Bab 41 Seperti Aura Seorang Ketua Mafia

1204 Words
Di ruangan manajer Bella, suasana menjadi sangat mencekam. Atmosfernya dingin, seperti badai kutub yang telah berpindah ke sana. Yana Jazada duduk di sofa tamu dengan tubuh menciut, tidak berdaya. Keringat dinginnya mengalir deras. Dia tidak berani menaikkan pandangan dan melihat mantan suaminya, Kafka Bimantara yang sedang memeriksa isi ponselnya. "Hei, haruskah kamu melakukan itu?" tegur Bella yang datang dari lemari minuman, menuangkan segelas untuk pria dingin tersebut. Kafka mengamati layar ponselnya. Keningnya berkerut jengkel melihat daftar panggilan keluar wanita itu. Kenapa nomornya tidak ada? Bukankah Yana sempat menghubunginya beberapa waktu lalu? Matanya melirik ke sudut kanan atas ponsel wanita itu. Dia ternyata memiliki dua kartu SIM! Jengkel melihat Yana yang duduk dengan kepala terus tertunduk muram, Kafka mendesah kesal. Dia mulai mencoba semua nomor Yana, tetapi semuanya tampak asing di layar ponselnya. Sambil menghantamkan kasar kedua ponsel ke atas meja, Kafka berkata dingin kepada wanit di ruang tengah, "Kenapa nomor ponselmu berbeda? Kamu sengaja menggantinya? Begitu?" Yana meliriknya gugup. Akhirnya dia ingat, nomor yang dia gunakan sebelumnya untuk menghubungi Kafka adalah nomor Mia, salah satu pelayan di mansion Matahari. Setelah beberapa detik gugup, dia berkata pelan, "Itu... tidak. Maksudku, aku lupa menyimpan nomormu. Nomor yang aku gunakan sebelumnya adalah nomor Mia, salah satu pelayan di mansion Matahari." Kafka meninju permukaan meja di depannya hingga seluruh permukaannya menjadi bergetar. Nadi di pelipisnya mengencang. Rahangnya bahkan digertakkan kuat-kuat, seolah-olah dia sedang meninju Yana sampai hancur. Alih-alih, meja malang di depannya yang menjadi sasarannya. Yana menciut ketakutan! Dia memejamkan mata erat-erat. Mau bagaimana lagi? Dia tidak sengaja melakukannya. Dia benar-benar lupa! Yana menduga mungkin itu adalah efek samping dari penyakitnya atau mungkin dari penggunaan obat yang bermasalah akhir-akhir ini. Bella mendekati Kafka, berniat menawarinya minuman. "Jangan marah seperti itu. Ayo, bersantailah. Memangnya tidak menyimpan nomor telepon adalah masalah yang besar?" "Kamu tidak paham!” bentak Kafka dingin, mengabaikannya yang sedang menuangkan minuman. Lalu, dia kembali menatap ponsel Yana. Dia sibuk mengutak-atik isinya. Tiba-tiba saja, suars ponsel berdering keras. Wanita di sofa hanya meliriknya bingung. “Sebenarnya dia sedang apa?” batinnya tidak mengerti. Setelah sibuk dengan ponsel Yana, Kafka segera duduk berhadapan dengan wanita itu. Dengan gaya angkuh dan arogan, bersandar layaknya seorang raja tirani. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap dengan mata hitam yang dalam tanpa berkedip sama sekali. Namun, auranya yang menakutkan membuat Yana tidak bisa mengangkat kepala sama sekali. Melihat keduanya terdiam lama, Bella akhirnya menghela napas berat, melirik sekilas pada ponsel Yana yang sedang mengisi daya sambil berjalan ke sofa tamu. "Jangan marah-marah begitu. Apakah kamu tidak takut menjadi tua lebih cepat?" ujarnya dengan nada manis. Kali ini, dia tidak membawa minuman beralkohol, melainkan semangkuk permen. Dengan anggun, dia duduk di sofa tunggal, mengamati Yana setulus mungkin. “Cobalah. Permennya enak.” Yana hanya bergumam terima kasih dengan bisikan lirih sambil menganggukkan kepala pelan, tapi tidak berani mengambil satu permen pun dari dalam mangkuk. "Apakah benar kamu akan berhenti dan ingin mencari pekerjaan di luar kota?" lanjut Bella serius. Yana tidak berani menatapnya. Dari apa yang dikatakan oleh Kafka, mungkin dia sudah mencarinya ke mana-mana dan tidak sengaja bertemu dengan Anna di asrama. Sepertinya, Kafka tidak ada niat untuk melepaskannya sampai dia benar-benar menjadi debu. "Aku tidak bermaksud begitu. Tetapi karena akhir-akhir ini ada banyak masalah yang melibatkanku, aku pikir mustahil untuk bisa bertahan bekerja di sini. Anna tidak bersalah. Dia hanya ingin menolongku. Katanya, dia bisa menemukan pekerjaan di luar kota. Itu saja.” "Kenapa harus di luar kota?" tanya Bella heran. "Apakah gajinya lebih besar daripada tempat ini?" Yana menjilat bibir keringnya dengan gugup, melirik sekilas ke arah pria arogan di seberang meja. Kedua tangannya bermain gelisah di pangkuannya. "Tidak. Pekerjaan di kota ini sangat terbatas untukku. Setiap kali aku melamar pekerjaan, tidak ada yang mau menerimaku, kecuali di tempat seperti ini." Kafka mengerutkan kening dalam, menatapnya lekat-lekat. "Jadi, kamu masih menyalahkanku begitu?" tanyanya dingin. Yana membungkuk lebih dalam, segera berkata cepat dengan nada ketakutan. "Tidak. Aku tidak menyalahkanmu. Kapan aku menyalahkanmu?" Kafka mendengus dingin, membuang muka karena rasa kesal menguasai hatinya. * Beraninya dia mencari alasan kenapa dia sampai berakhir di klub malam! Kafka sangat geram! Manajer Bella mengamati keduanya, lalu mengusap dagunya sambil berkata untuk mengonfirmasi, "Apakah ada orang yang memblokirmu untuk mencari pekerjaan?" Yana melirik hati-hati pada pria di depannya. Dia tidak mengatakan apa pun, lalu kembali menunduk dengan wajah muram. Akhirnya, Bella mengerti. Dia menghela napas berat, lalu bersantai sambil menatap Kafka. "Kamu pelakunya, bukan?" Pria itu tidak menjawab, tapi wajahnya sangat murung. "Aku tidak mengerti. Sebenarnya, sampai kapan dendam di antara kalian berdua akan selesai?” Selama beberapa saat, ketiga orang itu terdiam dalam pikiran masing-masing. Lalu, keheningan itu dipecahkan oleh suara lembut dan menggoda dari manajer Bella. "Yana, aku tidak bisa memecat orang begitu saja. Terlebih lagi, dia adalah penghasil uang terbesarku saat ini. Mengenai apakah kamu akan dipecat atau tidak, aku rasa jawabannya sudah jelas, bukan? Tidak perlu memikirkannya lagi.” Kafka tiba-tiba menatapnya dengan dingin, ada ancaman nyata darinya. Manajer Bella menghela napas berat seraya mengedikkan bahunya malas. "Mau bagaimana lagi? Apa yang aku katakan itu benar. Dia adalah penghasil uang terbesar kita saat ini. Belum pernah ada yang mengalahkan rekornya.” Setelah mendengar perkataannya, Yana mengangkat pandangannya dengan wajah terkejut luar biasa, menatap bergantian antara Bella dan Kafka. Bella tiba-tiba terkekeh kecil. "Kenapa? Aku belum pernah mengatakan siapa pemilik klub malam ini? Pemiliknya adalah mantan suamimu, Kafka Bimantara." Jantung Yana seperti ditusuk duri. Sekujur tubuhnya mendingin hebat. Kafka? Pemilik klub malam ini adalah Kafka Bimantara? Bagaimana mungkin? Kenapa nasib begitu tidak berpihak kepadanya? Pria arogan dan dingin di sofa panjang meliriknya dengan tajam, membuat Yana tersentak kaget ketika mata mereka bertemu. Dengan cepat, dia menundukkan kepalanya lagi, menggenggam ujung rok dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "Aku tidak tahu. Aku sungguh tidak tahu kalau ini adalah tempat bisnismu. Jika aku tahu, aku tidak akan melamar di tempat ini,” kata Yana cepat, terdengar sangat ketakutan dan panik. Kafka hanya mendengus muram, lalu merogoh sakunya untuk meraih sekotak rokok dan mulai menyalakannya. Menyadari gerak-geriknya, Yana mengangkat pandangannya lagi. Kafka merokok? Sejak kapan? Dia menatapnya semakin bingung. Pria itu tiba-tiba menyindirnya dingin. "Kenapa? Belum pernah melihat orang merokok sebelumnya?" Yana menggeleng cepat, lalu menundukkan kepalanya untuk kesekian kalinya. Sebelumnya, dia juga melihat Bella yang sedang menawarinya minuman. Apakah karena statusnya sudah berubah, maka gaya hidup Kafka juga ikut berubah? Bukankah itu sebenarnya sudah jelas? Yana bertanya-tanya dalam hati. Dia tidak menyangka bahwa seseorang bisa berubah sangat drastis hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun. "Ingin aku ambilkan minuman?" tawar Bella dengan nada membujuk yang jelas. Kafka menghisap rokoknya dengan gaya anggun dan dingin, lalu meniupkan asap cincin di udara. Matanya yang sedingin es melirik sinis ke arah Yana yang tampaknya sudah hampir menyembahnya di lantai karena terlalu membungkuk. "Apakah kamu akan terus membungkuk seperti itu? Berpura-pura lemah? Jadi semua orang bisa menilaiku sebagai pria jahat yang tidak berperasaan?" Yana membeku mendengar perkataannya yang penuh dengan cemoohan. Dengan cepat, dia menegakkan punggungnya, wajahnya menjadi kaku. Wanita itu tersentak kaget melihat aura mantan suaminya yang begitu dingin, gelap, dan berbahaya. Entah kenapa, Yana memiliki ilusi bahwa kharisma Kafka mirip seperti seorang ketua mafia yang pernah ditontonnya di sebuah film. Apakah itu hanya perasaannya saja? Yana mengerjapkan matanya bodoh. Dia benar-benar tidak mengenali pria di depannya itu.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD