Kantor pengadilan agama masih lengang saat Padma memasukinya, dia gugup dan sebenarnya langkahnya sedikit ragu dengan keputusan ini.
Tapi saat mengingat kalimat dan perlakuan kasar yang di lakukan suaminya beberapa waktu lalu, langkahnya menjadi mantap.
“Maaf Pak, di mana saya bisa mendaftarkan gugatan cerai?” tanya Padma pada seorang yang memakai seragam ASN.
“Di sebelah sana,” orang itu menunjukkan arah pada Padma.
“Terima kasih Pak,” ucap Padma.
Dengan menarik napas dalam-dalam, Padma menyerahkan berkas gugatan cerai pada petugas.
"Ya Tuhanku, semoga ini keputusan yang tepat dan terbaik," gumam Padma dengan hati yang terasa berat dan sesak.
Setelah keluar dari kantor pengadilan agama Padma segera menghubungi seseorang, “Aku sudah melakukannya, doakan semoga ini berjalan lancar.”
Kemudian Padma memandang layar telepon genggamnya, “Maafkan bunda nak, telah bersikap egois mengambil keputusan ini.”
Layar mulai meredup dan foto profil dua anak kecil pada layar itu pun menghilang.
***@@****
“Mas, Ibu telepon katanya hafiz muntah-muntah,” bisik Puspa wanita cantik berkerudung itu menyampaikan berita di tengah rapat pada Bram.
Bram menarik napas panjang, “Suruh Ibu panggil dokter atau bawa ke rumah sakit.”
“Baik Mas,” Puspa kemudian mengirim pesan pada Ratmi.
Rapat berjalan lama, setelah selesai Bram langsung memeriksa gawainya.
Banyak panggilan dan pesan yang masuk, dia membacanya satu persatu tanpa ada yang terlewatkan, sampai dengan pesan terakhir.
Tapi apa yang diharapkan tidak ada dan sepertinya keadaan yang terjadi beberapa minggu lalu masih akan tetap berlanjut.
“Mas, kita jadi pergi nanti sore ke acara perusahaan Mas Wisnu?” tanya Puspa.
“Jadi, kita pergi jam lima sore, jadi sebaiknya kita pulang lebih cepat nanti,” sahut Bram, “Pakai gaun yang Mas beli waktu di Singapura itu.”
“Baik Mas,” ujar Puspa berlalu pergi.
“Heran deh, yang istrinya pak Bram sekarang itu siapa sih Puspa atau Ibu Padma?” langkah Puspa terhenti mendengar namanya di sebut.
“Istrinya tetap Ibu Padma, tapi selingkuhannya kan puspa,” sahut seseorang yang lain.
“Kalian jangan asal bicara,” sahut yang lain.
“Kita tidak asal bicara, coba sejak Puspa bekerja di sini apa pernah Pak Bram mengajak pergi ibu Padma ke acara-acara perusahaan lagi?” suara itu jeda sejenak,” Selalu Puspa yang di ajakan sekarang, kalau bukan selingkuhan apa coba sebutannya?”
“Dan lagian kelihatan banget Puspa itu di manja sama pak Bram, buktinya ngak bisa kerja saja dia di tempatkan di bagian penting,” sahut yang lain.
“Namanya juga janda cantik, pasti sangat menggoda dari pada istri sendiri,” terdengar tawa kecil riuh di antara beberapa orang, "Biarpun pak Bram dan ibu Padma itu masih tergolong baru seumur jagung menikahnya."
"Padahal pak Bram itu termasuk beruntung, duda dengan dua anak bisa menikah dengan wanita seperti ibu Padma."
"Tetap rumput tetangga lebih baik dari rumput sendiri," tawa mereka kembali pecah tanpa menyadari kalau pembicaraan itu terdengar oleh Puspa.
Dan Puspa dengan hati yang sakit berlalu pergi.
"Begitukah pandangan mereka padaku selama ini?" lirih Puspa bergumam.
***otw***
Bram baru saja pulang bekerja, dia kemudian masuk ke kamar Hafiz melihat bagaimana keadaan putranya yang sedang sakit, dia melihat Hafiz sedang tidur.
Klek! pintu kamar Hafiz terbuka.
“Papa Blam,” suara cadel anak berusia tiga tahun terdengar.
“Azam, cari Mas Bram, tadi” Puspa sedang mengendong putra bungsunya.
Bram langsung mengambil Azam keponakan laki-Lakinya dalam gendongan Puspa.
“Papa Blam kita main,” ucap Azam sambil memainkan dasi di leher Bram.
“Boleh,” ucap Bram mencium pipi keponakannya dengan gemas, membuat Azam terkekeh geli.
“Pah!” Hanum masuk dengan berlari.
“Fani mau bonekanya!” Hanum masuk di ikuti oleh anak perempuan berusia lebih muda darinya.
“Ngak bisa! Ini boneka Hanum!” ucap Hanum sambil menyembunyikan boneka di belakang punggungnya.
“Fani mau bonekanya,” terdengar rengekan Fani.
“Ngak!” tolak Hanum.
Fani melihat pada Bram, Sambil menunjuk boneka yang sedang di pegang Hanum, “Papa Bram, Fani mau bonekanya.”
Bram melihat pada boneka yang di sembunyikan Hanum, “Hanum, berikan boneka itu sama Fani.”
“Ngak mau!” tolak Hanum.
“Umi, Fani mau bonekanya,” ucap Fani sambil memeluk pinggang Puspa dan mulai menangis.
“Hanum, Fani mau pinjam sebentar saja boleh bonekanya?” pinta Puspa dengan suara yang di lembutkan.
“Ngak,” ucap Hanum masih menolak.
“Hanum, Papa bilang berikan boneka itu sama Fani,” ucap Bram.
“Ngak mau, ini pemberian..”
“Fani mau boneka itu..hu..hu..” tangis Fani nyaring.
“Hanum! Papa bilang berikan boneka itu sekarang!” suara Bram terdengar tegas dengan mata sorot yang tajam tertuju pada Hanum.
Hanum yang mendengar suara Bram seperti membentak, menjadi terkejut.
Matanya menatap nanar pada Bram, kemudian bergantian pada Fani.
Pluk!
“Aduh!”
Hanum melempar dengan keras boneka itu tepat ke wajah Fani, kemudian berlari pergi dengan menangis.
“Hanum! Berhenti!” Bram memanggil Hanum tapi gadis kecil itu tidak mendengarkan panggilan itu.
Brak!
Terdengar pintu kamar di banting keras dan di kunci dari dalam.
Sementara Fani menangis semakin kencang dan Puspa membujuknya, “Sudah sayang, ini bonekanya kan sudah di berikan sama kak Hanum.”
“Fani jangan menangis lagi, biar Papa Bram suruh Hanum untuk minta maaf,” Bram pun ikut membujuk keponakan perempuannya itu.
Segera Bram keluar kamar Hafiz dan menuju kamar Hanum, yang di ikuti oleh Puspa juga Fani.
“Pah,” suara kecil itu terdengar lirih, memanggil Bram dengan mata yang berkaca-kaca.
Tak ada yang memperhatikan kalau Hafiz sudah terbangun karena suara ribut di dalam kamarnya.
"Bunda, hafiz kangen," suara hafiz terdengar lemah.