4. PERJODOHAN

1515 Words
Happy Reading ^_^ *** "Dijodohin? Mama jangan aneh-aneh dong. Aku tuh emang umur berapa sampe perlu dijodoh-jodohin?" protes Jessica pada sosok Mamanya yang sedang menyetrika. Keluarga Jessica hanya punya satu ART dan saat ini sedang minta libur karena suaminya sedang sakit. Yah, semacam ART lepaslah. Rumahnya juga tidak terlalu jauh dari komplek perumahan Jessica saat ini. "Umur kamu tuh udah jalan duatujuh ya, jangan sok masih belasan tahun yang masih mau main-main." Skakmat. Kalau sudah membahas umur, maka Jessica tidak akan bisa berkutik. Ya mau bagaimana lagi, umurnya kan memang tidak bisa dibohongi. "Ya tapi nggak usah dijodohin lah, Ma. Kan kayak nggak laku aja." cicit Jessica sambil memilin ujung bajunya. Persis seperti anak kecil. "Ya udah, anggep aja bukan perjodohan. Tapi kamu mau kan ketemu dia? Kenalan dulu. Siapa tahu cocok kan." Sama baeee ituu mahhh!! Protes Jessica dalam hati. "Mama sama Papa tuh udah biarin kamu nyari sendiri, tapi apa? Nggak ada yang bener. Inget nggak yang tampangnya kayak pulu-pulu tapi kamu ngejarnya setengah mati? Astaga, nak. Kamu kena pelet apa gimana sih yang waktu itu?" Sang Mama geleng-geleng kepala. Jessica hanya bisa menghela napas. Setelah waktu berlalu, perkataan Mamanya memang tergolong benar tentang rupa mantannya tersebut. Jessica juga heran kenapa dulu dia sampai rela mendatangi rumah si laki-laki hanya demi sebuah kepastian. "Selesai sama yang kayak pulu-pulu, selera kamu membaik. Tapi kok yaa harus beda agama? Mbok ya jangan kejauhan nyari tantangannya. Yang seiman aja kadang sulitnya minta ampun, tapi kok yaa ini malah yang berbeda keyakinan." "...." "Selesai sama yang beda agama, kamu upgrade diri sama upgrade kriteria calon. Lebih ganteng dan terpercaya. Seiman juga. Tapi kok ya sakit HIV sih, Neng? Mama tahu kamu suka yang menantang, tapi ini terlalu menantang. HIV lho nggak bisa sembuh. Kalo kamu ketularan gimana? Kalo kamu ada apa-apa gimana?" "..." "Cari yang bener lho, jangan yang aneh-aneh." "Tapi dia yang paling baik lho, Ma. Sejauh kita pacaran lho dia menghargai aku banget." jawab Jessica dengan perasaan tertohok. "Ya tapi dia sakit, Neng. HIV. HIV!" Jessica tidak bisa berkutik. Ya memang benar sih. Tapi hatinya sakit sekali saat Mamanya menjelekkannya begini. Pertama, mungkin karena yang terakhir durasi move on-nya belum terlalu lama. Sekitar empat bulan lalu. Yup, ini bertepatan dengan kasus Jessica dengan Devian makanya bobotnya turun drastis. Saat itu memang dia sedang dihajar banyak masalah dari banyak sisi. Lalu kedua, Jessica merasa kalau hatinya sudah tertaut erat pada sosok pria itu. Agam namanya. Dari sekian banyak mantannya, bagi Jessica hanya Agam-lah yang mendekatinya secara dewasa namun sopan. Perhatiannya pada Jessica tidak ada duanya. Hal inilah yang membuat Jessica lumayan tersiksa saat harus mengakhiri hubungan mereka. Demi Tuhan, dia sudah membayangkan hari yang indah akan mereka lewati sebagai suami-istri, tapi takdir berkata lain. Bahkan, jujur saja, sampai detik ini dia masih terbayang-bayang sosok Agam dengan segala act of service-nya. Dia merasa tidak ada yang seperti itu lagi. "Dateng ya? Kenalan doang. Kalo nggak nyaman ya sudah, semuanya Mama kembalikan ke kamu." Kalau sudah begini, memangnya Jessica punya pilihan lain? Dia sudah diskak dan dilabeli tidak becus mencari jodoh. Yah, mungkin jalur perjodohan bisa dicoba. Siapa tahu kan memang jodohnya ada di sana. *** Jessica bertopang dagu di atas meja sebuah foodcourt salah satu mall. Sang Mama dengan pihak sana sebenarnya sudah berkordinasi tentang tempat pertemuan Jessica dengan pria itu. Awalnya Jessica iya-iya saja, tapi kemudian saat dia diberi kontak pria itu, Jessica langsung mengubah agendanya secara pribadi. Yang tadinya dijemput, jadi berangkat masing-masing karena Jessica beralasan harus ke suatu tempat dulu. Tempat kencan mereka pun Jessica ubah, yang tadinya di sebuah restoran mall yang tergolong private berubah menjadi foodcourt. Alasannya sederhana, dia sedang ingin makan KFC. Tapi karena mementingkan perasaan orang yang dijodohkan dengannya, makanya Jessica memilih foodcourt. Setidaknya ada banyak tenant di area foodcourt ini, jadi orang tersebut bisa leluasa mau memilih makan apa. Tapi kalau tidak ada makanan yang sreg bagaimana? Mungkin akan jadi pertimbangan untuk Jessica. Bagaimana pun Jessica adalah alumni anak kosan. Dia terbiasa makan apa pun tanpa peduli apakah itu makanan fancy atau bukan. Kalau dia lapar dan di depannya hanya ada ayam geprek sepuluh ribuan ya tidak masalah juga. Yang penting kenyang. Tapi kok orangnya nggak dateng-dateng sih? gerutu Jessica. Supaya terkesan sopan, Jessica sengaja menunggu orang itu sebelum memesan makan. Tapi kok ya orangnya nggak tahu diri sekali, batinnya. Bisa-bisanya telat dikencan pertama. Ponsel Jessica berdering dan dia langsung mengangkatnya. Saat mendengar suara bas laki-laki, di situlah Jessica melirik layar ponselnya. Meski tidak men-save nomor tersebut dan tidak ada foto yang terpampang, tapi Jessica cukup tahu kalau itu adalah telpon dari teman kencannya. What the hell. Lidah Jessica kelu. Di chat-nya Jessica bisa dibilang sopan sekali. Bahkan dia pun memanggil orang tersebut dengan sapaan 'Mas' yang mana itu jarang sekali dia gunakan. Tapi berkomunikasi langsung via telpon—Jessica tak sanggup. Sapaan 'Mas' terlalu membuat dia gugup seperti bocah ingusan saja. "Saya udah di foodcourt. Kamu di sebelah mana ya?" "Di deket KFC pokoknya. Pake baju warna teracota." "Teracota itu warna apa sih?" Uggghhh, Jessica bingung juga menjelaskannya. "Ya warna teracotaaaaaa..." Perempuan itu menyugar rambutnya ke belakang, lalu menoleh untuk mencari keberadaan pria itu."Situ di mana? Saya ke sana deh." Lalu, bahu Jessica ditepuk. Kepalanya menengok ke belakang dan whalaaaaaa.... "Pak Devian ngapain di sini?" Devian tersenyum tampan. Dia tidak mengatakan apa pun, tapi jarinya yang mengode ke telpon yang dipegangnya cukup membuat Jessica paham. Jadi... dia pria yang dijodohkan dengannya? "Jadi orang yang dijodohkan dengan saya itu Bapak?" tanya Jessica dengan raut bingung. Masih tak percaya, Jessica meraih ponsel Devian Mahendra secara tidak sopan. Dan benar, kolom percakapan via chat mereka terpampang secara nyata. "Astaghfirullah!!!" Devian sedikit terkejut dengan reaksi Jessica. "Kok Astaghfirullah sih? Saya baca di profile kamu yang ada di perusahaan itu katanya kamu Kristiani, tapi kok Astaghfirullah sih?" "Sorry, sorry," Jessica mengangkat kedua tangannya. "Di tempat saya sekolah sama kuliah itu lebih banyak muslim daripada umat agama lain, jadi latahnya saya kalo nggak Ya Allah ya Astaghfirullah." Jessica tertawa garing. Padahal ada yang lebih ekstrem dari dua itu, tapi Jessica lebih memilih menyimpannya dalam hati. Devian akan kaget kalau mendengar kata mutiaranya di awal pertemuan mereka ini. "Sudah pesan belum? Atau lagi nggak nafsu makan lagi?" goda Devian yang langsung dibalas dengan cengiran. "Nggak mungkin saya nggak nafsu makan." —apalagi kamu lama bangetttt ya Tuhanku, kata Jessica dalam hatinya. Selain untuk melindungi harga diri pria itu, tentu saja untuk melindungi pekerjaannya. Bagaimana pun Devian adalah anggota dewan direksi perusahaannya, bisa mampus dia kalau menyinggung komplotan orang-orang tersebut. "Oh ya, Pak Devian tahu kan kalo di sini self service?" "Jess, saya bukan orang yang ketinggalan jaman. Saya tahulah kalo di foodcourt itu self service. Pikir kamu saya bakal angkat tangan trus nunggu pelayan ke sini untuk ngasih buku menu gitu?" Jessica nyengir. Ya kan dia berjaga-jaga saja. Siapa tahu Tuan Devian Mahendra yang tampilannya sempurna ini tidak pernah makan di foodcourt. Kan yang malu ya dia juga, pikir Jessica. Selepas obrolan singkat itu, keduanya pun beriringan memesan makanan yang mereka inginkan. Di awali dengan Jessica dan diakhiri dengan Devian. Maklumlah, namanya juga area foodcourt, jadi semua orang yang memesan makanan berhak atas tempat duduk yang tersedia. Kalau keduanya memesan secara bersamaan, bisa-bisa mereka nantinya makan sambil berdiri. "Saya masih nggak percaya kalo Pak Devian adalah orang yang dijodohin Mama saya. Kayak nggak mungkin banget." "Sama. Tadinya agak kaget pas Mama saya bilang Jessica-Jessica yang dulu nolongin Nenek di RS. Pas saya liat mukanya eh bener kamu. Karena udah kenal makanya juga saya nggak ragu buat dateng." "Berarti Pak Devian tahu kalo sayalah yang nge-chat Bapak?" tanya Jessica sambil menguliti ayam tepungnya. Itu adalah bagian favoritnya, jadi akan dia simpan untuk dimakan terakhiran. "Tahu." "Astaga. Kalo tahu mbok ya say hi gitu. Aneh banget mana saya udah panggil Mas. Sorry ya, Pak..." "Santai aja..." Yup, Devian memang sesantai yang dikatakannya. Lagaknya seperti tidak terbebani apa pun meski saat ini mereka dalam mode kencan karena perjodohan. Pria ini begitu... tak terduga. "Pak Devian kok bisa sih sesantai ini? Bapak nggak sebal dijodoh-jodohkan begini? Ini masih oke karena yang ada di depan Bapak adalah orang yang Bapak kenal. Kalo beneran nggak kenal gimana? Ngobrolnya gimana?" "Ya ngobrol biasa aja. Gimana harinya, kerjaannya lancar apa nggak, terus kalo udah akrab dikit bolehlah nanya tentang keluarga." Jessica mengernyitkan keningnya. Kenapa kedengarannya seperti Devian adalah spesialis perjodohan? Jangan-jangan ini bukan perjodohan pertamanya? "Lagian saya nggak pernah menganggap perjodohan sebagai perjodohan pada umumnya. Yah, hanya sebatas perkenalan untuk menambah relasi. Kalau cocok ya kita akan terus berteman, kalo nggak ya cukup kenal aja tapi nggak pernah say hi lagi." Kalau cocok mereka akan terus berteman. Garis bawahi kalimat itu. Artinya, kalau pun perjodohan ini berhasil kamu tetap jangan berharap lebih. Karena pada akhirnya posisi yang akan kamu dapatkan bukanlah pacar atau istri, melainkan hanya sekedar teman. TEMAN—ingat itu. Pria seperti ini, kalau dia bukan pro player maka dia adalah sosok yang egoistis. Dia memanfaatkan orang lain untuk kepentingannya sendiri. Dan orang yang seperti itu harus dihindari. Seketika rasa kagum Jessica langsung luruh. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD