"Begitu, ya? Apa terlihat?" tanya Hadi, menggaruk tengkuknya.
"Tentu saja, melihatmu seperti ini, aku jadi takut menikah."
"Kok bisa begitu?"
"Ternyata menikah nggak semanis yang aku pikirkan. Dulu, waktu kamu menikah aku sempat iri," kata Naya.
Hadi tersenyum, sejenak berpikir, apakah ia juga merasakan hal yang sama seperti Naya? Dimana ia dulunya merasa bahwa menikah begitu bahagia dan manis, setelah menjalaninya manis dan bahagia itu seakan sirna terhapuskan.
Hadi ingin sekali mengulang masa-masa itu, namun ternyata ia sadar bahwa pernikahannya sudah terbilang cukup lama, jadi tak akan ada kesempatan untuk mengulang semua itu.
"Ada apa, Di?”
"Hem?"
"Kamu kenapa? Sejak tadi kamu banyak diam loh."
"Oh ... tidak, aku hanya tak menyangka saja kita bertemu di sini."
“Kita dulu temen loh, Di, dan aku banyak tahu tentang kamu, bahkan meski kamu nggak cerita, aku tahu apa yang kamu pikirkan, aku tahu kamu mungkin lagi ada masalah sama Senja, namun aku sebagai teman nggak bisa ngasih saran apa-apa,” kata Naya, membuat Hadi mendongak dan menoleh menatap Naya yang kini duduk disampingnya.
“Benar katamu, menikah memang tak semanis yang aku pikirkan, meski sudah lama aku nikah, namun kayaknya pernikahan hanya akan bahagia di awal doank, dan setelah itu semua sirna,” jawab Hadi, membuat Naya tersenyum. “Lantaran terlalu banyak hal yang aku pikirin dan beban yang kini bergantung dipundakku, aku malah sempat berencana akan menceraikan Senja, karena pernikahan kami memang sudah nggak seharmonis dulu. Susah untuk di perbaiki.”
“Jangan pernah memiliki pikiran seperti itu, Di, meski kamu sudah nggak tahan bahkan nggak bisa menanggung beban, namun kamu harus ingat bagaimana perjuanganmu dulu mendapatkan Senja, kamu juga harus ingat dia berhenti kuliah karena mengalah,” kata Naya, mencoba mengingatkan Hadi.
“Memang benar perjuanganku mendapatkan Senja nggak mudah, bahkan dulu aku sering banget mandang dari jauh, namun kami menikah terlalu cepat,” kata Hadi.
“Ya sudah. Aku udah nggak bisa ngomong apa-apa lagi, yang terpenting sekarang hanya kamu yang tahu hatimu dan hanya kamu yang bisa memutuskan apa kamu lanjut apa nggak,” kata Naya.
“Terima kasih, ya, Nay, kamu udah mau jadi temen curhatku,” kata Hadi.
“Hem. Sama-sama, kabar Leo bagaimana? Kamu masih sering kontekkan dengan Leo?”
“Masih,” jawab Hadi.
"Baiklah, Di, kapan-kapan kita akan bertemu lagi, aku tinggal di penginapan di gang sana, jika butuh teman curhat, aku juga siap, aku harus pulang, soalnya besok aku ada interview kerja,” kata Naya, beranjak dari duduknya.
"Biar aku antar, Nay, lagian kita searah juga."
"Oh ... nggak merepotkan?"
"Nggak sama sekali, Nay, aku malah senang, ketemu teman lama.”
"Hem ... baiklah."
“Kebetulan banget ya kamu tinggal di sini, dekat dengan kompleks rumahku.”
“Apakah ini yang dinamakan takdir?”
Hadi tersenyum mendengarkan.
***
Di rumah, Senja terus saja melihat jam dinding, malam sudah menunjukkan pukul 11, sedangkan Hadi belum juga kembali. Untung saja Azel sudah tidur dan dia bisa merogoh kulkas untuk mengambil makan malam yang apa adanya di dalam kulkas. Ia sudah sering menahan lapar seperti ini, karena itu berat badannya menurun drastis semenjak ia menikah.
Senja mendengkus, memang sudah patut jika kemarahan Hadi memuncak, setiap suami pasti menginginkan yang terbaik ketika pulang ke rumah, melihat istrinya terlihat cantik, wangi, bukan satu-satunya keinginan seorang suami, tapi juga berharap masakan enak dan rumah terlihat rapi.
Senja terus saja melihat jam dinding, ia akan mengalah pada suaminya, meminta maaf pada suaminya, jika sikapnya selama ini tak seperti keinginan Hadi.
Senja mencoba menikmati makanan yang sudah ia keluarkan dari kulkas, tanpa harus memanaskannya meski perutnya tak bisa di ajak kompromi, Senja merasa perutnya sudah kebal meskipun makanan yang ia masak sudah tidak enak lagi.
Suara ponselnya terdengar, membuat Senja mengangkat telpon dari Heni seorang Ibu rumah tangga yang juga tinggal di kompleks ini.
‘Assalamu’alaikum.’
‘Wa’alaikumssalam, Ja, kamu teh belum tidur?’
‘Belum, Mbak, ada apa?’
‘Sekarang lihat whatsaap kamu, aku mengirim sesuatu di sana.’
‘Baiklah, Mbak, aku akan membukanya.’
‘Aku akan menelponmu sebentar lagi.’ Heni mengakhiri telpon.
Senja membuka pesan baru whatsaapnya dan melihat gambar suaminya yang berada di depan pagar penginapan yang ada di ujung jalan kompleks, Senja menitikkan air mata, apalagi yang ada di pikirannya, semua wanita atau istri ketika melihat uami atau pasangannya berada di depan penginapan, hanya satu pikiran yang terlintas, suaminya selingkuh.
Senja melihat wajah wanita yang sedang mencium pipi suaminya, tak lain tak bukan adalah Naya, cinta pertama suaminya yang sering bersama suaminya ketika di kampus dulu.
Apalagi yang bisa di jelaskan Hadi dalam hal ini, Hadi sudah membangkitkan penyesalan yang mendalam dari dalam hati Senja, yang tidak pernah ia munculkan di depan suaminya, penyesalan menikah dan membuang cita-citanya untuk memiliki karir yang memuncak dan memilih menikah dengan laki-laki yang hanya memberikannya janji palsu.
Senja duduk di lantai, menatap wajah suaminya yang penuh dengan senyum, senyum yang sudah sangat lama di lihat Senja, senyum yang sudah tidak pernah di nampakkan suaminya dan saat ini Hadi tampakkan di depan cinta pertamanya.
Kenapa semua ini harus terjadi? Apa Tuhan menghadirkan Naya kembali dalam hidup Hadi karena ada rencana atau akan ada yang terjadi?
Penyesalan mendalam dari dalam hati Senja membuatnya memukul kepalanya begitu keras, menangis sejadi-jadinya dan memukul dadanya bergantian, sungguh sulit menerima semua ini, meski Hadi hanya bertemu atau mengantar Naya pulang, namun sikap Hadi sudah salah karena menceritakan kehidupan rumah tangganya pada Naya.
“Mana janjimu, Mas? Mana janjimu akan membahagiakanku? Kenapa kau lakukan ini padaku?” tanya Senja pada dirinya sendiri, menatap pintu rumahnya dengan tatapan yang kosong.
“Apa ini yang kau inginkan, Mas? Menghancurkan harapanku, memberikan janji palsumu, memberikan harapan bahagiaku, menghancurkan segala hidupku.” Senja memukul kepalanya berkali-kali.
***
Suara seorang wanita terdengar di telinga Hadi, membuat Hadi merinding tak karuan, kepalanya merasakan sakit ketika Leo memukul kepalanya keras. Leo memang selalu bersuara seperti seorang wanita untuk mengikutinya. Begitulah persahabatan mereka.
"Aish ... apaan sih lo?" Hadi beranjak dari tidurnya dan menendang Leo.
"Lo yang apa-apaan, lo nginep di sini?" tanya Leo, kesal.
"Emang gua nggak boleh nginep di sini?"
"Nggak boleh lah, lo ‘kan ada Senja dan Azel di rumah, ngapain lo nginep di kostsan gua?"
"Lo lebay banget sih, gua harus tidur di mana kalau bukan di sini?"
"Kenapa nggak tidur di rumah lo?"
"Gua malas berantem mulu sama Senja, mana nggak ada ujungnya."
"Makanya lo jangan nikah kalau lo nggak bisa ngertiin bini lo. Lo ‘kan yang dulu ngebet banget pengen nikah, karena lo takut kalau Senja jadi milik orang lain, lah sekarang lo sendiri yang ngehindarin Senja, ya ampun lo emang seperti seseorang yang memiliki dua kepribadian."
"Askia yang nggak ngertiin gua, tiap hari marah-marah, nggak pernah masak, nggak pernah ngurusin bekal gua lagi, pokoknya udah nggak pernah dah ngurusin gua lagi. Suami mana coba yang tahan jika di cuekin, tidak di perdulikan lagi, hanya gua kayaknya yang bertahan." Hadi mengeluh lalu menggaruk rambutnya yang berantakan.
"Lo yang harusnya ngerti, Senja itu ngurusin Azel seharian, lo mustinya ngerti bini lo atau bantuin Senja ngurusin Azel, supaya Senja tahu, lo bukan hanya bisa kerja di luar saja, tapi juga bisa ngurusin anak. Jadi istri itu nggak mudah, Bro, gua tuh ngasih saran ini ke lo karena gua nggak mau lo berakhir kayak gua," jawab Leo, menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
"Lo nggak usah ya bersikap kayak Senja," cela Hadi. “Gua lagi nggak mood banget jika harus membahas tentang dia terus menerus. Gua kemari karena pengen hidup bebas sekali-kali.”
“Kalau lo mau hidup bebas, kan gampang, kenapa lo ngebet nikah dulu?”
“Ya gua nggak tahu nikah itu ternyata seperti ini.”
“Lo emang nggak pernah bersyukur jadi orang, lo nganggap hati itu kayak mainan, dan lo lupa cowok kayak kita ini nggak maen, Bro, jadi sadar sebelum lo nyesel.”
“Udah deh, Leo, lo ini kayak bukan temen.”
"Kalau lo nggak ngerubah sifat lo itu, lo akan kehilangan segalanya, lo mustinya ngambil contoh dari gua, gua cerai karena gua kayak lo, berantem dan nggak berujung, sekarang ini yang ada hanya penyesalan, Bro, nggak bisa balik gua sama Cia. Bahkan Cia mendapatkan lelaki yang lebih baik dari gua, bukankah itu menyakitkan? Sebelum lo kayak nasib gua, mending jaga baik-baik binik lo."
"Lo aja yang lebay karena lo nggak populer," kekeh Hadi, membuat Leo menendangnya.
"Apaan sih lo, singkirin kaos kaki lo yang busuk itu dari kaki gua," pintah Hadi.