29

2129 Words
Sepulang menjenguk Andra di rumah sakit, aku jadi banyak pikiran. Semua yang terjadi hari ini terasa janggal. Penyebab Jenni bunuh diri juga masih misteri. Andra belum mau menjelaskan permasalahan yang terjadi antara dia dan Jenni. Palaku cenat-cenut, pusing sendiri. Ingin rasanya ngomong atau curhat sekedar mengeluarkan kekesalan dan kegundahan, tetapi gak ada yang bisa diajak ngobrol. Mau ngobrol sama Kak Deni kayaknya kakakku sedang stress berat, aku gak mau menganggunya dulu. Biarlah aku rasakan pusingku sendiri. Sebenarnya aku sangat bangga sama Kak Deni. Walaupun mertuanya boleh dibilang orang sukses, tetapi sejak dulu kak Deni memang gak mau bergantung hidup pada mertuanya, ia ingin sukses dengan jerih payahnya sendiri. Aku jadi teringat sama ayahnya Kak Rissa, beliau sedang sakit keras. Pak Abraham Wijaya, orang tua kak Rissa yang aku lebih suka memanggil beliau dengan sebutan Pak AW sedang dirawat di rumah sakit sehingga Kak Rissa lah disuruh memimpin perusahaannya. Mungkin, untuk beberapa waktu ke depan, Kak Deni dan Kak Rissa akan menginap di rumah Pak AW. Daripada pusing sendiri, mending aku mainin ponselku. Aku mencari ponselku di atas kasur. Baru saja aku ambil, ponsel itu berbunyi. Kring… Kring… Ternyata, Vita sahabatku menelpon. Seperti ketiban durian runtuh, akhirnya aku dapet temen ngobrol. Segera saja aku angkat teleponnya. “Hai Vital, gue kangen masa.” ….. “Iya Vit, iya.. Gue ke rumah lo yah sekarang.” ….. “Bawel ih..” Kumatikan panggilan telepon dan bergegas memakai jaketku. Menuruni tangga keluar rumah dan menemui kak Revan. Gerbang rumah kak Revan gak terkunci, begitupun pintu rumahnya. “Kak…” panggilku. Aku menaiki tangga menuju kamar kak Revan. Aku membuka pintu kamarnya, kosong. Aku teringat ruangan pribadinya yang bersebelahan dengan kamar tidur, aku lekas menuju ke sana. Klekk.. “Va bene. Ti richiamo dopo. (Ya.. Nanti kuhubungi kembali).” Kak Revan mematikan ponselnya dan meletakan di atas meja. “Kakak telpon siapa? Sibuk banget.” Aku memanyunkan bibirku, kulipat tangan di depan dadaku. Ia terkekeh pelan dan mendekatiku. Cup.. “Kau cemburu?” kak Revan menciumku dan memelukku erat. “Vale?” Aku membalas pelukan Vale. “Hem.. Kau melupakanku, mia amore.” Aku menggeleng cepat. “Justru aku kesini menemuimu. Aku mau ke rumah Vita, boleh kan?” dalihku. Vale mengurai pelukan kami. “Untuk apa?” “Ada hal yang perlu aku sampaikan ke Vita, penting.” Ia tampak berpikir. “Aku antar.” “Jangan! Vita belum tahu hubungan kita. Kau kan janji akan merahasiakan, sebelum kau melamarku.” “Oke, aku antar sampai di depan rumahnya saja. Tidak akan keluar dari mobil.” Tawar Vale. “Oke deh, tapi… Gendong yah!” manjaku. Kugesek-gesekan satu jariku pada milik Vale secara perlahan. Ia melenguh tertahan. Kemudian tanganku mulai meremas. Kuusap dari bawah ke atas hingga menggembung dan membesar. “Kau sengaja menggodaku, Amore.” Ia menggeram pelan. Tangannya ikut meremas pinggulku. Aku tertawa geli. Lucu sekali lihat pipi Vale memerah. Gemesin. Gerakan telapak tanganku makin kencang, dan mengocoknya dari luar celana panjang yang ia kenakan. “Enak??” tanyaku dengan senyum menyeringai. Kupandang wajah Vale, ia sedang memejamkan mata. Aku menghentikan aksi tanganku pada miliknya. Ia membuka mata dan menatapku, senyumnya m***m dan mupeng. “Andai saja aku tidak pernah berjanji untuk mengambilnya lagi sampai waktunya, kau pasti sudah berada di bawahku, Amore.” Aku hampir lupa! Vale pernah berjanji padaku kalau ia akan melakukannya lagi hingga saatnya tiba nanti. Kupalingkan wajahku, malu, padahal aku juga lagi pengen banget. Dia gak tahu aja kalau lubang pusatku udah lembab dan terasa gatal. Ini semua pasti karena ulah tanganku pada batang Vale dan remasan tangannya pada pinggulku. Memang akhir-akhir ini aku merindukan belaiannya. Bukan karena sifatku, namun p****g payudaraku selalu terasa gatal dan yang di bawah sana kayak ada yang mengalir hingga membuatku menggelinjang. “Dengar, Amore.” Vale menyentuh daguku dan mengangkatnya agar aku menatap wajahnya. “Kau tahu? Aku juga tidak kuat menahan hasratku.” Lanjutnya. Ia menghela napas panjang. Aku tersentuh ucapan Vale. Ia menepati janjinya. Vale mendaratkan bibirnya pada bibirku dan melumatnya sebentar serta memelukku. “Jadi pergi?” Aku mengangguk. “Eh..” kagetku. Vale menggendongku ala bridal dan berjalan keluar kamar. Kuletakan kepalaku pada ceruk lehernya. Ia membuka pintu dan menuruni anak tangga menuju garasi mobilnya. Dalam perjalanan aku diam saja. Gak tahu mau bicara apa? Sangat memalukan mengingat kejadian tadi. Tapi tekadku sudah bulat, saat kak Revan muncul aku harus menggodanya. Aku tersenyum-senyum sendiri. “Apa yang kau pikirkan?” Vale mengagetkanku. Ia memperhatikan raut wajahku sejak tadi. “Tidak ada. Nanti kamu akan tahu sendiri.” Aku tersenyum manis. “Rahasia? Aku tahu apa yang ada dalam otakmu, Amore.” Ia tersenyum miring. Aku memanyunkan bibirku kembali. Vale memang selalu bisa menebak isi pikiranku. “Vale berhenti di sini saja.” “Yang mana rumah temanmu?” Vale melihat kiri dan kanan. “Nomor 12, yang disana.” Aku menunjuk rumah Vita. “Aku turun disini saja Vale. Vita pasti menungguku di depan rumahnya. “Aku antar sampai sana.” Ucapnya seraya menjalankan mobilnya kembali. “Jangan Vale. Vita belum mengenalmu, nanti saja aku memperkenalkan kalian.” Aku memang gak mau Vita tahu kalau aku sudah mempunyai kekasih. Mulut keponya pasti gak akan berhenti komat-kamit. Vale tampak masih keberatan. “Baiklah.. Telpon aku, jika urusanmu sudah selesai.” “Kamu tidak capek?” “Tidak ada kata lelah, jika itu tentangmu Amore.” Vale tersenyum manis. “Grazie, Amore.” Aku mengecup bibir Vale lembut. Aku keluar dari dalam mobil dan berjalan menuju rumah Vita. Bernar saja sahabatku itu sedang mondar-mandir di depan rumahnya. “Vital..” teriakku dari luar gerbang rumahnya. Kubuka pintu gerbang dan masuk ke dalam. Vita terkejut tapi langsung berlari dan menyambut kedatanganku. “Lama banget sih lo.” Omelnya. “Kenapa sih, muka lo serius banget!” Vita menarik dan mendorongku masuk ke dalam mobilnya. Ia menutup pintu dengan kencang. Ia memutari mobil dan duduk di belakang kemudi. “Mau kemana kita?” tanyaku masih bingung akan tingkah laku Vita. “Kita ke pemakaman Jenni sekarang. Pake seatbelt lo, gue mau selidikin sesuatu.” Sahut Vita cepat. “Emang ada yang aneh? Jangan bikin gue penasaran deh Vit.” “Gue juga gak tau, Ren. Makanya kita kesana sekarang. Andra udah nunggu.” Vita memasang muka serius, aku terpaksa diam walaupun banyak yang ingin kutanyakan. Kami meluncur ke pemakaman Jenni. Aku dan Vita membeli satu buket anyelir putih untuk Jenni. Dan melanjutkan perjalanan. Orang tua Jenni baru saja keluar dari area pemakaman menaiki mobil dan berlalu pergi. Andra dan teman-teman sekolah masih berada di tempat peristirahatan terakhir Jenni. Aku berjongkok di depan pusara Jenni. Meminta maaf dengan tulus atas kesalahan yang aku sengaja ataupun gak kusengaja. Biar bagaimanapun ia pernah menjadi teman dekatku. Andra terdiam berdiri di dekatku. Delapan orang anak buah Andra juga tak bersuara, kami hanya khusyuk berdoa bersama. “Tadi pagi Sandra ditangkep polisi.” Kata Andra memecah keheningan. Kami semua menoleh pada Andra. “Maksud lo ‘Ndra?” ucap Vita tak percaya. “Setelah diotopsi, polisi menemukan sidik jari Sandra di leher Jenni.” Terang Andra. Ia menghela napas panjang. Dari matanya terpancar kesedihan yang mendalam. “Gue gak percaya Sandra ngelakuin itu semua.” Aku menyela penjelasan Andra. Mereka semua menatapku. “Kita ke rumah gue aja ‘Ndra. Kita semua perlu kejelasan. Lo ikut gue yah?” Andra menoleh pada Vita dan mengangguk. “Gue bantu.” Kataku seraya menyentuh lengan Andra yang memegang tongkat. Andra memalingkan wajahnya dan menoleh pada Vita. “Vit, tolongin gue.” Vita menganga melirik ke arahku seperti meminta jawaban. Aku mengangguk tersenyum lemah. “Cepet, Vit.” Andra menarik tangan Vita serta merangkulnya. Sejak kemarin Andra gak mau bicara sama sekali denganku. Wajar saja sih Andra marah karena penolakan. Gak jauh berbeda denganku dulu. Vita yang gak tahu apa-apa ikut bingung melihat sikap Andra. Kami bergegas balik ke rumah Vita yang betulan lagi sepi. Ayah dan ibunya sibuk di rumah sakit. Beberapa anak buah Andra mengekori mobil kami di belakang, dengan motornya. Usen, seorang kaki tangan Andra, membuka gerbang rumah Vita. Kami semua memasuki pelataran rumah dan memakirkannya di teras depan. “Duduk dulu, gue siapin minum.” Kata Vita lalu berlari ke dalam rumah tanpa menolong Andra keluar dari mobil. “Vit, tunggu.” Teriak Andra kesal. Ia memukul pintu mobil berkali-kali kayak anak kecil. Aku terkekeh pelan melihat sikapnya yang kekanakan. “Sen.. Tolongin boss lo tuh. Kakinya gak boleh napak ke tanah.” Ucapku pada Usen yang baru menutup gerbang. Andra melotot. “Lo gak nolongin gue?” Aku menaikan alisku. “Lo yang gak mau gue bantuin.” “Harusnya lo paksa gue dong, Ren. Masa lo diem aja!” sewot Andra. Aku menggeleng. “Ckck.. Childish.. Cepatan Sen, angkat tuh boss lo.” Perintahku pada Usen. “Gak.. Gue gak mau!” Andra mendorong Usen. “Lo aja yang nolongin gue, baru gue masuk.” Usen mengacak rambutnya kesal mendengar petengkaran kami. Anak buah Andra yang lain tawa-tiwi tanpa berani bersuara. “Makanya jangan sok.” Aku menghampiri Andra memegang tangannya, membantunya berdiri. “Lo sebenernya udah bisa jalan kan? Cuma manja aja.” Sindirku. Aku melihat gips pada kaki Andra sudah dibuka, hanya menggunakan perban tipis yang membelit kakinya. Andra tertawa lepas. “Kapan lagi gue bisa peluk lo.” Ia merangkul bahu kiriku. “Modus.. Gue jatuhin nih.” Ancamku. Andra hanya cengengesan. Kami semua masuk dan duduk di ruang tamu. Vita keluar bersama Bi Uting yang membawa sirop rasa jeruk. Aku menuntun Andra hingga ia duduk di sofa yang nyaman. Kubantu Andra meletakan tongkatnya di samping sofa. “Nah gitu akur, kan enak lihatnya.” Vita cengengesan dan duduk di sebelahku. Aku memanyunkan bibir, sedang Andra dan yang lain tertawa kencang. “Sekarang jelasin deh ‘Ndra. Ada masalah apa sebenarnya.” Tanyaku menghentikan tawa mereka. Suasana hening. “Gue..gue..” gugup Andra. Ia mengedarkan pandangan menatap kami semua. Andra menghela napas. “Sejak gue ngejauh dari lo dan Vita. Gue terjerumus mengkonsumsi obat-obatan terlarang.” Ungkap Andra. Kami semua terperangah mendengar penuturan Andra. Wajahnya kuyu, menyimpan satu kesedihan yang ia gak mau ungkapkan dengan orang lain. Andra menceritakan saat pertama ke pergok Jenni sedang memakai barang haram di toilet sekolah. Waktu itu Andra sedang frustasi karena perceraian kedua orang tuanya. Andra memilih jalan pintas untuk menghilangkan stress. Ia mencoba memakai obat-obatan terlarang setelah dipengaruhi oleh temannya. Ternyata orang yang menawarkan barang tersebut adalah orang suruhan Jenni. Jenni merekam perbuatan Andra dan mengancam akan menyerahkannya ke kepala sekolah dan pihak berwajib. Jika Andra gak memenuhi permintaanya. So, Andra terpaksa mengiyakan permintaan Jenni untuk berpacaran dengannya. Sebab itu juga Andra tak menampakan lagi batang hidungnya di kantin dan membolos pada pelajaran terakhir demi menghindari Jenni. “Kenapa lo gak cerita sama gue atau Vita? Seenggaknya kita bisa cari jalan keluar bersama ‘Ndra.” Desakku. “Gue gak mau lo illfeel sama gue, Ren. Makanya gue ngejauh dulu sementara. Sampe akhirnya gue dapet rekaman asli sama copyannya video gue di rumah Jenni.” Jawab Andra. “Eh.. Tunggu deh. Kalo lo jadian sama Jenni, kok gue gak pernah lihat lo beduaan yah?” tanya Vita pada Andra. Andra menarik napas dalam. “Gue yang minta, Ren. Gue mau jadian sama dia asal kita backstreet!” jawabnya lesu. “Terus gimana lo bisa dapetin rekaman asli video lo?” tanyaku penasaran. “Gue… Nipu Jenni. Mak..maksud gue..” Andra grogi. “Ngomong yang jelas, ‘Ndra.” Tegasku. Vita dan yang lainnya hanya diam mendengarkan perbincangan kami. “Gue.. Gue sengaja memperdaya Jenni saat bonyoknya gak ada di rumah.” Andra mengelap keringat di dahinya. “Gelagat lo begini, kayak abis nyolong mangga tetangga buat bini lo yang lagi ngidam, ‘Ndra.” Ceplosku ngasal. Vita tertawa keras sekali diiringi tawa anak buah Andra, sedang Andra tersenyum paksa. “Sorry, waktu itu gue boong sama Jenni kalo gue beneran jatuh cinta sama dia. Terus gue…” Andra gugup banget menghentikan ucapannya. “Terus lo?” kutatap Andra tajam. Hening sesaat. “Gue maen sama dia, tapi gak sempet masuk kok.” Andra bicara sangat cepat. “Enak?” Ooops dalam situasi gini aku malah keceplosan. Andra mendelik kesal ke arahku. Vita terkejut menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Semua anak buahnua juga terkejut, melotot gak berkedip. Aku hanya menggigit bibir karena kaget sekaligus malu. “Maen apa? Maen bilyar? Kalo ngomong yang jelas.” Cecar Vita. “Gue memperdaya Jenni. Gue yakinin dia kalo gue tuh bener-bener cinta sama dia. Akhirnya Jenni ngaku kalo dia emang sengaja menjebak gue dan merekam waktu gue lagi ‘make’ di toilet.” Jelas Andra. “Dia juga keluarin file rekaman asli dari dalam laci mejanya dan copyan-nya yang ia simpen di laptopnya. Akhirnya gue nekad masuk ke kamarnya dengan cara melakukan hal itu. Tapi gak sampe jauh kok. Percaya sama gue.” Lanjut Andra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD