sahabat jadi cinta? mungkinkah?

2344 Words
Diva sengaja menghindari Andrew seharian ini. Setiap kali Andrew mendekatinya dan berusaha untuk mengajaknya bicara, Diva akan langsung mencari seribu satu alasan dan gaya untuk menjauh dari Andrew. Entah kenapa kalau berada dekat dengan Andrew, dia jadi teringat lagi akan Arny yang selalu ada di dekat cowok itu seperti perangko dan amplop. Membuatnya entah kenapa dibakar oleh perasaan aneh dan paling ganjil. Seperti pulang sekolah tadi, Diva yang asyik cekikan dengan Tiara, mendadak termangu melihat Andrew dan Arny duduk berdua di taman sekolah. Entah apa yang mereka bicarakan, Diva sendiri tidak tahu. Awalnya, dia memang melihat Andrew dan Arny berbicara dengan serius. Lama-kelamaan, keseriusan itu berubah menjadi canda tawa. Diva bahkan belum pernah melihat tawa Andrew yang seperti itu sebelumnya. Dan membuatnya langsung tancap gas berlari ke parkiran dan berteriak nyaring agar Tiara cepat ikut dengannya karna dia mendadak tak tahan lagi disini Diva memang merasa Andrew berusaha mendekatinya untuk mengajaknya bicara, tapi, Diva jauh lebih merasa Andrew melupakannya. Diva merasa Andrew sekarang jadi semakin dekat dengan Arny. Dan entah kenapa hal itu membuatnya sakit. Seperti ditusuk tombak yang tak terlihat wujudnya, namun terasa sakitnya. “Gue merasa dilupakan!” Diva langsung melemparkan bom molotov tanpa kearah Tiara yang saat itu asyik menyusun beberapa cerita untuk mading mereka. Diva memutuskan mengungsi kerumah Tiara karna tak tahan dengan apa yang dirasakannya sekarang. Seperti tadi, dia disuguhkan pemandangan Arny asyik mengobrol dengan Andrew di taman sekolah. Sangat mesra hingga hatinya entah kenapa merasa terbakar. Tatapan yang tak pernah ditunjukkan Andrew padanya itu sangat jelas terpancar saat dia berduaan dengan Arny. Seperti orang pacaran dan yang lainnya ngontrak. Termasuk dirinya. Tiara memutuskan menghentikan pekerjaannya dan melirik Diva yang duduk di ranjangnya dengan melipat tangan ke d**a. Dia tersenyum geli. “Lo cemburu liat Andrew dengan Arny? Wajar kalii.. kan mereka mantan pacar yang sengaja putus karna keadaan.” “Gue gak cemburu!” Diva berteriak dan meremas – remas boneka Panda Tiara yang dipegangnya dengan gemas. Saking gemasnya, hampir saja dia ingin mengguntingnya dan menghamburkan isi boneka itu ke lantai. Mendadak, hatinya semakin sakit saja. “Apa wajar....” Dia terdiam. Matanya menatap Tiara yang fokus ke arahnya sekarang. Sorot mata sahabatnya sangat pengertian. Berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang kata kakaknya akhir – akhir terlihat lelah. “Kalau pada akhirnya, gue suka dengan dia sedangkan dia merasa nyaman dengan persahabatan ini?” Tiara menghembuskan napas berat dan memandang lembut Diva. “Diva, gue nggak tau, ya, apa ucapan gue ini emang benar atau nggak. Cuma, beberapa orang pernah bilang kalau persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu nggak akan bisa berjalan dengan baik, karena salah satu dari mereka pasti akan merasakan perasaan yang lebih daripada sekedar sahabat. Seperti yang lagi lo alamin sekarang ini. Dari awal yang gue liat, lo sama Andrew emang bukan terlihat seperti seorang sahabat, melainkan seperti sepasang kekasih. Lo terlalu nyaman sama Andrew, sampai-sampai lo nggak sadar kalau perasaan nyaman itu sekarang berubah menjadi cinta.” Entah kenapa, ucapan Tiara yang panjang lebar itu memancing air mata yang sudah beberapa hari ini tertahan di pelupuk matanya. Ucapan sahabatnya itu seperti api yang membuat air mata yang membeku lalu mencair dan akhirnya menetes tanpa ampun membasahi pipinya. “ Kalau itu benar, kalau persahabatan gue memang ada cinta yang selama ini gak pernah kami rasain, apa yang harus gue lakuin, Tiara?” tanya gadis itu dengan suara serak. Air mata semakin membasahi pipinya “ Jujur, Gue nggak kuat liat dia sama Arny berduaan terus. Ada yang sangat sakit dan berdarah disini, Tiara. Hati gue.” Diva menunjuk dadanya sendiri dan menangis terisak/. Dia tak sanggup menahan sakit di hatinya yang semakin hari membuatnya tersiksa. Duduk sebangku dengan Andrew, dekat, namun dia seperti melihat sekat tak tersentuh di antara mereka. Setiap dia melihat Andrew berbicara dengan Arny atau cewek itu yang mendekatinya dan memberikan tatapan tajam yang seolah diartikan “ngapain lo disini? Bisa pergi gak?”, hatinya seperti tersayat – sayat tanpa ampun. Dia ingin berteriak kesakitan, tapi yang dia lakukan hanyalah diam dan melihat semuanya lalu menghilang sambil mengobati lukanya, dengan caranya sendiri. Menghilang perlahan. Tiara lagi-lagi menghembuskan napasnya. Gadis itu kemudian meraih tubuh Diva dan memeluknya. Dia mengelus punggung Diva, hingga membuatnya semakin menangis. Tubuhnya gemetar hebat tanda tak sanggup dia menahan kesakitan semua ini. Ternyata, mencintai seseorang bisa membuatnya sedih dan menderita seperti ini. “Nggak akan ada yang bisa ngelawan cinta atau menghindarinya, Diva. Saran gue, lo nggak usah ngejauh dari Andrew. Bersikap biasa aja. Seperti dulu sebelum lo gak punya perasaan ini. Jangan pernah memaksa kalau lo harus melupakan perasaan cinta lo ke Andrew, itu justru malah bikin lo tambah cinta sama dia dan lo akan semakin sakit. Diva.” Diva mendengarkan semua nasihat Tiara dengan tangisan yang masih terdengar. Dia mengangguk di bahu Tiara. Dia akan mencobanya. Mencoba melupakan dan membunuh perasaan cinta yang mulai tumbuh untuk sahabatnya itu. Dia tidak ingin merusak persahabatannya dengan Andrew. Laki-laki itu terlalu memahami dirinya, hingga Diva tidak bisa kalau tidak bersama Andrew. “Tapi.. bagaimana bila gue tak sanggup melakukannya? Bagaimana kalau gue semakin jatuh dalam jeratnya dan tak bisa berdiri tegak lagi?” --- Sudah beberapa hari terakhir ini, Andrew merasa Diva menjauhinya. Gadis itu memang masih berbicara dengannya, namun gadis itu seperti menjaga jarak dengannya. Seperti membuat sekat tak terlihat di depannya. Andrew sendiri tidak tahu apa sebenarnya. Tiap malam dia selalu memikirkan apa yang diperbuatnya hingga sahabatnya itu menjauh, namun dia tak menemukan jawaban. Yang ada pertanyaan menggantung. “Apa salah gue?” “Diva!” Diva tersentak ketika asyik berjalan sendiri sambil melamun, dia merasa lengannya ditarik dan tubuhnya diputar paksa. Diva terkesiap ketika mendapati sosok Andrew tengah berdiri di depannya dengan kening yang berkerut dan wajah yang kebingungan. “Lo kenapa, sih, akhir-akhir ini kayak yang ngejauh dari gue?” Tanpa ampun cowok itu menyerangnya dengan pertanyaan yang sanggup membuatnya mati tanpa perlawanan. Dia tergagap. Tak siap kalau harus ditanya seperti itu oleh Andrew. Diva menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari siapapun yang bisa membantunya melarikan diri dari Andrew saat ini. Yang bisa dia jadikan kambing hitam untuk membuatnya kabur dalam situasi ini. Sayangnya, dia tidak bisa meminta tolong pada sembarang orang dan tak ingin mengorbankan, karena bisa-bisa akan terjadi pertumpahan darah. Dia cukup lama bersahabat dengan Andrew untuk tahu bahwa laki-laki itu paling tidak senang kalau ada orang yang tidak dikenal ikut campur urusannya. “Ndrew… gue mau pulang, capek,” Lirihnya. Dia memang lelah. Lelah hati dan pikiran. Dia mencoba menghindar dengan berusaha melepaskan cekalan tangan Andrew pada tangannya, namun gagal. Andrew tidak berniat untuk melepaskan tangannya. Malah semakin erat hingga sedikit menyakitinya. Andrew sadar gerakannya itu menyakiti sahabatnya. Tapi dia harus tahu kenapa gadis itu berusaha menjaga jarak darinya. Dia tak ingin setiap menutup mata, pikiran menggantung itu menjadi penghias mimpinya. “Kita mesti ngomong, Diva. Gue mesti ngomong sama lo,” balas Andrew tegas. Tanpa persetujuan, cowok itu langsung menarik Diva menuju taman belakang sekolah. Diva berusaha memberontak, menjejakkan kedua kakinya kuat-kuat di aspal, namun ternyata tenaga Andrew terlalu kuat untuk dilawan. “Andrew, gue bilang lepas!” seru Diva. Dengan mengerahkan seluruh cadangan kekuatan yang ada, Diva menyentakkan tangan Andrew dari tangannya begitu keduanya sudah sampai di taman belakang sekolah. Andrew yang tidak biasa medapat perlakuan seperti itu dari sahabatnya, hanya bisa mengerutkan kening dan menatapnya tajam. Sementara yang ditatap hanya bisa mengalihkan pandangan ke arah lain. Taman belakang sekolah ini sepi karena jam sekolah sudah selesai. “Kasih tau gue, apa salah gue!” Andrew mengucapkannya dengan penuh penekanan yang sanggup membuat lawannya terintimidasi. Diva menghembuskan napas berat dan lelah untuk kesekian kalinya dan memejamkan kedua matanya. Dadanya bergemuruh hebat. Gadis itu mulai merasa matanya memanas. Air mata mulai siap membasahi pipinya lagi. “Demi Tuhan, jangan menangis sekarang, Diva… jangan …” “Lo selalu menghindar dari gue beberapa hari belakangan ini. Setiap gue ajak lo untuk ngobrol, lo selalu nyoba untuk nyari kesibukan, lo selalu ngalihin pembicaraan supaya lo bisa pergi dari gue. Kenapa, Diva? Gue nggak ngerti kenapa lo perlakukan gue kayak begini. Salah gue, dimana?” Andrew mencecarnya dengan pertanyaan bertubi – tubi, tanpa ampun. Tanpa sadar bahwa setiap pertanyaannya itu, menyakiti hati sahabatnya yang sudah sangat rapuh. Saking rapuhnya hingga hembusan angin kecil bisa merubuhkannya tanpa tersisa. Tanpa bisa dia berdiri tegak lagi. Diva mencoba menahan isakan tangis yang sebentar lagi mengancam untuk keluar sambil mendengarkan pertanyaan sahabatnya tanpa dia bisa menjawabnya. Dia masih memejamkan kedua matanya tanpa berani membuka ketika dirasakannya dagunya disentuh lembut. Sentuhan itu membuat matanya terbuka dan mendapati Andrew tengah mengarahkan wajahnya untuk menatap laki-laki itu. Diva bisa melihat tatapan putus asa dan frustasi dari kedua mata Andrew. “Diva… gue tersiksa kalau lo perlakukan gue kayak gini tanpa gue tau apa salah gue….” “Dan gue juga tersiksa menyimpan perasaan cinta ini, sakit ini, tanpa bisa gue bagi sama lo! Tanpa bisa lo tau apa isi hati gue! Peka sedikit, Ndrew! Liat hati gue udah hancur! Liat serpihan hati gue yang berserakan kemana – mana hingga menjadi serpihan terkecil setiap gue liat lo sama Arny.” Diva menepis tangan Andrew dari dagunya. Dia menatap Andrew tepat di manik mata cowok itu yang sekarang menatapnya bingung. “Lo nggak salah apa-apa, Ndrew, lo sama sekali nggak salah apa-apa. Gue Cuma lagi banyak masalah dan pikiran. Gue Cuma nggak mau libatin lo sama masalah gue yang satu ini. Gue mohon lo bisa ngerti. Untuk sementara waktu, biarin gue sendiri dulu….” “Dan kalau ada yang perlu disalahin disini, gue yang salah. Salah karna dekat sama lo, salah karna membiarkan perasaan asing ini masuk dan akhirnya menyakiti gue tanpa ampun. Parahnya lagi, lo gak sadar, Ndrew. Lo seenaknya dekat dengan dia tanpa sadar, tanpa menoleh sedikitpun, gue terluka.” Andrew terperangah. Dia tidak menyangka Diva benar-benar ingin menjauh darinya. Ada masalah apa sebenarnya? Apa yang sedang mengganggu pikiran gadis itu? Apa? Diva membalikkan tubuh dan berniat untuk pergi, namun lagi-lagi Andrew menahan lengannya. Andrew membiarkan Diva membelakanginya. Andrew merasa tangan yang dicekalnya begitu dingin. Seorah aliran darah mendadak tak mengalir di titik yang dia pegang sekarang. “Diva… kita sahabat, kan?” Tanyanya dengan nada sakit. Tak terima disuruh pergi tanpa tau apa – apa. Diva terdiam. Sama sekali tidak bisa menemukan suaranya. Sama sekali tidak sanggup untuk mendengar semua ucapan yang keluar dari bibir Andrew dan menjawabnya. “Lo tau apa gunanya seorang sahabat? Sahabat akan selalu membantu sahabatnya yang lain apabila sahabatnya itu sedang mengalami masalah. Apapun itu. Kapanpun itu. Dan gue… gue mau lo berbagi semua masalah lo sama gue, Diva. Gue mau lo limpahin semua masalah lo sama gue, limpahin semua emosi lo, semua yang mengganggu pikiran lo, semuanya. Lo boleh marah-marah sama gue, lo boleh maki-maki gue, lo boleh pukul gue, asal itu bisa bikin lo senang, bisa bikin lo tenang, bisa bikin lo bebas, gue bersedia, Diva. Tapi, please… jangan jauhin gue, jangan menghindar lagi dari gue. Gue nggak bisa, Diva… gue tersiksa….” “lo tersiksa karna tak tau masalah gue, tapi lo tau apa yang buat gue tersiksa? Gak. Dan, apakah gue sanggup melakukannya, Ndrew? Sanggup mengeluarkan isi hati gue yang semuanya berasal dari lo? Gak ada yang bisa buat gue tenang, buat gue bebas seperti burung terbang ke angkasa selain bisa menghilangkan perasaan ini tanpa perlu persahabatan kita hancur lebur, Ndrew. Gue sakit, gue terluka tanpa sadar. Dan itu... membunuh gue. ” Pertahanan Diva mulai runtuh. Benteng itu mulai pecah. Ucapan Andrew sangat membuatnya goyah. Bagaimana bisa cowok itu melakukannya? Bagaimana bisa cowok itu membuatnya semakin menyukainya? Curang! Andrew benar-benar curang! Dia tidak bisa melakukan hal ini seenaknya pada Diva. Andrew tidak boleh membuat dirinya menjadi seperti ini. Perlahan, seolah tau, Andrew menarik lengan Diva, memutar tubuh gadis itu ke arahnya, dan mendekapnya erat. Angin berhembus pelan, memainkan rambut keduanya. Diva tidak membalas pelukan Andrew. Meskipun saat ini, Andrew memeluknya dengan sangat erat. Dengan seluruh jiwanya. Dia merasakan ketentraman dan kedamaian ketika tubuh Diva berada dalam tubuhnya, dalam pelukannya. Andrew merasa tenang. “Diva… jangan bikin gue seperti orang gila. Gue gila karena lo menjauh dari gue. Gue gila karena lo menghindar dari gue. Gue gila karena lo dekat dengan laki-laki lain, selain gue. Gue gila karena lo menolak berbicara sama gue. Gue nggak bisa tanpa lo, Diva, nggak bisa… lo itu sahabat gue. Sahabat terbaik gue. Sahabat terdekat gue. Gue kehilangan arah tanpa lo, Diva….” “Dan gue gila karna lo dekat dengan dia tanpa gue bisa melakukan apa – apa, Ndrew.” Tubuh Diva mulai bergetar hebat. Isakan pertama yang keluar dari bibir gadis itu membuat Andrew makin mengeratkan pelukannya. Semakin dalam Andrew memeluknya, semakin menjadi tangis Diva. Diva kini mulai melingkarkan lengannya di leher Andrew. Gadis itu membiarkan tubuhnya didekap semakin kuat oleh Andrew. Diva belum pernah menangis seperti ini sebelumnya. “Just one more times, One more moment to take you in my arms One more times, before i have to face I know that day, and my heart break, again... Again...” One More Times – Kenny G. Andrew sesak ketika sadar bahwa Diva menangis tanpa dia tau kenapa. Cowok itu membiarkan Diva menangis sepuas hatinya. Menangis sesegukan di bahunya yang kokoh. Rengkuhan kedua tangan gadis itu pada bahunya serta tubuh Diva yang gemetar, membuat Andrew sadar bahwa masalah yang sedang dialami oleh Diva mungkin sangat berat. Sampai-sampai gadis itu tidak ingin membaginya pada Andrew. Padahal, Andrew sangat ingin Diva berkeluh-kesah padanya. Tentang apa saja. Semuanya. Karena, Andrew mulai sadar bahwa dirinya menyukai Diva. Karena Andrew mulai sadar, kalau dirinya mempunyai perasaan yang lebih pada sahabatnya itu. Tapi, Andrew tidak ingin membuat persahabatannya dengan Diva hancur. Maka, dia tidak akan mengatakan yang sejujurnya pada Diva. Lalu… disebut keadaan seperti apakah hal ini? Saling menyukai, saling membutuhkan, saling menyayangi, tanpa keduanya sadari. Saling menginginkan tapi juga saling melukai satu sama lain. Saling mencintai tapi juga saling membunuh perasaan masing-masing. Andrew dan Diva terjebak dalam keadaan dimana keduanya harus mempertahankan ego masing-masing, mengubur dan membunuh perasaan yang mulai tumbuh diantara keduanya, diatas label persahabatan. “Persahabatan itu memang indah. Tapi kenapa harus ada cinta di antaranya? Apa yang harus gue lakuin? Pergi, atau mengatakan? Atau.. melupakan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD