Bab 14 Pesan Rahasia

1313 Words
Yana semakin emosional mendengar ancaman mantan suaminya. Seraya menggeretakkan gigi, dia berkata dengan nada lemah, "Terserah, aku tidak peduli. Kalau kamu tidak percaya, itu urusanmu." Dia lalu meletakkan piring buah di atas meja dan mencoba untuk berbaring, menghindari tatapan matanya yang sangat dingin. Namun, gerakannya tidak bertenaga, membuat kening Kafka berkerut dengan kesal. "Jangan bergerak sembarangan!" serunya galak, berdiri cepat dari duduknya untuk membantu mantan istrinya berbaring dengan nyaman. Yana menepis tangannya dengan kasar, membuat Kafka semakin jengkel. "Oh, jadi kamu tidak suka sentuhanku, tapi suka dengan sentuhan pria lain? Katakan, sudah berapa uang yang kamu dapatkan dengan tidur bersama pria kotor di klub malam itu?" Yana hanya melotot, tidak membalas hinaan darinya. Memangnya, jika dia menyangkal, apakah Kafka akan mempercayainya? Tidak! Di matanya, dia yang sudah bekerja di klub malam tidak ada bedanya dengan kotoran. Tidak ingin merasa stres dengan tingkah laku mantan suaminya, Yana menarik selimut menutupi kepalanya. "Yana Jazada, beraninya kamu mengabaikanku?" bentak Kafka tidak terima. “Jika kamu sudah tidak sabar ingin melihatku mati, bunuh saja aku sekarang. Aku tidak memiliki tenaga sama sekali. Sekarang adalah kesempatanmu untuk melakukannya." Yana yang tidak bisa melihat ekspresi pria itu hanya bisa cemberut di balik selimut yang menutupi kepalanya. Hatinya sakit. Bagaimana bisa dia diperlakukan seperti ini oleh orang yang disukainya? Dulu, saat mereka bersama, Kafka sama sekali tidak memiliki perasaan kepadanya, maka perlakuan kasarnya yang sangat buruk tentu saja tidak akan terlalu memengaruhinya. Namun tidak dengan Yana. Dia diam-diam mencintai Kafka selama ini, menanggung banyak beban batin sendirian dan kadang melampiskannya dengan cara yang sangat buruk. Dia ingin hidup normal di luar sana sebagai pasangan, tetapi tidak bisa melakukannya. Dia yang mungkin akan kehilangan nyawanya karena penyakit kanker sewaktu-waktu, akhirnya selalu merasa frustasi dan tidak bersemangat sehingga hanya bisa bersikap labil dan semakin kejam. Kafka tidak mengerti perasaan yang dialaminya. Sehingga Kafka tidak akan mengetahui betapa sakitnya dia diperlakukan buruk oleh pria yang sangat diinginkannya di dunia ini. Bagi Yana, Kafka hanya akan menjadi impian kosong yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Yang Kafka inginkan hanyalah balas dendam hingga Yana merasa lebih buruk daripada kematian. “Apakah kamu akan melawanku seperti ini?” tanya kata dingin Yana tidak membalasnya. Dia diam saja seperti batu. Melihat sikap mantan istrinya yang sangat tertutup, Kafka mengepalkan kedua tangannya erat-erat hingga kuku-kukunya menyakiti kulitnya. Wajahnya muram dan gelap. Dengan perasaan tidak rela, dia menghempaskan tubuhnya duduk kembali ke kursi. "Membunuhmu terlalu mudah. Kamu belum merasakan apa yang aku alami selama tiga tahun pernikahan kita." Yana masih saja diam. Dia mengutuk dirinya dalam hati. Perbuatannya memang sangat buruk, dan semakin buruk ketika dia divonis menderita penyakit kanker. Selama dia menjalani perawatan untuk menyembuhkan penyakitnya, mental Yana sangat terganggu sehingga juga membutuhkan konseling secara rahasia. Semua orang mengenal kalau Yana adalah pribadi yang keras dan sombong. Jika kabar mengenai kesehatannya beredar luas, tentu saja banyak orang yang akan memanfaatkan kelemahannya untuk menjatuhkannya. Sekarang ketakutan terbesarnya adalah kalau Kafka sampai mengetahuinya. Entah bagaimana dia akan memanfaatkan penyakitnya untuk balas dendam. Bahkan keluarganya sendiri tidak tahu tentang penyakitnya. Dia selalu merasa sendirian dan kesepian selama dia melalui hari-hari terburuknya. Dia tahu itu bukan alasan untuk menyakiti orang lain. Tapi dia tidak bisa menghentikan dirinya sendiri. Yana tidak dewasa waktu itu. Ada banyak hal yang mengusiknya hingga tindakannya terlalu kejam di masa lalu. Menyesal pun tampak tidak ada gunanya sama sekali. Perbuatannya kepada Kafka selama pernikahan mereka sangat dikutuk oleh para netizen. Memikirkan masa lalunya yang penuh dengan noda hitam, Yana mencoba menutup mata, ingin masuk ke alam mimpi setidaknya, agar tidak merasakan sakit lebih jauh.. *** Keesokan harinya, dua pria berbaju hitam terlihat sedang berjaga di depan pintu kamar VIP Yana. Kafka memperlakukannya seolah dia adalah tahanan yang tidak boleh melarikan diri. “Sepertinya Tuan Bimantara sangat memperhatikan Anda, Nona,” ucap perawat yang sibuk mengganti cairan infus. Yana hanya diam, tidak mengomentari kalimat itu sama sekali, karena dia tahu kenyataannya. Kafka sangat membencinya. Dia bukannya mengkhawatirkan keselamatannya, melainkan takut kalau dia akan kabur dan tidak bisa membalaskan dendamnya. Kemarin, Kafka mendapatkan penjelasan dokter lebih lanjut mengenai kondisi Yana dan menyuruhnya agar memberinya perawatan terbaik. Tapi, tidak lama setelah itu, sebuah telepon masuk ke ponselnya. Raut wajahnya yang langsung berubah drastis bisa ditangkap dengan mudah oleh Yana. Siapa lagi yang bisa membuatnya seperti itu kalau bukan Mala Nazram? Dia selalu sangat lembut ketika pujaan hatinya menelponnya. Bahkan, mungkin lebih lembut ketika dia berpura-pura sebagai suami yang penurut di masa lalu. Jadi, bagaimana bisa dia menyukainya? Hanya orang buta yang tidak bisa melihat perbedaan sikap Kafka antara dirinya dan Mala. “Nona, bagaimana perasaan Anda sekarang?” kata perawat lagi. “Sudah lebih baik. Terima kasih,” jawab Yana dengan datar. “Baiklah, jika Anda butuh sesuatu, silakan pencet belnya. Kalau Anda sangat patuh dengan perawatan ini, maka dalam waktu dua minggu Anda sudah boleh keluar rumah sakit.” Yana merasa canggung saat mendengar keramahannya. Pelayanan rumah sakit ini memang sangat bagus, tetapi memikirkan biaya ganti rugi kepada mantan suami yang membencinya, entah kenapa, dia lebih memilih tidur di jalanan saja. Setelah selesai mengucapkan terima kasih, Yana akhirnya sendirian di kamar itu. Dia berbaring dengan tatapan melamun ke arah jendela dari lantai ke langit-langit. Pikirannya nyaris kosong. Ponselnya tidak ada bersamanya. Dia sudah mencoba meminta bantuan kepada perawat, tetapi Kafka sudah lebih dulu mencegah siapapun untuk memberinya alat komunikasi. Dia merasa terjebak dalam penjara besi yang sangat dingin. Selama seminggu, Yana tidak mendapatkan kunjungan lagi dari mantan suaminya. Hari-harinya berjalan dengan sangat tenang. Walaupun begitu, dia merasa tidak enak hati dengan fasilitas mewah yang diberikan kepadanya. Namun, karena dia tetap harus membayarnya, dia memutuskan untuk menikmati semua hal di sekitarnya. Jika dia tidak segera sembuh, maka dia tidak akan bisa membayar hutangnya kepada Kafka, bukan? “Makannya pelan-pelan saja, Nona,” kata perawat yang membawakan makanan sambil mengawasinya makan. Yana mengangguk cepat. Sekarang dia sudah bisa makan lebih baik. Tekstur makanan yang berada di mulutnya terasa sangat enak. Sementara Yana menikmati makanannya, diam-diam, perawat itu memberikan sebuah kertas kepadanya. “Ini dari dokter Wilsob. Jika Anda sudah membacanya, tolong segera buang. Jangan sampai ada yang melihatnya,” ujarnya dengan nada berbisik. Wilson? Maksudnya, Ryan Wilson? Dengan hati berdebar kencang, Yana meraih kertas kecil itu dan menyisipkannya di balik selimut. Dia mengangguk mengerti, lalu kembali melanjutkan makanannya sambil melirik ke arah pintu kamar. “Kalau begitu, saya keluar dulu. Nona Jazada, silakan beristirahat dengan baik,” kata perawat sambil tersenyum lebar. Lalu, dia keluar ruangan, membiarkan Yana membaca kertas kecil yang baru saja diberikan kepadanya. Ryan: Yana. Aku sudah mendengar kalau kamu sengaja menyembunyikan penyakit kanker yang sudah kamu derita selama ini. Jika kamu tidak keberatan, aku ingin membantumu. Dokter yang merawatmu berkata kalau kamu harus menjalani kemoterapi dalam beberapa minggu ke depan. Apakah kamu tidak ingin memberitahu mantan suamimu? Mungkin saja dia bisa melunakkan hatinya dan memberimu bantuan. Bagaimanapun, kamu tetaplah mantan istrinya yang pernah tidur di kamar yang sama dengannya.” Yana mendengus geli membaca pesan itu. Melunakkan hatinya? Kafka? Dia tidak akan pernah merasa kasihan padanya. Kalau memang benar seperti dugaan Ryan, dia tidak akan menyuruhnya minum satu botol besar minuman beralkohol di hadapan semua kenalannya dan menyeretnya dengan kasar ke ruangan VIP untuk dimainkan oleh pria lain. Apakah Ryan sedang mengejeknya, ataukah dia masih belum bisa memahami tindakan Kafka yang kejam? Yana meremas kertasnya, segera membuangnya ke tempat sampah. Kafka tidak akan merasa kasihan kepadanya Segala kebaikan yang diberikan kepadanya saat ini semata-mata hanya karena dia tidak ingin membuatnya mati dengan mudah. Kafka tidak mencintainya, makanya tidak ada rasa kasih sayang di hati pria itu untuknya. Secara logika, orang normal mana yang mau memaafkan perbuatan seseorang yang sudah menyiksanya selama tiga tahun dengan cara yang sangat buruk? Tidak hanya menyiksanya secara verbal tetapi juga secara fisik. Kekejaman Yana selama pernikahan mereka tidak hanya diketahui oleh para pengurus mansion tetapi juga oleh seluruh lingkungan. Saat itu, Kafka selalu mendapat cemoohan dari banyak orang setiap kali berada di luar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD