Harus Bergerak Cepat

1590 Words
"Semangatlah sedikit Ann, bukankah tadi pagi kau sangat bersemangat bahkan sampai kantor lebih awal?" Rosa mencubit pipi Anne mengajaknya bercanda namun Anne masih memasang wajah cemberut. "Ayolah Honey, ada apa denganmu? Apa semalam Sean macam-macam padamu?" godanya mengabaikan wajah Anne yang siap memakannya. "Tidak, Pigy," jawab Anne dengan mendesah berat. "Lalu?" "Bagaimana menurutmu jika aku resign?" tanya Anne dengan memijit kepalanya yang berdenyut nyeri. "Apa! Apa yang kau katakan? Jangan bercanda," kata Rosa tak percaya hingga menghentikan langkahnya. Saat ini mereka tengah berjalan menuju tempat kerja mereka setelah makan siang. "Aku serius, ada orang gila yang menerorku. Aku ingin pindah keluar kota saja." Anne menunduk dalam dengan tetap melangkah gontai. "Orang gila? Apa dia penggemar fanatikmu? Atau apa dia istri dari kekasihmu?" Selidik Rosa penuh keingintahuan. Ia kembali melangkah mengikuti Anne. Anne menoleh pada Rosa dan mendelik mendengar ucapannya diakhir kalimat. "Hahaha maaf Honey, makanya katakan apa yang sebenarnya terjadi." Rosa memegangi perutnya saat tertawa dan mengusap setitik air mata di ujung matanya. "Kau tahu … ah lupakan." Anne mengurungkan niatnya bercerita pada Rosa dan kembali berjalan menuju bilik kerjanya. "Anne!" Keduanya menoleh saat mendengar seseorang memanggil nama Anne. "Kak Valent? Apa yang kau lakukan disini?" Keterkejutan sangat nampak di wajah Anne melihat Velent berjalan setengah berlari kecil menuju arahnya. "Aku ada meeting dengan pak Raka setelah makan siang. Kalian dari mana?" Valent melirik Rosa dan menatap Anne dengan tatapan lembut. "Kami baru saja makan siang, kau terlambat jika ingin mengajak Anne makan siang, Kak." Rosa seolah dapat membaca pikiran pria didepannya. "Ya, seharusnya aku datang lebih cepat." Valent tersenyum dan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Bagaimana jika lain kali, Ann?" Menatap Anne penuh harap "Eh? Aku?" tanya Anne seperti orang bodoh dan hanya dijawab Valent dengan senyuman. "A … ya mungkin lain kali," jawab Anne dengan berusaha mengukir senyumnya. Kemudian ketiganya berjalan bersama dengan sedikit mengobrol kecil. Sesekali Anne tersenyum kecil karena pria yang kini berjalan bersamanya menceritakan cerita lucu. Namun itu hanya caranya saja agar tak terlihat terlalu canggung saat bersama Valent. Valent adalah pria yang disukai Anne sejak highschool bahkan sampai kuliah. Namun ia tak pernah mengutarakan isi hatinya karena ia tahu pria itu adalah kekasih temannya sendiri bahkan mereka telah menikah satu tahun yang lalu. Meski begitu ia masih menyimpan perasaannya sampai saat ini. Saat hampir sampai di divisi tempat Anne bekerja, tidak sengaja ia berpapasan dengan Sean, hingga mata keduanya bertemu. Anne mengalihkan pandangan sementara Sean menatapnya tajam melihat seorang pria berjalan bersamanya. "Sampai jumpa, Kak." Rosa melambaikan tangan saat pria itu menuju ruangan ruangan pak Raka. "Apa kau masih menyukai kak Valent?" Rosa menyiku lengan Anne menggoda. "Dia sudah menikah, Pigy." Anne segera duduk di kursi kerja kesayangannya. "Kau tidak dengar? Kemarin dia sudah mengatakan mereka sudah berpisah, Honey." Rosa mengetuk jidat lebar Anne dengan telunjuknya. "Aku tidak tahu pigy, lalu kenapa jika mereka berpisah? Lagipula Kak Valent tak mungkin menyukaiku." Anne menunduk dan tersenyum miris meratapi kisah cintanya yang menyedihkan. "Ayolah Honey, sebentar lagi aku akan menikah dan kau harus segera menyusul jika ingin kita jadi besan." Rosa bersandar pada meja kerja Anne dengan bersedekap d**a dan mengedipkan sebelah mata. Anne tertawa mendengar pikiran konyol Rosa."Siapa bilang aku mau jadi besanmu?" Anne mengetuk kepala Rosa dengan pulpen berharap dapat menyadarkannya dari pikiran konyol.. "Awh! Dasar!" Dan keduanya tertawa tak menyadari ada sepasang mata dan telinga yang sedari tadi mendengar percakapan dua wanita itu. "Sial," gumam Sean. Ia harus bergerak cepat sebelum pria bernama Valent memiliki wanita incarannya. *** "Saatnya pulang, Honey." Rosa menyambangi bilik kerja Anne dan mendapati temannya itu masih sibuk memainkan jari lentiknya diatas keyboard. "Aku belum selesai, Pigy," jawabnya tanpa menoleh. "Hah … baiklah, bagaimana kondisi Popon? Apa dia sudah sembuh?" Rosa tertawa kecil, entahlah menyebut nama popon selalu membuatnya ingin tertawa. Anne mendelik mendengar ucapan Rosa yang seakan mengejek, bukan mengejek menghina melainkan seakan itu adalah hal yang lucu. "Bams bilang Popon baru bisa pulang besok," jawab Anne sekenanya. Bams adalah pemilik bengkel langganan popon dirawat. "Ya Tuhan, Ann ... jual saja mobil tua itu dan beli yang baru. Kurasa paman tak akan keberatan membelikanmu mobil baru." Rosa memutar mata malas dan berkecak pinggang menatap Anne jengah. "Sudah kukatakan, aku tak akan menjual Poponku. Bukankah kau mau pulang? Cepat pulang sana hush … hush ... kau mengganggu pekerjaanku." Anne mengusir Rosa layaknya mengusir anak ayam. "Dasar kau, baiklah aku akan pulang dengan calon suamiku. Daripada disini menemani perawan tua sepertimu." Rosa segera berlari setelah mengatakan itu, ia tentu tahu apa yang akan didapatnya setelah ini. "Rosa …." teriak Anne dan sebuah pulpen dan kertas melayang ke udara. "Hahaha …." Rosa memegangi perutnya dan tertawa terbahak. "Wek …." Wanita itu menjulurkan lidah mengejek Anne yang kesal. "Huh, dasar Pigy. Awas saja jika aku yang menikah lebih dulu," ucap Anne asal kemudian membenturkan kepalanya ke meja. "Bagaimana menikah lebih dulu? Kau bahkan tak punya kekasih Ann ..." Wanita itu menggerutu pada dirinya sendiri. "Menikah denganku?" Tiba-tiba Sean muncul membuat Anne segera mendongak. Sean mendekati Anne dan wanita itu mengalihkan pandangannya. Ia kembali menatap monitor di hadapannya. "Sudah saatnya pulang." Sean bersedekap menatap wanita Anne. Sementara Anne hanya diam mengabaikan Sean seakan tak ada seorangpun disana selain dirinya sendiri. Jari-jari lentik itu kembali menari diatas keyboard. "Anne," panggil Sean dan wanita itu hanya diam. "Anne." Lagi, dan wanita itu tetap mengabaikannya. "Ayolah, kau bukan anak kecil lagi Ann. Jawab aku." Namun tetap saja Anne hanya diam. "Baiklah aku akan berhenti mengganggumu, bagaimna jika kita berteman? Kita mulai semua dari awal." Mendengar itu Anne hanya meliriknya sekilas. "Aku Sean, senang bertemu denganmu." Sean mengulurkan tangan namun diabaikan oleh wanita itu. "Jika kau seperti ini aku akan menciummu disini." Ancam Sean dan tentu hal ini berhasil. Anne terlonjak dari kursinya dan menatap Sean garang. "Dasar pervert, pergi kau dari sini." Anne menyilangkan kedua tangannya di depan d**a dan menatap Sean nyalang. "Kau baru mersepon jika aku seperti ini. Atau kau sengaja?" Sean menyeringai menggoda. "Dasar gila!" teriak Anne. "Baiklah, kau tenang saja aku tak akan melakukannya jika bukan kau yang memintaku untuk melakukannya. Bagaimana tawaranku tadi?" Alis Anne mengernyit mendengar ucapan pria didepannya ini. "Kita berteman. Kita satu divisi dan akan sangat mencurigakan jika kau terlihat menghindari rekan kerjamu sendiri, tentu saja kau tak ingin orang lain berpikir ada sesuatu diantara kita bukan? Yang membuatmu bersikap tak normal padaku," ujar Sean dengan tersenyum tipis penuh arti. "Itu terserah mereka. Aku berhak menentukan dengan siapa aku berteman atau tidak," jawab Anne ketus. "Lalu kau ingin semua orang tau alasanmu menjaga jarak denganku adalah kita hampir saja 'berhubungan'? Dan aku akan dipuja karena berhasil lolos dari godaan." Sean semakin menyeringai melihat Anne yang tergagap tak bisa membalas perkataannya. "Tentu kau tidak mau seperti itu bukan? Jadi aku Sean, senang bertemu denganmu Anne Haruna." Sean maraih tangan Anne dan menjabat tangannya. "Hah ... baiklah akan kucoba. Tapi jangan mengatakan apa yang kita alami pada siapapun, jangan mengungkit masalah itu lagi dan jangan bertingkah m***m padaku," pinta Anne sebagai syarat. "Baiklah ...." Tangan keduanya masih terpaut. Anne mencoba melepas tangannya dan barulah Sean melepasnya. "Jadi, karena sekarang kita berteman mungkin aku bisa mengantarmu pulang?" Sean tak berhenti menatap mata jernih itu. Mata yang seakan mampu membuatnya untuk terus menatapnya dan terjerat ke dalam pesona Anne. Bahkan Anne tak melakukan apapun dan Sean sangat tertarik untuk menggodanya. Setiap tatapan mereka bertemu, ia seperti terseret kedalamnya dan ingin memiliki Anne seutuhnya "Tidak perlu. Bukankah ayahku sudah mengangkat katanannya padamu?" kata Anne mencoba mengingatkan. "Kau salah, ayahmu memberiku lampu hijau untuk mendekati putrinya," jawab Sean penuh kebanggaan. "Kau pasti berbohong." Anne tampak menyelidik dengan alisnya yang mengernyit. "Kau tidak percaya? Bagaimana jika aku menemui ayahmu sekarang?" "Sudahlah pergi dari sini, pekerjaanku tidak akan selesai jika kau masih saja menggangguku." Anne mendorong pria itu keluar dari bilik kerjanya dan ia kembali duduk dan menatap monitor. Sean mengintip dan akhirnya mengurungkan niatnya kembali mengganggu wanitanya. Wanita itu tampak sangat serius. Andai kau tahu bung! Dia sudah kehilangan fokus sekarang. Anne tak dapat berpikir jernih dan semua ini karena pria itu. Hingga ia panik saat melihat jam dan sudah pukul delapan. "Ya Tuhan." Ia segera menghubungi sang ayah berharap ayahnya bisa menjemput. "Halo, ayah bisa tolong Anne?" ["Ada apa sayang? "] "Bisa jemput aku sekarang? Rosa sudah pulang dan Popon masih belum siuman." ["Maafkan ayah, sayang, paman Robi meminjam mobil ayah jadi ayah tak bisa menjemputmu."] "Kenapa? Dimana mobil paman Robi?" "Mobilnya rusak dan ia harus pergi ke rumah sakit setelah mendapat kabar Arumi mengalami kecelakaan."] "Apa? Kak Arumi kecelakaan? Bagaimana kondisinya?" ["Pamanmu bilang tidak terlalu parah, jadi sebaiknya kau pulang saja, kau bisa menjenguknya besok."] "Ya … baiklah. Kalau begitu sampai jumpa ayah." ["Ya. Hati-hati, putriku. Atau, apa ayah pesan taksi online untukmu?" "Tidak perlu ayah, aku akan memesannya sendiri nanti." ["Baiklah, hati-hati.] "Huh ... bagaimana aku pulang?" Anne menghela nafas berat. Ia membereskan pekerjaaannya dan bersiap pulang. Ia harap masih ada kendaraan umum di jam ini. Ia takut memesan taksi online, lebih tepatnya belum pernah memesan taksi online sebelumnya. "Sudah selesai?" "Kau? Kau masih disini?" Anne cukup terkejut mendapati Sean masih berada disana. "Tentu saja. Bukankah sudah kukatakan aku akan mengantarmu pulang?" kata Sean mengingatkan. "Tidak perlu. Aku akan naik kendaraan umum," ujar Anne dan berjalan mendahului Sean. "Ini sudah malam Ann, tak baik bagi seorang perawan sepertimu pulang sendirian dengan kendaraan umum. Bagaimana jika ada b******n yang ingin macam-macam padamu?" Sean mengikuti wanita yang berjalan di depannya meski ia baru saja mendapat delikan darinya. "Kau tenang saja aku tak akan macam-macam, kecuali jika kau yang memintanya." "Jika kau masih berbicara yang tidak-tidak aku tak mau berteman denganmu." Anne berhenti berjalan dan menatap mata hitam Sean kesal. TBC ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD