atau tidak. Dan inilah yang terjadi pada Jessica dan kenalan barunya saat ini. Astaga... "Ya udah deh, terserah lo aja. Yang penting lo happy." "Nah, gitu kan enak. Daritadi lo belain si Deviaannn terus. Kan gue sampe mikir lo tuh sebenernya temen gue apa temennya si Devian." Denise menampilkan cengiran terpaksanya. Diamatinya Jessica yang saat ini tengah memasukkan beberapa lipstick dan bedak untuk kebutuhan touch up nanti. "Mau berangkat sekarang?" "Yoi." "Dijemput atau ketemuan di sana?" "Ketemuan di sana. Males gue kalo dia tahu rumah gue. Repot nanti kalo nggak jadi." Kalau Denise mengharamkan yang namanya kencan tapi berangkat sendiri-sendiri, maka Jessica kebalikannya. Dia tidak merasa ada yang aneh dengan kencan yang diawali dengan berangkat sendiri-sendiri. Tapi dari sinilah Denise tahu kalau Jessica itu sosok yang tulus. Semua usahanya murni untuk mencari seorang pria yang baik terlepas bagaimana pekerjaannya atau kendaraan apa yang dibawanya. Yah, hanya saja memang takdirnya belum sampai ke arah sana makanya dia masih sesibuk ini di saat perempuan lain sudah duduk manis menunggu waktu dilamar. "Gue berangkat ya." "Jangan lupa bagiin lokasi terkini lo ke gue, biar gue bisa pantau." "Siaaaappp!" Yup, ini adalah satu ikhtiar Jessica untuk dirinya sendiri saat sedang kencan dengan orang yang dikenalnya secara online. Sejauh ini sih tidak ada yang jahat, tapi untuk berjaga-jaga makanya dia tetap melakukannya. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD