BAB – 6
Sumi meminta turun di dekat warung yang agak jauh dari rumahnya. Dia tak ingin Bapak melihat Zaki. Sumi khawatir kalau Bapak akan berbuat hal yang menyakitkan hati. Waktu sudah hampir maghrib ketika mereka tiba. Sumi menyodorkan helm yang dipakainya, Zaki menerimanya. Tatapan matanya begitu tajam dari balik helm, seolah menyiratkan sesuatu yang tak mampu dia ungkapkan.
“Makasih, ya, Zak! Besok aku naik ojek saja! Kamu gak usah jemput!” tukas Sumi. Tak enak harus selalu merepotkan Zaki.
“Hmmm! Lihat besok, deh! ” Hanya itu yang terdengar. Lelaki itu pergi dengan menderukan sepeda motornya.
Sumi berjalan menuju rumah. Dia mampir sebentar membeli kerupuk untuk tambahan lauk makan, biasanya gak ada apa-apa. Uang belanja Ibu pun, sebagian sudah diberikan padanya untuk naik ojek dan bekal tiap hari.
Ya, mau gimana lagi, namanya juga baru masuk kerja dan belum mendapatkan gaji. Sementara itu, di sana tak dikasih makan, semua harus beli. Hanya air minum saja yang gratis. Untuk pulang pergi pun harus naik ojek sampai tempat jemputan, baru ikut jemputan. Kondisi yang serba susah, tetapi tak serta merta membuat Sumi menyerah.
“Assalamu’alaikum!” Sumi mengucap salam seraya melepas sepatu kets berwarna putih. Sepatu satu-satunya yang harus cuci, kering, pakai, kadang dia panaskan di atas kompor agar cepat kering. Untung tak terbakar pun.
“Wa’alaikumsalam!” Ibu membukakan pintu. Dia tersenyum menyambut kedatangan Sumi. Perempuan paruh baya itu selalu menunjukkan perhatian yang tulus pada semua anak-anaknya.
Sumi mencium punggung tangannya. Lalu berjalan ke kamar untuk menyimpan tas kecil berisi handuk kecil dan juga botol minum dan topi.
Setelah menyimpan semua barang-barang itu, dia bergegas mandi lalu menunaikan Salat maghrib. Setelah itu, Sumi beranjak ke dapur untuk mengambil nasi dan sayuran yang sudah dimasak Ibu.
“Sum, gimana kerjanya?” Ibu yang baru saja menyimpan piring plastik bekas menyuapi Asril makan bertanya.
“Alhamdulilah lancar, Bu!” tukas Sumi.
Dia tak hendak menceritakan jika ada kejadian tak menyenangkan yang terjadi. Dia sudah terlalu banyak membuat Ibu susah dan membebani pikirannya. Apalagi sekarang Intan gak pulang-pulang ke rumah.
“Ya sudah, makan! Terus kamu istirahat, besok ‘kan harus berangkat pagi-pagi juga!” tukas Ibu. Dia pun berlalu meninggalkanku yang menyuap sendirian. Duduk di kursi rotan dan menghadap meja kayu yang warnanya sudah tak cerah lagi.
Derit pintu samping terdengar seiring daunnya yang terbuka. Tampak menyembul wajah Bapak. Dia menenteng berkat, sepertinya dia habis ikut acara syukuran di rumah tetangga.
Dia berjalan melewati Sumi begitu saja. Tak menyapa, tak berkata apapun seolah tak ada orang. Dia menyimpan satu bungkus ke dalam rak. Sudut mata Sumi menangkap jika Bapak memisahkan lauknya dan mengambil nasi tambahan. Sumi diam, tak berkata apapun.
“Bapak, udah pulang?” Ibu yang membawa Asril tergesa ke kamar mandi menoleh pada Bapak. Tampak wajah Asril penuh dengan lipstick. Ibu membersihkan wajahnya di kamar mandi.
“Iya, Bu! Tapi Bapak mau pergi lagi bentar!” tukasnya.
“Ke mana, Pak?” Ibu bertanya sambil membiarkan Asril berjalan ke arah Sumi dan ikut duduk di kursi di samping Sumi. Dia melihat piring Sumi yang hanya ada ikan asin, sambal dan kerupuk yang tadi dibelinya.
“Nganterin makanan ke Intan! Takutnya di sana dia gak makan kenyang! Ini tadi ada ayam dan lauk dari berkat, dia suka banget biasanya!” tukasnya.
“Oh ya sudah! Hati-hati, Pak! Tapi itu ayamnya jangan dibawa semua, Pak! Sumi juga makan gak ada lauk! Mana dia capek pulang kerja!” tukas Ibu ketika Bapak memasukkan dua potong ayam ke plastik yang akan dibawanya untuk Intan.
“Si Sumi ‘kan sudah kerja, Bu! Harusnya dia yang belikan kita makanan enak! Sudah kerja kok malah ngerepotin, nambahin biaya ongkos, eh makan juga masih dari kita!” ucap Bapak, sinis seperti biasa.
Sumi yang tengah menyuap mendadak merasakan nasi yang tadinya nikmat, menjadi pahit. Tak nyaman dengan sindiran yang terang-terangan pada dirinya.
“Bapak, ini! Sudah cepetan anterin ke Intan tuh makanannya nanti keburu basi!” Ibu tak lagi hendak memperpanjang perdebatan. Dia khawatir hati Sumi terluka lebih dalam.
“Kerja kok masih minta duit, malah ngabisin duit juga buat ongkos! Dasar gak anak gak becus!” gerutu Bapak pelan, tetapi terdengar jelas di telinga Sumi.
Sumi meraih air bening dalam gelas, lalu meneguknya. Nasi di piring masih sisa setengah, tak lagi ada selera. Dikecupnya pucuk kepala Asril yang sedang asik mengemut permen dan duduk di sampingnya.
“Teteh bobok duluan ya, Dek!” tukas Sumi sambil berdiri. Lalu membuka pintu samping dan membuang nasi sisa ke dalam tempat pakan ayam kampung peliharaan Ibu.
Sumi sengaja sedikit berlama-lama untuk menetralkan bulir bening yang meleleh tak kompromi. Ah, memang hatinya terlalu cengeng. Nangis lagi dan nangis lagi setiap kali mendengar perkataan Bapak.
“Sum! Sumi!” Ibu yang khawatir karena putri sulungnya tak kunjung masuk lagi memanggil.
“Ya, Bu! Apa?”
Sumi menyeka air mata lalu bergegas masuk ke dalam dan mencuci piring bekas makan.
“Kirain ke mana? Ya sudah, Ibu mau ngelonin Asril dulu, ya!” tukasnya sambil menggendong si bungsu yang masih asik mengemut permen. Sumi hanya mengangguk pelan.
***
Esok hari akhirnya tiba. Rutinintas yang monoton itu dijalani Sumiati dengan suka cita. Sepeda motor Zaki sudah menunggunya di depan rumah ketika dirinya baru saja mengisi botol air minum yang akan dibawanya. Meskipun sudah dibilang gak usah, begitulah Zaki yang semaunya. Dia tetap datang dan sudah menunggu dengan wajah tengilnya.
Hari ini Sumi membawa bekal nasi, agar hanya tinggal beli lauknya jadi bisa menghemat ongkos yang masih dimintanya dari Ibu. Tak enak karena Bapak selalu saja mengungkitnya. Ya, namanya orang baru kerja mana bisa langsung mendapatkan gaji, lagipula dia masih training pun yang entah lolos atau tidak.
Sumi meraih tangan Ibu dan Bapak untuk berpamitan. Kebiasaan itu tak pernah dia tinggalkan setiap kali mau keluar rumah. Baginya keridhoan orang tua adalah yang utama. Meskipun biasanya ekspresi Bapak hanya datar-datar saja.
“Hati-hati, ya, Sum!” tukas Ibu.
Sumi mengangguk. Namun Bapak tak berbicara sedikitpun. Dia tampak sedang fokus pada gawainya.
Sumi melangkah saja, tak lagi berharap banyak dari Bapak. Tak mendapatkan sindiran ataupun perkataan kasar pun sudah sangat beruntung untuknya. Namun samar dia mendengar ucapan Bapak yang terdengar sangat bahagia.
“Bu, ini Intan bilang! Dia sudah dapat pacar baru, anak orang kaya! Memang si Intan ini sangat berbakti, beda ama yang satunya yang ngabisin mulu duit orang tua!” tukasnya. Tak menyebut nama Sumi secara langsung memang, tetapi tetap saja menusuk hati Sumi yang baru saja hendak naik ke sepeda motor Zaki.
“Ehm, ayo cepetan!” tukas Zaki seraya menyalakan sepeda motornya. Hari ini dia sekalian berangkat kerja juga. Sumi menerima helm seperti biasa, lalu melajukan sepeda motornya. Tak lagi komplen apapun padanya, nanti habis gajian hanya tinggal ngitung uang bensinnya saja.
“Kamu gak apa-apa 'kan?” Zaki bertanya seraya melajukan pelan sepeda motornya.
“Emangnya kenapa?” Sumi berpura-pura tak mengerti arah pembicaraannya.
“Hmmm … kalau butuh sandaran, aku bisa pinjemin kok bahu ini!” tukasnya terdengar tulus.
“Gak usah, aku lagi naik motor! Susah nyandarnya!” tukas Sumi menjawab asal. Zaki terkekeh, lalu meminta Sumi berpegangan dan dia melajukan sepeda motornya dengan kencang.
***
“Hari ini, beberapa kedi training yang kelihatan sudah lumayan menguasai lapang, sudah boleh belajar bawa pemain ke lapangan! Yang disebutkan namanya silakan ke kedi master untuk mengambil sandbag, seragam dan bag cover.”
Stevani berdiri di depan sekitar dua puluh orang kedi training itu lalu menyebutkan nama-nama. Ada sekitar lima belas orang yang dipanggil dan menyisakkan lima orang yang masih ada di ruangan itu.
“Yang saya tidak sebutkan berarti belum layak! Kalian silakan jaga OOB saja! Suvia dan Rita jaga OOB di lapangan teratai hole satu. Sumiati dan Tina jaga OOB di lapangan lili hole satu. Ariana jaga OOB di lapangan mawar hole dua!” tukas Stevani.
Kelima kedi training itu pasrah, termasuk Sumiati. Padahal sudah berharap bisa membawa pemain agar bisa mendapatkan uang tips tambahan. Setidaknya bisa untuk ongkos dan biaya beli makan siang. Namun apa mau di kata, penilaian ada pada kedi master.
Mereka mengambil topi dan membawa botol minum menuju lapangan. Keempat temannya sudah berpencar, hanya saja Sumiati tertinggal saputangan kecil untuk lap keringatnya. Dia kembali, berjalan melewati kedi master. Namun suara seseorang membuatnya menoleh.
“Sumi san? Tadi Stevani san bicara jika Sumi san tak masuk sebab sakit?” Jepang bermata sipit itu menatapnya.
“Saya masuk, Mister!” tukas Sumi sambil mengangguk. Hatinya kembali was-was mengingat kemarin sempat ada masalah. Hiraka Yamada berjalan cepat dengan wajah tampak kesal menuju kedi master. Tak berapa lama, Stevani datang dan memanggil Sumi.
“Ambil seragam sekarang! Mister Yamada minta kamu yang bawakan bag-nya!” tukasnya. Sumi terdiam sejenak, bukannya tadi katanya dia belum layak? Kenapa sekarang sudah diperbolehkan bawa pemain?