Bab 36 Memintanya Rujuk

1122 Words
"Arini sudah memberitahuku semuanya dan juga telah melihat videonya," lanjut Yana sedih. Hening sejenak sebelum akhirnya Yana kembali bicara "Ibu…. kenapa Ibu melakukan hal seperti itu? Kalau Kafka mempermalukan dan meninggalkan Ibu tanpa memberikan bantuan, apa Ibu bisa menanggung rasa malu yang akan ibu terima?" Yana mencoba untuk mengatakannya secara lembut dan tenang, tetapi seluruh tubuhnya mengkhianatinya. Dia gemetar karena kemarahan dan keningnya berkerut. Walaupun dia sedih dan merasa kasihan melihat penampilan kuyu ibunya, tetapi amarah masih menghiasi hatinya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka kalau ibunya, yang sangat bermartabat dan tidak pernah melakukan pekerjaan kasar, tiba-tiba saja harus berlutut dengan begitu rendah di perusahaan mantan suaminya. Entah sudah seberapa jauh video itu viral. Yana hanya tidak bisa membayangkan sekuat apa mental ibunya menghadapi cemoohan dan pandangan rendah dari semua orang. Dia sudah pernah melalui hal serupa ketika video perbuatan buruknya menyebar seperti api yang menghanguskan semuanya. Bahkan, saat itu, Yana merasa hampir menjadi gila. Untungnya, masih ada beberapa orang yang mendukung dan mempercayainya. Tera langsung menegurnya dengan marah. "Kakak, jangan membentak Ibu seperti itu! Apakah kakak tahu seperti apa perjuangan kami semua setelah kakak meninggalkan kami berminggu-minggu?" Yana terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Dia ingin menjelaskan, tetapi sepertinya kata-kata tidak akan berguna di saat seperti ini. Pada akhirnya, kalaupun dia memberikan alasan yang masuk akal dan berkata jujur, mereka semua hanya akan menyalahkannya. Tiba-tiba, pria di ranjang pasien membuka mata dan dengan gerakan pelan menyentuh tangan Yana yang berada di sisinya. "Yana, akhirnya kamu muncul juga. Apakah kamu baik-baik saja?" tanyanya lemah. Yana melihat kakaknya, perlahan melembut dan kemarahannya menghilang. Dia meraih kursi kosong di sebelahnya, lalu duduk dengan tenang. Tangan kakaknya diraihnya dan digenggam erat. "Kakak, apakah kamu baik-baik saja?” “Kenapa kamu malah bertanya balik?” “Apakah kakak mengkhawatirkan aku lagi?” “Aku dengar kalau pria berengsek itu yang telah menolong kita semua. Aku tidak ingin percaya, tetapi video rekaman Ibu yang memohon di perusahaannya sudah menyebar ke mana-mana," kata Arzaka sedih. Dalam hati Yana bergumam dengan perasaan tidak nyaman. "Jangan-jangan, kakak jatuh sakit karena mengetahui perbuatan Ibu?" "Jangan khawatir. Sebaiknya kakak pulihkan tubuh dulu. Masalah lainnya, kita bicarakan nanti.” Ibu Yana, Dinda Sabraja hanya menatap mereka dalam diam. Matanya tampak bersalah, dan kedua bola matanya berkaca-kaca seakan hendak menangis. Setelah keluarga Jazada hancur dan Yana bercerai dari Kafka, mereka sebenarnya telah bersumpah dan berjanji tidak akan berhubungan apa pun lagi dengan pria penuh dendam tersebut. Namun, ketika keluarga Jazada dijauhi oleh semua orang, tidak ada yang mau mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan. Semua teman dan kenalan lama keluarga Jazada menganggap mereka seperti orang asing. Maka dari itu, satu-satunya pikiran yang ada di benak ibu Yana hanyalah meminta bantuan mantan menantunya tersebut. Untuk menghibur ibunya, Yana mengajaknya makan di kantin rumah sakit, sementara Tera tetap berjaga di sisi ranjang pasien. Kedua wanita beda generasi itu duduk saling berhadapan. Tidak ada yang membuka suara, mereka hanya menatap mi instan yang sedang dipanaskan di depan mereka berdua. Yana hanya diam, hatinya penuh kesedihan yang tak terungkapkan. Setelah beberapa saat, ibunya terlihat gelisah dan tampak semakin bersalah daripada sebelumnya. “Aku tahu, apa yang kulakukan sangat memalukan. Meminta bantuan kepada Kafka hanya akan menghancurkan harga dirimu. Ibu tidak akan membela diri. Ibu tahu kalau ibu salah, tapi tolong pikirkan situasi sulit ibu saat itu titik tidak ada yang bisa membantu kita sementara kamu menghilang tanpa jejak. Ibu harap kamu tidak membenci Ibu, Yana.” Yana terdiam selama beberapa menit, menatap mi yang masih tidak disentuh di atas meja. “Bu, aku tidak memikirkan harga diri lagi. Sejak video kesalahanku terungkap dan aku bekerja di klub malam, semuanya sudah tidak ada artinya sama sekali. Aku hanya khawatir dengan mental Ibu sendiri. Bukankah video itu telah menyebar dan dikomentari oleh banyak orang?" Ibunya buru-buru tersenyum lebar, pura-pura terlihat baik-baik saja. "Kamu bicara apa? Mendapatkan bantuan 100 miliar dari mantan menantu yang sudah kita tindas begitu buruk adalah sebuah anugerah. Tidak apa-apa mendapat sedikit hinaan dan cemoohan dari orang lain. Seiring waktu berlalu, mereka pasti akan melupakan segalanya. Lihatlah dirimu! Bukankah kamu juga pernah melaluinya? Kenapa Ibu tidak bisa melakukannya?" Yana menarik napas berat. "Bu, Ibu berbeda denganku. Ibu tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga sepanjang waktu. Sedangkan aku, walaupun tidak berbakat dan sehebat pebisnis lain, setidaknya sudah terbiasa berhubungan dengan banyak orang. Lain kali, jangan lakukan ini lagi. Kafka bukan orang baik seperti yang Ibu kira. Dia melakukannya semata-mata karena memiliki niat lain." "Apakah kamu sudah bertemu dengannya?" tanya ibunya dengan nada cemas. Yana menarik napas dan tersenyum sinis. "Jangan bilang kalau setelah ‘menjualku’ kepada mantan suami yang pendendam itu, Ibu mulai menyesalinya?” “Apa dia memukulmu?" Ibu Yana langsung memeriksa tubuhnya dengan tatapan penasaran, mencoba memastikan tidak ada bekas memar di mana pun. Yana menggeleng lesu. "Tidak, dia tidak melakukan apa pun. Dia hanya berkata bahwa aku harus membayar hutang kita dengan cara lain." Yana jelas berbohong. Mana mungkin dia mengatakan sejujurnya kepada ibunya sendiri kalau mantan suaminya, yang sama sekali tidak mencintainya dan sangat membencinya, hampir saja menodainya? Sungguh penghinaan yang luar biasa dari pria yang pernah ditindasnya dengan kejam olehnya! "Apa maksudmu, Yana? Mungkinkah dia tertarik kepadamu? Bagaimana kalau kamu rujuk saja dengannya? Hidup kita bisa kembali seperti dulu lagi, selama kita meminta maaf san bersikap patuh kepadanya. Kalau belum mencobanya, bagaimana kita bisa mengetahui hasilnya, bukan?” Yana menggeram mendengar perkataan konyol itu. "Bu, jangan macam-macam! Tertarik apanya? Apa Ibu tidak tahu kalau dia sudah memiliki kekasih? Mereka akan menikah sebentar lagi! Jangan berkhayal terlalu tinggi!" Ibu Yana tampak terkejut dan wajahnya berubah suram. Dia akhirnya terdiam lebih lama. Rasa kecewa jelas tergambar di wajahnya. Yana mendesah, merasa kesal. Dia tidak menyangka ibunya berharap dirinya dan Kafka bisa bersatu kembali. Bagi Yana, itu sangat mustahil. Setelah semua yang terjadi selama pernikahan mereka, siapa yang tidak akan menyimpan dendam dan kebencian begitu dalam? "Kamu pasti lapar, bukan? Makanlah. Jangan sampai kekurangan tenaga. Kamu sudah bekerja keras untuk kita semua selama ini. Gizimu harus dijaga dengan baik!" bujuk ibunya tiba-tiba, mencoba mencari topik pembicaraan lain. Yana hanya mengangguk dan mulai membuka mi instan kotak di depannya. "Ibu, makanlah juga. Lain kali aku akan mengajak Ibu makan yang lebih enak," katanya sambil tersenyum lemah. Dinda menggeleng pelan, lalu menundukkan wajahnya, mata mulai berkaca-kaca. "Tidak perlu, tidak perlu. Sebaiknya kita berhemat. Biaya rumah sakit kakakmu tidak sedikit." Yana menatap ibunya, ragu-ragu sebelum bertanya, "Apakah Ibu sudah menghabiskan semua uang 100 miliar itu?" Dinda tersentak kaget, lalu menatap Yana dengan wajah putus asa. “Hutang judi ayahmu sangat banyak. Kami hanya bisa menyimpan sisanya, hanya sekitar 1 miliar saja. Ibu sudah membeli beberapa barang untuk menunjang kehidupan kita untuk sementara waktu. Jadi, sekarang hanya tersisa sedikit." Yana menatap ibunya dengan prihatin. “Bagaimana ayah saat ini?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD