Bab 22 Aku Beli Kamu

1568 Words
Wanita pendamping di sebelah Kafka tampak terkejut. Dia menatap heran pria tampan di dekatnya. "Jadi, Tuan Bimantara sudah memiliki kekasih dan sedang hamil? Aduh, sayang sekali. Tuan Bimantara, saya merasa patah hati mendengarnya. Tapi, selamat! Semoga anak kalian kelak menjadi anak yang berbakti." Kafka hanya diam, menunggu reaksi dari wanita di depannya, menatap lebih dingin ke arah Yana. Tiba-tiba, Sukardi Galih ikut mengomentarinya dengan nada main-main. "Yana Jazada, ucapkan selamat kepada Tuan Bimantara. Sepertinya, malam ini yang lebih membutuhkan hiburan adalah dia, bukan aku. Lakukan yang terbaik untuk menghiburnya. Dia baru saja bertengkar dengan kekasihnya. Jadi, mungkin dia sedikit cemberut dan tidak menyenangkan." Yana menunjukkan senyum bingung. “Kafka dan Mala Nasram bertengkar?” pikirnya penasaran. Bukankah sejak awal hubungan mereka sangat menarik perhatian semua orang? Gosip tentang mereka berdua beredar panas di internet, seolah-olah mereka adalah simbol baru dari cinta sejati. Bahkan tidak lama lagi, Kafka akan menjadi seorang ayah. Lalu, mengapa mereka bertengkar? “Apakah Mala Nasram yang jauh lebih muda dan bersemangat, terlalu sulit diimbangi oleh Kafka?” pikir Yana lagi di dalam hati, merasa sedikit terkejut. Mungkin, sebagai wanita muda yang meledak-ledak oleh masa muda, Mala Nasram menuntut lebih dari yang bisa diberikan oleh Kafka. Dengan reputasi dan status Kafka saat ini, bisa saja Mala Nasram merasa sangat cemburu. Semua wanita di lingkungan mereka tergila-gila dan menginginkan Kafka sebagai pasangannya. Apakah dia tidak percaya diri dan mulai membuat keributan? Yana membayangkan bagaimana Mala harus bersaing dengan banyak wanita yang mendambakan perhatian Kafka. Seberapa kuat rasa percaya diri Mala ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa Kafka yang sebentar lagi akan menjadi ayah dari anak-anaknya, selalu mendapatkan godaan dari wanita yang lebih cantik dan berkemampuan dibandingkan dirinya? Bagi para pria kaya seperti Kafka Bimantara, dia tidak akan pernah kehabisan wanita di sekitarnya. Akan selalu ada daun muda yang bisa menyenangkan dan memuaskannya sepanjang waktu. Tiba-tiba saja, Yana merasa kasihan kepada Mala Nasram. Walaupun saat ini Kafka tergila-gila kepadanya, tapi godaan di sekitar Kafka pasti selalu meningkat. Pria yang telah memiliki banyak harta dan kekuasaan biasanya cenderung dengan mudah berganti wanita ketika dia sudah merasa bosan. Rasa cemburu dan ketidakpastian bisa memicu masalah di antara mereka. Yana merasakan kedua tangannya dingin dan mulai berkeringat. Terserah pasangan itu ingin bertengkar seperti apa, tetapi dia tidak ingin terseret di antara mereka berdua. Kalau sampai Kafka menjadikannya sebagai pelampiasan, maka Yana yakin, hidupnya benar-benar tidak akan pernah tenang sampai dia masuk ke dalam liang lahat. Yana tersenyum lebar, berusaha terlihat profesional di hadapan pria berpakaian serba hitam yang duduk di tengah sofa. "Tuan Bimantara, selamat. Semoga kehamilan kekasih Anda selalu sehat dan melahirkan anak yang menggemaskan. Saya berdoa Anda dan kekasih Anda bahagia selamanya." Kafka tiba-tiba tertawa, tawanya begitu dingin dan menyeramkan hingga membuat suasana di ruangan itu menjadi mencekam. Yana merasa jantungnya nyaris berhenti berdetak. “Apakah kata-kataku salah?” pikirnya heran. Kafka menatap Yana dengan pandangan dingin yang menakutkan. "Kamu berharap aku bahagia selamanya? Bersamanya? Benarkah? Apakah itu yang kamu inginkan?" tanya Kafka dengan nada sarkastis, dingin, dan sangat menyindir. Yana menelan ludah, merasakan kegugupan yang semakin menekan. Meski tidak tahu apa maksud Kafka, dia sadar bahwa dia tidak boleh membuat pria itu marah. Dengan hati-hati, dia menjawab, "Tuan Bimantara, semua orang berharap Anda bahagia bersama cinta sejati Anda. Tentu saja saya juga berharap Anda menemukan kebahagiaan dan kedamaian di masa depan." Kafka menyipit dingin dengan penuh kebencian, "Oh, benar begitu? Cinta sejati? Menurutmu seperti apa cinta sejati itu? Apakah seperti seorang wanita yang menikahi pria lain tanpa cinta dan diam-diam menunggu cinta sejatinya pulang dari luar negeri? Lalu, dia akan melakukan apa saja demi bersamanya?" Nadanya semakin menyindir, jelas-jelas menyinggung kisah cinta Yana. Wanita bergaun putih terkejut. “Apakah Kafka sedang menyinggungku? Tidak mungkin, bukan? Apakah dia salah paham tentang alasan kami bercerai?” batinnya linglung Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk di dalam pikirannya, membuat hati Yana mulai terombang-ambing. Berusaha menjaga ketenangannya, Yana mencoba mengalihkan pembicaraan. "Tuan Bimantara, saya tidak tahu apa yang terjadi antara Anda dan kekasih Anda, tetapi wanita memang sering emosional, terutama saat hamil. Mungkin Anda harus lebih sabar dan memberinya perhatian lebih. Cobalah ajak dia berbelanja atau melakukan hal-hal yang dia sukai. Suasana hatinya mungkin sedang naik turun." Kafka kembali tertawa terkekeh-kekeh, tawanya kali ini semakin aneh, membuat semua pria di ruangan itu menatapnya dengan heran. Mereka tampak kebingungan, tak percaya dengan sikap Kafka yang kehilangan kendali seperti ini. "Kafka, apakah kau baik-baik saja? Apakah topik Mala Nasram membuatmu tidak nyaman?" tanya Sukardi Galih, mencoba mencari tahu. Kafka menoleh sebentar ke arah Galih, lalu kembali menatap Yana dengan pandangan penuh kebencian. "Tidak nyaman? Menurutmu, bagaimana rasanya?" Dia mengajukan pertanyaan itu kepada Sukardi, tetapi tatapannya tetap terkunci pada Yana. “Kafka, kamu tidak pernah seperti ini. Maafkan aku jika membuatmu merasa tersinggung saat membahas kekasihmu. Aku tahu kalian sedang bertengkar, tetapi jangan membuat dirimu seperti ini. Itu tidak baik.” Kafka menunggu reaksi Yana, lalu kembali terdiam. Mata dingin dan gelapnya menatap wanita di tengah ruangan dengan aura yang mengintimidasi. Yana tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Sebenarnya, apa kesalahannya? Dia telah mendukungnya bersama kekasih sejatinya, juga mendoakan yang terbaik untuknya. Jangan-jangan dia tidak percaya dengan kata-katanya. Sebenarnya, ada apa dengan mantan suaminya itu? "Hei wanita. Coba mainkan sesuatu agar suasana hati sahabatku ini menjadi lebih rileks." Yana mengangguk mengerti, lalu mencoba memainkan sebuah lagu. Tapi,Kafka segera memotongnya dingin. "Berhenti." Yana membeku di tempatnya. Dia baru memainkan beberapa gesekan, tapi mendengar suaranya yang penuh titah, membuatnya hanya bisa menatapnya heran dan waapada "Kafka, ada apa? Apakah kamu tidak senang dengan wanita itu?" Kafka menyipitkan matanya dingin, mengabaikan perkataan Sukardi Galih. "Berapa hargamu semalam? Aku beli kamu." Yana seperti disambar petir di wajahnya! Apakah dia baru saja menawarnya di hadapan semua orang? Apakah dia ingin mempermalukannya lagi? Kenapa? Kenapa dia begitu jahat? Sebelumnya, Kafka pernah berkata bahwa suatu saat nanti Yana akan memintanya untuk ditiduri olehnya. Tapi, dia tidak mengerti bagaimana hal itu akan terjadi. Satu hal yang pasti, Kafka pasti akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Apakah dia sudah berniat dan berhenti bermain-main? "Oh, ternyata kamu tertarik juga dengannya. Kafka, jangan bertindak terlalu nakal. Bukankah kekasihmu sedang hamil?" Kafka mengabaikan sindiran Sukardi Galih yang sedang tertawa melihat tingkahnya yang tidak biasa. "Berapa? Cepat katakan!”tanya Kafka dengan nada yang lebih berat dan menuntut, terus menatap dingin ke arah wanita di tengah ruangan. Yana melirik gelisah pada jejeran pria yang tampak berbisik-bisik sambil tersenyum mabuk. Mereka tidak berani mengomentari Kafka, karena yang paling berkuasa hanyalah dua pria di tengah sofa. "Tuan, saya sudah menjelaskan kepada Tuan Galih sebelumnya. Saya tidak memberikan layanan semacam itu kepada para tamu." Kafka meraih beberapa ikat uang di atas meja, lalu melemparkannya ke lantai di hadapan Yana. "Ini hanya uang muka. Berapapun akan aku bayar jika kamu bersedia menghabiskan satu malam bersamaku." Yana merasakan hatinya mengencang. Apakah Kafka serius? Kenapa dia melakukan ini kepadanya? Bagaimana dengan Mala Nasram? Tiba-tiba saja, dia teringat dengan ucapan perawat Dina. Apa mungkin Kafka ingin menjebaknya untuk merusak reputasinya lagi? Walaupun tidak ada bukti kalau Kafka-lah yang menyebarkan semua bukti kejahatan Yana terkait perlakuan kasarnya selama mereka menikah, tapi dia sangat yakin bahwa pelakunya adalah dia. Yana yakin kalau itu adalah salah satu bentuk balas dendam Kafka kepadanya. Kehancuran keluarga Jazada adalah bukti yang sangat valid, apalagi dengan hal buruk lain yang menimpanya selama ini? Bukankah dia ingin menghancurkannya? "Kenapa kamu diam saja? Apakah aku perlu menyebut nominalnya di sini? Berapa yang kamu inginkan? Satu miliar? Dua miliar? Atau... semua itu tidak cukup? Seratus miliar? Bagaimana?" ucap Kafka dengan nada dingin yang setengah mengejek. Wajahnya sangat tidak enak dipandang. Sukardi Galih menatapnya heran. "Kafka, kamu serius? Kekasihmu sudah hamil. Apa yang kamu lakukan dengan bermain-main dengan wanita seperti itu? Dia memang terlihat menarik dan sangat cantik, tapi sadarlah. Sebentar lagi kamu akan menjadi ayah!” Kafka tetap tidak terpengaruh dengan kata-katanya. Dia terus menatap tajam ke arah Yana, seolah-olah ingin meluapkan seluruh kemarahannya. Mencoba untuk menenangkan suasana, Yana tersenyum dengan sedikit menggoda. "Tuan Bimantara, Anda sangat pandai bercanda. Tidak baik jika sampai kekasih Anda mendengarkan kalimat tersebut. Saya sudah bilang kalau tidak akan melakukan hal semacam itu. Kalau Anda ingin mendapat hiburan dari saya, katakan saja. Apa yang Anda inginkan, saya pasti akan melakukannya." "Kamu masih ingin berpura-pura terlihat suci? Aku yakin sudah banyak pria yang tidur denganmu di klub malam ini, bukan? Apakah kamu baru membuka kamar setelah pertemuan selesai?" Sukardi Galih Segera memotongnya cepat. "Hei, Kafka, jangan berkata begitu. Ada apa denganmu? Jangan lampiaskan kemarahanmu kepada wanita lain. Itu tidak baik." Kafka meliriknya dingin. "Menurutmu, aku seperti itu?" "Apakah aku salah? Ayolah. Kalau aku yang bermain dengannya, itu masih wajar. Aku sudah tidak memiliki istri. Tidak seperti kamu. Bukankah pacarmu sedang hamil? Sebentar lagi kalian akan bertunangan, bukan? Jangan mencari penyakit dengan berkata seperti itu. Kalau sampai hal ini keluar, yang ada hubunganmu dengan Mala Nasram pasti akan menjadi kacau." Yana merasakan hatinya bergetar dan seperti ditusuk dengan duri. Jadi, Kafka akan segera bertunangan dengan Mala Nasram? Benar juga. Wanita itu sedang hamil. Anak dari Kafka Bimantara. Sudah sewajarnya mereka segera mengadakan pertunangan. Bahkan, menurut gosip, dia memberikan kalung yang berharga fantastis sebagai ucapan selamat atas kehamilannya. Yana setengah melamun, bertanya-tanya dalam hati, apakah jika mereka masih menikah, lalu dia berhasil hamil dari Kafka, mungkinkah pria itu juga akan memanjakannya seperti Mala? Kafka menggeram marah. Hatinya panas melihat ketenangan dan sikap acuh tak acuh darinya. Tiba-tiba, dia, membentak ke arah Yana karena merasa tidak tahan lagi, “Yana Jazada! Cepat sebutkan hargamu! Apakah 1 triliun cukup?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD