24

2913 Words
Aku menunduk dan memperhatikan lututku yang memar. Perlahan air mataku menetes tanpa kusadari, pandangan hanya tertuju pada objek yang membuatku teringat saat aku tersandung batu hingga lututku mengenai undakan rel gerbang di depan rumah kak Revan. Sejenak aku meniup-niup lutut yang membiru dan menempelnya dengan plester. Plester luka memang selalu tersedia di dalam tas karena aku selalu terjatuh jika sedang berlari. Apalagi dalam keadaan kondisi hati yang gak baik. Aku merintih kesakitan, namun keadaan tak lebih sakit dari luka hatiku. Semalaman dan sampai kini, air mataku keluar tanpa bisa berhenti. Sekarang mataku sembab dan membengkak, rambut pun kusut acak-acakan. Aku gak mengidap Erotomania! Perhatian dan kasih sayang Revan sungguh nyata kurasakan. Begitu pun tatapan ketulusan dari kak Revan. Tapi kenapa gak jujur? Entahlah… Aku juga gak mengidap Narcissistic Personality Disorder (NPD)! Rasa percaya diriku memang sangat tinggi. Tapi aku gak selalu ingin dipuji, aku pun tak pernah menganggap diriku sempurna. Tiba-tiba perutku berbunyi cukup keras, tanganku refleks memegangi perut. Lalu aku keluar dari kamar dengan berjalan sempoyongan di atas undakan anak tangga, aku menuruni satu demi satu menuju ruang makan. Belum juga sampai di tempat tujuan, aku mendengar teriakan kakak di bawah sana. “Setannn… setann…” teriak kak Deni dari bawah tangga. “Ngomong apa sih kamu, Den!!” bentak kak Rissa yang baru saja keluar dari dapur. Aku terus melanjutkan langkah menuruni anak tangga hingga kedua kakakku melongo kaget melihat penampilanku yang acak kadut, kayak ngelihat dedemit. “Sayang, Siren kamu kenapa?” tanya kak Rissa mendekatiku. “Abis kena banjir bandang, Kak.” Ceplosku ngasal. Aku berjalan lemah menuju dapur tetapi dicegat oleh kak Deni. Laju jalanku tertahan oleh halangan kakak. Kak Deni menatapku tajam karena mungkin melihat kondisi adik tersayangnya begitu acak-acakan dan bersedih. “Gak biasanya kamu kayak gini. Liat nih mata abis nangis! Rambut kayak sarang tawon. Baju gak dikancing, celana digulung sebelah. Kamu lagi patah hati?” Ucap kak Deni tajam padaku. Aku berjalan menabrak bahu kak Deni, lemah. Aku gak pedulikan ocehan kak Deni kali ini. Suasana hatiku lagi gak enak. Tubuh dan hatiku sedang tersakiti begitu dalam dan aku sedang tidak ingin berbicara. Pengennya berendem di kutub utara. “Ren, jawab Kakak!” tegas kak Deni sambil memegang bahuku dan membalikan badanku hingga menghadapnya. “Ngantuk Kak, abis nonton melodrama sampe pagi. Sedih ceritanya.” Terpaksa aku berbohong dengan mata berkaca-kaca. “Emang film apa sayang?” kak Rissa penasaran. “Prahara tanpa problem solving.” Kataku sambil menghempaskan tangan kak Deni pelan. Kedua kakakku hanya diam membeku. Tetapi kak Deni tetap memegang tanganku menahan agar gak beranjak jauh darinya. Aku memutar mataku, mengalihkan pandanganku ke luar jendela dan terdiam selama beberapa saat. “Hikss..hikss.. Maafin Kakak yah sayang.” Tiba-tiba kak Rissa menangis memelukku. “Hah??” sungguh aku terkejut luar biasa. Aku melongo. Kak Deni juga menangis memeluk kami berdua. “Ada apa ini?” pikirku dalam hati. Aku hanya menatap mereka aneh. Aku yang patah hati kok mereka yang nangis. “Maafin Kak Dendenmu ini yah. Kamu jadi tertekan melihat pertengkaran kami kemarin.” Ucap kak Deni sembari terisak-isak. Aku tatap wajah mereka bergantian, mereka mungkin tersindir dengan perkataanku. Namun mulutku membisu, gak bisa bicara. Pengen curhat tapi gak bisa jelasinnya. Aku menarik napas dalam. Ternyata mereka sudah salah paham. “Biarin deh, lanjutin aja dramanya sekalian.” Pikirku lagi dalam hati. “Iya aku maafin, tapi kalian jangan bertengkar lagi yah! Janji?” kulanjutkan drama ini demi kebaikan. Mereka mengangguk kompak dan memelukku lagi. Kupeluk kedua kakakku erat. Untuk sementara ini aku hanya memerlukan pelukan dari orang terkasih. Pelukan yang dapat menghangatkan hati dan tubuh seorang Siren. Pelukan yang mampu membuat hatiku menjadi lebih tenang. Bahagia sekali jika aku bisa seperti mereka. Bulir air yang kukira telah mengering, terjatuh tanpa bisa kutahan. Semua larut dengan perasaan haru biru sementara aku menangis antara terharu atau malah tertekan. Namun yang jelas patah hati karena ditolak bukan sekadar kiasan. Nyatanya, seseorang bisa merasakan sakit secara fisik karena masalah ini. Rasanya perjuangan mengungkapkan pernyataan cinta yang sudah mati-matian gak ada harganya dan sia-sia belaka. Perasaan yang kini aku rasakan. Rasa sakitnya seperti tertekan benda berat yang menekan d**a hingga ke jantung, membuat sesak. Kecewa telah mengaburkan bahagia. Aku kecewa dikala jiwaku lemah karena tak mampu melupakannya. Kondisi gak selalu berhubungan dengan mental karena dipengaruhi oleh hormon yang bekerja pada otak. Mirip sekali dengan kondisiku saat ini. Hormon oksitosin dan dopamin pergi entah kemana, meninggalkan hormon stress yang seperti magnet memanggil hormon kortisol dan epinephrine. Tett.. Tett.. Suara klakson taksi sudah menderu-deru memanggilku. Aku akan ke sekolah dengan menggunakan taksi yang dipesan kak Rissa tadi pagi karena kak Deni dan kak Rissa kasihan melihat keadaanku yang tampak memprihatinkan. Sedang mereka berangkat lebih awal gara-gara ada meeting. Kubuka pintu depan rumahku, melangkah gerbang depan. Baru beberapa langkah dari pintu rumah, aku melihatnya telah berdiri di depan pintu gerbang rumahku. Aku berusaha gak menghiraukannya. Aku acuhkan dia dengan terus melangkah menuju taksi, namun lenganku tertahan sesuatu. “My girl.” Ucapnya lembut. Suara kak Revan membuatku jengah dan tak nyaman. Aku membeku. Saat ini aku belum mau bertemu dulu dengannya. Sakit di dadaku belum juga hilang. “Bisa bicara sebentar.” Pinta kak Revan lembut namun lagi-lagi suaranya itu membuatku sakit kepala dan sesak di d**a. Jantungku berdetak kencang. Hormon korisol menjalar ke d**a menimbulkan pembengkakan yang menyakitkan. Dadaku sesak sekali. Tak sanggup berbicara apapun. “Buat apa kak Revan nemuin gue.” Pikirku penasaran. Kuacuhkan kak Revan, kulepaskan pegangan tangannya dari lenganku. Segera ingin menaiki pintu taksi. Tapi kak Revan justru menarik pergelangan tanganku dan membalikan tubuhku menghadapnya. “One minute, please.” Ibanya sendu. “Aku mau ke sekolah Kak, lepas.” “Please.. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Ini tentang kita, My girl.” Kita? Apa maksud dia dengan bicara kata kita? Semakin sesak mendengarnya bicara tentang kita. Ucapannya membuat hatiku semakin tercabik lebih dalam. Polosnya membuat hatiku semakin berpencar entah kemana. Akhirnya, kutatap ke dalam maniknya. “Kakak tau gak? Elizabeth Kane bilang ‘momen terdahsyat ketika kita bertemu seseorang merasakan energi dan langsung merasakan d**a berdebar’ itulah cinta. Itu juga yang aku rasain pertama kali kita ketemu.” Kataku. Mataku berkaca-kaca. Aku menghirup napas dalam. “Robert Stemberg juga bilang ‘bahwa cinta yang dibangun dari dua perasaan akan lebih lama daripada cinta yang hanya dibangun dengan salah satu perasaan saja’.” Lanjutku. Air mata ini turun tak terbendung lagi. “Aku pergi dulu nanti telat ke sekolah.” Pamitku lemah. Kak Revan seperti menahan suatu gejolak. Wajahnya memerah dengan mata berkaca-kaca. Keadaan kami berdua gak jauh berbeda. Kegundahan yang dirasakannya ikut membuat aku merasakannya juga. Kulepaskan sentuhan tangannya dari bahuku dan aku berbalik ingin menaiki taksi. Namun sangat aku rasakan ada getaran-getaran aneh yang menyengat jiwaku. Ya, getaran kekecewaan yang menerpa hatiku. “Maafkan Kakak, Sayang.” Ucapnya bergetar. Kakiku seakan lemas tanpa sebab. Kukepalkan tanganku erat, getarannya kian menyakitkan gak seperti biasanya. Lagi-lagi aku harus gak menghiraukannya karena aku gak ingin rasa sakit ini semakin dalam. “Mulai saat ini. Jangan panggil aku dengan sebutan apapun. Aku bukan wanitamu, aku bukan gadismu, aku juga bukan kesayanganmu. Aku pergi.” Pamitku tanpa berbalik. Kak Revan pakarnya dalam psikologi, ia pasti mengerti perkataanku tadi. Aku yakin, dia juga bisa merasakan kekecewaanku saat ini. Kunaiki taksi yang sedari tadi menungguku. “Jalan, Pak.” Perintahku pada sopir taksi. Aku menoleh sekilas dari jendela mobil. Kak Revan masih diam disana tanpa mengejarku. Wajahnya sangat tegas, tapi matanya menyiratkan kepedihan. Entah apa yang ada dalam pikirannya. “Pengecut!!” kata hatiku. Geram melihat sikapnya. Aku gak tahu, apa yang sebenarnya ia inginkan. Banyak sekali perubahan pada diri kak Revan. Sejak kepergiannya beberapa bulan lalu. Kadang ia menjadi kak Revan yang dulu, kadang ia menjadi kak Revan yang kasar. Kayak ada dua orang dalam satu tubuh! Yang satu temprament, sedang yang satu introvert. Ingin sekali aku menyelidiki masalahnya. Namun harus dimulai dari mana? Gak ada petunjuk apapun. “Kayaknya gue harus konsultasi ke psikolog laen.” Gumamku bimbang. Di sekolah aku hanya melamun. Kepala kuletakan di atas meja. Tatapanku kosong karena aku tak bisa berpikir saat mengingatnya. Aku hanya mendapatkan jalan buntu setiap memikirkannya. “Aneh lo, akhir-akhir ini.” Kata sahabatku Vita. Meneliti wajahku seksama. Aku tersenyum lemah. “Masa sih, Vit? Gue Cuma rada gak enak badan aja.” Kilahku. “Ada yang lo sembunyiin!” terkanya. Mata Vita menatap tajam ke arahku. “Mungkin karna sebentar lagi ujian, Vit. Gue jadi kepikiran, takut nilai gue jelek.” “Yakin lo? Mata kenapa bengkak?!” sengitnya. “Elah Vit, gue nonton pelem sedih banget semalem. Kan tau sendiri gue mah wanita perasa. Jadi gini deh.” Aku nyengir. “Preman kayak lo bisa nangis! Berapa lama kita sahabatan? Gue tau, meskipun lo gak bilang sama gue. Lo lagi patah hati kan?” sarkasnya benar. “Bacot lo!!” Kutoyor kepala Vita. “Preman juga manusia Vit. Gue juga perempuan elahh.. Masa gak bole nonton melodrama.” Aku manyun. “Terserah lo. Gue mau lo cerita masalah lo ke gue, buat ringanin beban hati lo juga kan!” balas Vita. “Cie..cie.. Perhatian banget lo, cantik-cantik gini gue masi doyan cowok Vit.” Candaku. “Gue juga.” Vita menoyor kepalaku. “Besok gue ke Singapur beberapa hari ikut bokap seminar. Lo jaga diri baik-baik. Gue malah lebih tenang ninggalin lo, kalo lo lagi gesrek begini.” Celotehnya tanpa henti. “Lama gak? Gue ama siapa di kelas?” aku ngambek. “Palingan seminggu. Sama si Andra aja, Ren.” Goda Vita sambil nyengir. Kutarik napas dalam. “Kalo ama tuh demit ngeselin. Tensi darah gue naek, Vit.” Vita tegelak geli. “Emang lo gak ngeselin? Lo tuh cocok ama itu mahluk planet satu.” Ejek Vita. “Please deh, jauhin gue dari alien. Apalagi sama trio kebatilan.” Kataku kesal. “Bogem aja sih, gitu aja repot.” “Gampang ntuh mah. Lo ati-ati disana yah!” “Iya, lo juga. Kalo lo gesrek begini. Gue lebi tenang ninggalin lo.” “Iya Eyang putri, gue pasti bisa jaga diri. Lo tenang aja. Balik bawa oleh-oleh yah buat gue, jangan lupa!” aku memeluk sahabatku sayang. Ia kembali memelukku. “Hemm…” Hari ini si tengil Andra gak masuk. Bilang guru sih sakit kepala jadi mau di ronsen. Dahal aku tahu Andra lagi tawuran di SMA sebelah. Kena bogem kesakitan jadi minta dijenguk sama aku dan Vita. SMS sampai puluhan kali, tapi aku cuekin. Besok Vita pergi ke luar negeri, Andra pun masih sakit. Aku pasti kesepian tanpa kedua sahabatku. Bel sekokah berbunyi tanda sekolah berakhir. Murid-murid sudah bergegas pulang. Aku pun segera meninggalkan sekolah. Aku menaiki ojek langganan yang sering mangkal di dekat sekolah. Pulang sekolah aku memilih jalan dengan rute yang lebih jauh, memutari satu blok deretan rumahku. Hanya mau menghindari kak Revan. Gak tahu kenapa kalau lihat kak Revan, bawaannya nyesek. Kita kayak main kucing-kucingan. Kutatap jam tangan pembawa kesedihan pemberian kak Revan sesaat, kemudian kumasukan dalam laci kamar riasku. Gak sanggup lagi pakai barang yang menyangkut tentang kak Revan. Benda itu hanya mengingatkanku pada betapa sebalnya aku padanya. Sore ini rumah kak Revan sepi banget kayak gak ada orang. Ia pergi lagi entah kemana, agak nyesel tadi sudah nolak. Tapi aku harus kuat. Gak boleh terpedaya rayuan laki-laki lagi. Sore itu, aku nekad mengunjungi seorang psikolog yang kantornya gak jauh dari kompleks rumahku. Psikolog itu bernama Pak Toga, seseorang yang selalu mempunyai senyum ramah di bibirnya. Pak Toga pun menerimaku dengan ramah dan mempersilahkan aku memasuki ruang kerjanya. Tanpa berlama-lama aku ceritakan semua hal tentang kak Revan pada Pak Toga. Psikolog ramah ini mendengarkan penjelasanku dengan sedikit mengerungkan dahinya, sesekali menggut-manggut tanda mengerti. Setelah aku selesai bercerita, Pak Toga memberikan penjelasan sedikit tentang gangguan psikologis yang sangat mengejutkanku. Pak Toga mengambil kesimpulan pertamanya bahwa kak Revan mungkin saja menderita BPD atau Borderline Personality Disorder. BPD adalah sebuah kelainan emosi dimana penderitanya kurang atau bahkan sama sekali gak mampu dalam mengendalikan emosinya (tergantung seberapa parah tingkat penyakitnya). Orang-orang yang mengidap gangguan ini biasanya gak hanya mudah marah terhadap orang lain yang dirasa melakukan suatu kesalahan kepada dirinya, akan tetapi ia juga mudah marah terhadap dirinya sendiri ketika ia merasa telah melakukan suatu kesalahan yang mengakibatkan orang lain tersakiti. Untuk kesimpulan pertama dari Pak Toga, tentu aku gak setuju karena menurut gejalanya penderita akan menyakiti diri sendiri, curiga, dan menjadi paranoid. Dalam kasus kak Revan itu semua gak terjadi. Kemudian Pak Toga memberikan kesimpulan keduanya yaitu kemungkinan kak Revan mengidap Dissociative Identity Disorder (DID) atau kepribadian ganda. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa ada satu orang yang memiliki pribadi lebih dari satu atau memiliki dua pribadi sekaligus. Kadang si penderita gak tahu bahwa ia memiliki kepribadian ganda, dua pribadi yang ada dalam satu tubuh ini juga tidak saling mengenal dan lebih parah lagi kadang-kadang dua pribadi ini saling bertolak belakang sifatnya. Aku pandangi Pak Toga lekat-lekat. Dadaku bergetar gak menentu, napasku serasa terputus. Untuk penjelasan yang ini aku bisa menerimanya. Bisa jadi kak Revan mengalami DID karena ciri-cirinya sangat nyata terlihat olehku. “Apa penderita DID bisa ditangani Pak? Gimana cara sembuhinnya?” “Ajak dia kesini, saya akan bantu menanganinya.” Pak Toga tersenyum. Satu hari setelah kemarin… Aku terus teringat dengan penjelasan Pak Toga kemarin di kantornya. Kak Revan sepertinya memiliki gangguan kejiawan kayak yang dikatakan Pak Toga. Aku yang sudah dipenuhi rasa penasaran, menjadi gak sabaran dan mulai memainkan ponselku. Dengan sedikit ragu, akhirnya kuhubungi nomor ponsel kak revan tetapi berkali-kali aku hubungi, semuanya gak nyambung. Aku pandangi rumah kak Revan dari balik jendela kamarku. Terlihat sekali kalau rumahnya sepi gak berpenghuni. Kak revan menghilang lagi entah kemana seperti beberapa hari terkahir ini. Dalam diam aku berpikir, kenapa aku menyukainya, padahal pria itu sangat misterius dan sulit ditebak. Tiba-tiba bel rumahku berbunyi ada seseorang yang memijitnya. Segera aku turun dan membukakan pintu untuk seseorang di luar sana. Ternyata seorang pegawai pengiriman paket telah berdiri dan tersenyum padaku. Pegawai itu menyerahkan begitu banyak bingkisan yang tertuju untukku. Setelah melakukan serah terima, aku bawa semua paket itu ke dalam rumah. Hari ini aku mendapatkan dua paket hadiah dari luar negeri. Yang ke satu berisi boneka Matryoshka dari bentuk besar hingga bentuk terkecil di dalamnya dengan note ‘maaf’ dan inisial huruf V. Hadiah kedua berisi pisau lipat kecil dengan inisial huruf V. Hadiah ketiga dikirim dari salah satu kota di Indonesia berupa mawar putih dengan note bertuliskan kata ‘maaf’ dan nama pengirim V. Hampir lupa mengenai kalung itu, kado ulang tahunku ke 18 beberapa bulan lalu, tertera inisial huruf V. Sambil menatap semua hadiah itu, aku bertanya pada diriku sendiri, untuk apa kak Revan memberikan semua benda itu? Dan semua ini menjadi tanda tanya besar buatku. Kutarik napas dalam menenangkan pikiranku. Kak Revan semakin misterius. Aku kayak gak mengenal kak Revan yang sesungguhnya. Markas besar Tokugawa… Kubuka mataku perlahan. Rasa sakit pada bagian leher belakangku masih saja terasa. Tapi tidak akan fatal, Phaitoon tidak mengeluarkan seluruh tenaganya memukulku. Aku terbaring di atas futon/kasur lipat sebuah kamar bernuansa jepang. Benar apa yang kupikirkan. Phaitoon ialah ajudan setia ibuku. Ia tak mungkin begitu saja menghianati kepercayaan ibuku. Aku bangun dan melangkah keluar kamar. Pintunya terjaga oleh dua orang pengawal Tokugawa, setelah aku membuka pintu. “Ijinkan aku menemui ketuamu.” Ucapku sopan. “Ikuti saya, Tuan.” Sahut pengawal itu memberi hormat. Aku berjalan menyusuri lorong menuju ruang tengah yang terpisah dengan kamar. Tamannya di penuhi bunga Edohigan atau sakura yang mekar dihari Ekuinoks musim semi. Aku memasuki ruangan tamu pribadi ketua klan Tokugawa. Kami duduk di lantai berhadapan hanya dipisahkan dengan meja. “Silahkan.” Ucap ketua klan Tokugawa. Usia ketua berkisar 60 Tahun. Ia menuangkan teh ke dalam ochoko/cangkir kecil. “Terima kasih.” Sahutku. Kutiup perlahan dan kuteguk teh tersebut. “Kau tidak takut aku meracunimu?” tanyanya datar. “Sulit sekali bagiku untuk bertemu dengan anda, Choro (tetua). Maafkan aku telah lancang mengganggu anda.” Jawabku sopan tersenyum. Tetua itu tergelak kencang. “Aku salah menilaimu. Kupikir pewaris Vandals seorang bar-bar. Aku hanya mendengar dari kabar angin.” Ia tertawa kembali. Aku tersenyum kembali. “Apa Choro telah menerima hadiah dariku?” Aku menelisik wajahnya berubah serius. “Siapa kau? Mengapa kau mempunyai hanko tersebut.” Jawabnya memandangku intens. “Bagaimana jika aku permudah jawaban anda, hanya dengan satu janji anda untukku.” Tawarku sopan. Choro tertawa terbahak-bahak. “Kau sangat pintar. Tapi mengapa kau bisa dikhianati anak buahmu sendiri?” cibirnya. “Jika tidak memakai cara ini, apakah Choro akan menemuiku?” Ia terkekeh kencang. “Baiklah.. Anak buahmu sedang di urus oleh anak buahku. Aku tak suka jika ada seorang penghianat berkeliaran.” Tegasnya. “Bebaskan dia. Phaitoon hanya mempermudah jalanku menemui anda, Choro.” “Akan ada pertukaran! Kau yang memilih.” “Kata yang sudah keluar dari bibirku tidak akan kujilat kembali. Akan kutukar informasi dengan satu janji anda.” Tekanku. Choro terkekeh sinis. “Kau tak menginginkan anak buahmu itu rupanya. Kau ingin anak buahmu mati sia-sia?” ancamnya. “Kau tidak menyayangi nyawamu sendiri bocah Vandals.” Ejeknya “Ginchiyo.” Kataku cepat. Ibuku sempat berkata dulu. Ginchiyo berarti dewi petir. Kata ini pula yang dipesan oleh ibuku sebelum aku pergi dari singapore. Hanko berlambang klan Takahashi lama, ibuku pula yang memberikannya. Choro terpaku. Menatap mataku lekat tak berkedip. Hening sekali. Aku menuangkan teh pada kedua ochoko kami yang kosong. Hanya terdengar suara mengalir air. Tanpa aku perdulikan tatapan Choro. Kuminum teh itu dengan santai. “Hanya satu, akan kupenuhi.” Aku menyeringai kecil. Kutiup perlahan ochoko di tanganku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD