2. KESALAHAN

1709 Words
Happy Reading ^_^ *** Empat bulan lalu. "Saya akan tuntut kamu." "Hah?" "Saya akan tuntut kamu. Apa perlu saya ulangi perkataan saya, Nona Jessica Putri Andi?" What the... hell. Senyum centil Jessica di balik masker langsung melihat. Gelagatnya berubah gugup. "Maksud Pak Devian apa ya? Saya... salah apa?" Pria bernama Devian Mahendra itu menyodorkan sebuah kertas hasil dengan kop rumah sakit tempatnya bekerja tercetak jelas di bagian atasnya. Matanya turun ke bawah dan menemukan namanya terlampir sebagai petugas yang mengeluarkan hasil pemeriksaan itu. Apa pun itu, pasti ada hasil yang membuatnya tidak terima. Dan dialah yang akan disalahkan karena namanya yang terlampir di sana. Sialan. "Kamu lihat hasil MCU saya dua bulan lalu. Saya baik-baik aja. Terus kenapa pas MCU sama kamu tiba-tiba aja hasil HIV saya reaktif?" "Pak Devian, tenang dulu," Sebenarnya Jessica-lah yang berusaha tenang. Sedangkan Devian, pria di depannya tersebut malah tampak santai. Kata-katanya tersusun rapi dengan diikuti oleh intonasi yang pas. Tidak pelan, tapi juga tidak keras. Yah, setidaknya pria itu masih berusaha melindungi harga diri Jessica dari telinga pasien lain yang kebetulan ada di sana. Sedangkan Jessica—tubuhnya sudah sedingin kulkas PCR. "Boleh saya crosscheck dulu?" Jessica meminta kertas hasil tersebut dengan sopan. Dia membacanya sekilas dan tidak ada keanehan apa pun, kecuali hasil Anti-HIV yang dinyatakan reaktif. Bahkan sebenarnya hasil tersebut tidak bisa dibilang aneh karena faktanya tidak semua orang yang fisiknya tampak sehat pun sehat juga dari dalam. Sebagai petugas, Jessica tidak tahu senakal apa pasien yang ada di depannya hingga mengakibatkan dirinya terinfeksi penyakit menular seperti ini. "Pak Devian, begini," Jessica berbicara pelan setelah mengumpulkan keberaniannya. "Ada beberapa penyakit yang tidak bisa terdeteksi dalam waktu singkat. Seperti HIV contohnya. Butuh waktu sekitar sebulan sampai tiga bulanan sampai akhirnya penyakit tersebut terdeteksi. Sehingga ada kemungkinan pada saat bapak melakukan MCU sebelumnya memang benar bahwa Bapak dalam kondisi yang baik. Tapi untuk yang sekarang—ya beginilah hasilnya." "...." "Saya minta maaf kalau saya menyampaikan hasil yang kurang baik ini dengan cara yang tidak baik. Pada dasarnya yang punya kewenangan tersebut adalah dokter, karena beliau bisa memberikan teori yang lebih baik beserta solusinya. Saya di sini hanya ingin meluruskan supaya Bapak tidak salah paham." "Saya nggak ada masalah dengan cara kamu menyampaikan ini. Tapi yang saya permasalahkan adalah hasil ini," Devian menunjuk hasil yang masih dipegang oleh perempuan yang ada di depannya. "Pertama, saya dalam kondisi fit. Saya tidak punya gejala apa pun. Kedua, saya tidak pernah berhubungan seksual dengan siapa pun." "Pak Devian, HIV nggak semata-mata hanya karena hubungan seksual yang nggak benar. Ada penyebab lain." Selorohan Jessica disela lagi oleh Devian dengan mengangkat tangannya. "Saya belum selesai bicara." imbuhnya dengan tatapan setajam predator pada mangsanya. "Dan karena saya merasa ini salah, makanya saya tes lagi di salah satu lab. Dan ini adalah hasilnya...." Jessica menerima kertas hasil lain yang disodorkan oleh Devian. Dan dari kopnya, ini adalah salah satu lab klinik besar yang cabangnya sudah tersebar di banyak kota. Citranya yang baik membuat lab ini punya tempat khusus di hati pasien serta para lulusan di bidang ini. Bahkan dulu sesaat setelah Jessica lulus, lab inilah yang menerima surat lamaran kerja pertamanya. Yah, meskipun akhirnya dia tidak lolos dan berakhir di rumah sakit seperti sekarang. "Kamu lihat hasilnya? Negatif." Jessica terdiam seribu bahasa. Bagaimana bisa? "Katakanlah saya memang tertular penyakit ini, tapi nggak mungkin hasilnya berubah dalam beberapa hari kan? Ini sangat nggak masuk akal." Kepercayaan diri Jessica yang tadi hampir terbangun seketika pudar lagi. Kali ini dia diliputi oleh kekhawatiran yang mendalam. Dia tidak bisa berkata-kata. "Pak Devian, sebentar," Jessica berpikir keras. Kalau sudah begini, dia tidak mungkin mendebat lagi. Dia hanya akan menjadi badut di depan orang yang ternyata sudah mempersiapkan argumen ini dengan baik. "Saya lapor koordinator saya dulu. Bapak tunggu di sini dulu." *** Karena kecerobohannya, Jessica ditegur langsung oleh salah satu dewan direksi karena dianggap tidak efisien dalam bekerja. Tak usah ditanya bagaimana perasaannya, ya jelas porak-poranda-lah. Kedua tangannya yang berada di belakang tubuh saling mengepal untuk menguatkan dirinya sendiri. Tapi syukurnya, koordinatornya bisa membantu Jessica lepas dari tatapan galak para dewan direksi. Hanya saja, persis seperti nasihat koordinatornya, ketika ada pegawai yang melakukan kesalahan, maka hal tersebut akan merembet ke mana-mana. Kinerja Jessica jadi dipertanyakan yang membuat sesi keliling menjadi sesi training. Bagaimana tidak, setelah lolos dari tatapan tajam para direksi, Jessica terpaksa harus running sampel di depan mereka semua. Jadi semacam kemampuannya di bidang ini di tes. Jangan sampai kegagalan tersebut terus berulang yang bisa mengakibatkan kerugian bagi perusahaan—kira-kira begitulah pikir mereka. Sebagai seseorang yang sudah hafal teknis pengerjaan beserta SOP-nya dengan baik, Jessica tidak takut sedikit pun. Hanya saja dia gelisah karena secara tiba-tiba salah seorang dewan direksi mengajukan diri untuk menjadi asistennya. Dan tahu siapa asistennya? Devian Mahendra. Shit. Pria itu mengajukan diri secara sukarela. Bahkan ketika koordinatornya sudah mewanti-wanti bahwa ini berhubungan dengan bahan kimia dengan segala bahayanya, tapi dia tetap kekeuh. Di sini Jessica mulai panik. Apa jangan-jangan Devian Mahendra mengenalinya? Dulu saat fase mediasi, Jessica selalu bertemu Devian Mahendra dengan masker yang menutupi wajahnya. Pria itu belum pernah melihat wajahnya. Sesama rekan nakes saja masih suka pangling dengan wajah asli mereka tanpa masker, masa iya sih Devian Mahendra ini bisa langsung mengenalinya? Tidak mungkin. Mustahil. Berbekal keyakinan itu Jessica running sampel dengan percaya dirinya. Kalau soal kerjaan, Jessica percaya diri. Kecil itu mahhh. Hanya saja kalau soal mengelabui Devian Mahendra tentang identitasnya itulah agak membuat Jessica minder. Pasalnya ada beberapa momen di mana dirinya diharuskan pakai masker dan matanya tanpa sengaja bertemu pandang dengan manik gelap pria itu. Hanya menatapnya saja Jessica sudah merasa seperti diinterogasi. Sial, sial, pikirnya. Bagaimana bisa sih ada orang seapes dirinya? Ingatkan dia untuk membuat CV terbaik setelah pulang kerja nanti. Ya, dia harus menyiapkannya sejak dini. "Lo ngapa dah keliatan kayak tertekan banget? Kan tadi udah dikasih jempol sama salah satu direksi. Tandanya kerja lo bagus, cuma disuruh lebih fokus lagi." tegur salah satu rekan Jessica yang bernama Saras. "Mba Saras, gue tahu denger cerita lo yang katanya lo gugup pas direksi dateng dan akhirnya malah ngelakuin kesalahan di depan mereka." Saras tergelak sambil menyedot es tehnya. "Cerita lama ituu. Apes banget gue emang." "Kayaknya keapesan lo menurun ke gue. Fix setelah ini kita nggak boleh icip-icipan bekel." "Anjrit, si bocah!" Saras mendorong bahu Jessica dengan main-main. "Menurut ente siapa yang memulai kebiasaan icip-icip bekel? Kayaknya lo perlu gue seret deh ke toilet biar bisa ngaca." Ya benar sih, batin Jessica. Dialah yang memulai drama icip-icip di antara mereka karena merasa masakan Saras sangat enak. Maklum saja, dia itu tipe yang suka membuat bekal untuk suami, jadi wajar kalau masakannya enak. Sebagai anak yang tidak tinggal bersama kedua orang tuanya, wajar bagi Jessica untuk bosan dengan makanan warteg, fast food, atau masakannya yang hanya itu-itu saja. Helaan napas Jessica kembali terdengar. Dan hal ini sontak menarik perhatian Saras. Lagi, perempuan yang usianya tiga tahun lebih tua dari Jessica tersebut kembali menggeplak bahu Jessica. "Lo ngapa dah dari tadi hela napas mulu? Berasa lagi mau nerima hukuman tahu nggak." "Gue kan emang abis dihukum sama direksi."—trus nanti kalo ketahuan ya bakal dihukum sama Devian Mahendra juga. Apes, apes, tambahnya dalam hati. "Santai aja sih. Dulu gue malah ngak-ngok pas diskak direksi, tapi gue masih bertahan sampe sekarang. Penting lo mau upgrade diri aja. Jangan bosen belajar soalnya makin ke sini teknik pengujian itu ya banyak banget variasinya." Nasihatnya bagus, tapi sayangnya ini bukan karena itu, batin Jessica. "Mba, kalo lo ada info loker, jangan lupa sebar ke gue dulu ya. Demi kemaslahatan umat ini." kata Jessica dengan pasrah kalau akhinya dia harus resign lagi. Melihat Jessica yang tampak linglung, Saras semakin geleng-geleng kepala. Temannya ini tidak tertolong. "Gue rasa lo nggak butuh loker baru, lo tuh butuh psikiater. Nggak waras lo!" celetuknya yang tak dianggap oleh Jessica. "Salah, salah. Kayaknya bukan psikiater, tapi lo butuh suami deh biar lo nggak perlu kerja lagi." imbuhnya. "Cariin ya, Mba. Duda beranak satu juga nggak apa-apa. Perlu cepet ini." jawab Jessica setengah bercanda. "Dasar gila!" *** Masih kepikiran hal tersebut, mood Jessica langsung berantakan sepanjang sisa hari yang tersisa. Dia pulang menuju motornya yang terparkir di basement dengan ogah-ogahan. Tolongggggg... padahal tidak ada yang terjadi, tapi kenapa pikirannya sudah berkelana lumayan jauh sih? Tas canvas yang mestinya dia sampirkan di bahu jadi dia ayun-ayunkan dengan tidak jelas. Sampai suara klakson mobil menghancurkan kelakuan randomnya. Karena kaget, tasnya pun terlempar. Jessica langsung melirik mobil di belakangnya dengan sebal. Biasanya yang suka begini adalah si Adrian. Jessica sudah hampir menggerutu, sampai kemudian dia melihat sepatu pantofel mahal yang menjejak lantai basement. Dan jelas itu bukan milik Adrian. Mata Jessica langsung naik ke atas dan matanya langsung bertemu pandang dengan manik kelam tersebut. Ya Tuhan, bisa nggak apesnya dikorting dulu? Seharian ini mentalnya udah berantakan lho. Masa masih mau ditambah lagi sih, Tuhan? Jessica berpaling, pura-pura memungut tasnya yang tak seberapa. Di momen itu Jessica merapalkan doa-doa yang terlintas di kepalanya. "Jessica?" Mampus! Dia inget nama gue lagi! batinnya resah. "Kamu yang dulu kerja di rumah sakit bukan sih?" Jessica semakin resah dalam posisi berjongkoknya. Setelah menguatkan mental, Jessica memberanikan diri menatap salah satu orang yang termasuk dewan direksi tersebut. Dia mendongak dan menampilkan senyum lebar yang dipaksakan. "Bukan kok, Pak." jawabnya dengan PD. "Pembohong. Saya inget kamu lho." Ekspresi Jessica berubah pias. Kalau sudah ingat kenapa masih berbasa-basi sih? "Masuk mobil." Perintah itu dilontarkan begitu saja. Secara spontan Jessica langsung bangun dan mengejar Devian. Dia mengekori pria itu sampai ke sisi samping bagian supir. "Pak Devian, please, jangan tuntut saya lagi. Saya minta maaf atas apa yang sudah kejadian di masa lalu. Bahkan saya juga udah menebus dosa saya dengan resign di tempat lama saya, jadi seharusnya Bapak nggak boleh mengganggu saya lagi di sini. Pak, saya ini b***k korporat. Nyari kerjaan itu susah banget lho, jadi jangan bikin saya resign lagi." kata Jessica dengan kedua tangan menangkup memohon. Ekspresinya pun memelas. "Masuk mobil, Jess." Jessica bergeming. Dia masih dalam mode memelas. Devian menghela napas kasar. "Masuk mobil atau saya tuntut kamu lagi." Asssyiaaapppp!! Kalau dengan masuk mobil bisa membuat dia tidak dituntut, ya Jessica akan dengan senang hati melakukannya. Terlepas entah ke mana dia akan dibawa oleh pria itu. Ke mana saja boleh, asal bukan pengadilan. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD