Setelah beres-beres kami berkumpul kembali di ruang tamu karena ini hari pertama kami datang ke desa ini.
kami memutuskan untuk observasi keliling desa dulu agar tau tentang keadaan desa ini.
Aku pergi bersama indah ferli nindi dan feri karena kami 1 fakultas dan nanti kami akan merencanakan PROKER individu dan sepakat akan terus saling bantu. Tidak ada saingan dalam hal ini.
Desa ini tidak terlalu luas namun karena kebanyakan masih pohon dan hutan seolah-olah kami berjalan sudah jauh sekali.
Lalu sampai kami di ujung desa. Ada pagar bambu yang menyilang di tengah-tengah nya, dan ada tulisan Desa Kramat lalu diberi tanda silang merah yang cukup besar.
"Eh, itu jangan-jangan desa yang dibilang pak Ponidi tadi, ya? yang angker gitu..hiiii," kata Ferli bergidik ngeri.
"Kayanya sih gitu deh. Kok cuma dipalang gini aja, ya? Masih ada akses keluar masuk dengan mudah dong ini. Kalau ada orang nggak tau bisa masuk desa tak berpenghuni itu, ya. Bahaya banget sih!" kata Nindi.
Samar-samar aku melihat beberapa gerombol anak kecil yang diam mematung dengan wajah pucat dan bersimbah darah di dalam desa itu.
Mereka melambai lambaikan tangan mereka kepada kami.
Tapi kulihat teman-teman ku diam tak merespon. Berarti hanya aku yang melihatnya.
"Udah yuk. Balik aja. Kita keliling lagi," ajakku sambil berlalu pergi.
Mereka akhirnya mengikutiku pergi.
Setelah berjalan mengelilingi desa.
kami kembali ke posko kami.
Di sana teman-teman yang lain juga sudah berkumpul.
"Gimana? Kalian udah nentuin PROKER pribadi kalian?" tanya Wicak begitu kami sampai.
"Udah kok." Hanya aku yang menjawab. Teman yang lain
masih mengambil nafas karena kelelahan.
Beruntung Indra sering mengajakku lari pagi setiap hari, sehingga aku terbiasa dengan kegiatan di luar seperti ini.
"Ya ampun. Mirip ikan kehabisan udara kalian," ledek Faizal.
"Gila. Ini desa luas banget. Pohon doang isinya lagi," gerutu Feri dengan napas ngos-ngosan
"Lebay lu," sahutku mengejek nya.
"Kamu nggak capek, Nis?" tanya Indah.
"Capek. Tapi ya gak segitunya kali. Makanya pada dibiasain olahraga. Baru jalan segitu aja udah bengek!" sindirku ke mereka.
"Iya, yang tiap pagi disamperin joging sama Babang Indra. Ngerti deh," sindir Ferli malah balik meledekku.
"Oh iya, Cak. Soal proker kelompok gimana? Udah ada ide?" tanyaku ke Wicak sengaja mengganti topik.
"Eum. Kamu sendiri ada ide apa? Aku sih udah ada beberapa ide, Nis."
"Tadi aku liat batas desa ini sama desa sebelah, cuma dipalang bambu gitu aja. Asal-asalan gitu kesannya. Gimana kalau kita bikin batas desa juga, biar antara desa ini sama sebelah Jelas gitu batasnya. Kata pak Ponidi, desa itu bahaya kan. Takutnya ada orang yang nyasar terus malah masuk ke sana, kan kasian," saranku.
"Good idea, Nisa. Ada lagi gak?" tanya Wicak.
"Eum, itu dulu deh kayaknya. Paling sama penerangan jalan. Lampunya dikit banget. Terus juga kurang terang deh menurutku. Masa lampu jalan pake bohlam yang warna kuning. Redup, kan," tambahku.
"Oke..aku catet nih. Mungkin ada lagi yang mau menambahkan?" tanya Wicak ke yang lain.
Kami berdiskusi sampai sore. Dan setelah selesai. Aku segera mandi karena rasanya badanku lengket sekali. Kuraih handuk dan baju ganti, tak lupa peralatan mandiku juga.
Aku masuk kamar mandi yang ada di sebelah kanan. Soalnya yang kiri seperti nya ada yang mengisi karena pintunya tertutup.
Airnya segar sekali rasanya. Aku juga keramas. Karena rasanya belum mandi kalau tidak keramas. Semua berjalan lancar tidak ada hambatan apa pun. Hingga aku selesai mandi, aku mengelap tubuhku dengan handuk dan segera memakai baju. Tapi tiba-tiba kaki ku tersangkut sesuatu. Kulirik ke bawah ada rambut di lantai yang lumayan banyak.
Kuraih 1 helai.
Perasaan rambutku udah lama gak rontok. Lagian ini juga kok panjang banget ya. Di sini yang rambutnya panjang kan cuma aku. Tapi juga gak sepanjang ini deh. Rambut siapa ini?
Aku masih berfikir siapa pemilik rambut ini. Namun dari arah samping kiriku aku merasakan bayangan hitam yang perlahan turun dari atas. Seperti rambut yang panjang sekali.
Kulirik perlahan.
Deggg!! Jantungku berdesir tak karuan.
Saat melihat sosok wanita yang berdiri terbalik dengan rambut hitam panjangnya bahkan hampir 1 meter. Wajahnya pucat tanpa ekspresi.
Sontak aku panik. Namun saat aku akan membuka pintu, pintu seperti terkunci.
'Braak.braaak.braaak!!!"
"Tolong! Bukaaain pintu! Temen
-temen! Buka!!" teriakku sambil memukul-mukul pintu tak berani melihat ke belakang.
"Nis, kenapa?" teriak Faizal dari luar.
"Ke konci kayak nya. Nggak bisa dibuka. Tolongin dong," pintaku mencoba untuk tenang.
"Ya udah, kamu mundur aku dobrak nih.*
"Duh. Kok pake mundur sih," kataku takut.
"Ya mundur, Nis. Nanti kamu kena pintu gimana? Pas aku dobrak nanti?"
"Oh iya ya. Iya deh. Cepet ya Zal," pintaku. Entah kenapa aku mendadak seperti orang b**o.
Aku kemudian mundur namun berusaha menutupi wajahku agar tidak melihat sosok yang masih ada di sana.
Braaaaakkkkk
Dengan sekali tendangan Faizal, pintu berhasil dibuka. Dia ini atlet karate. Jadi tidak heran kekuatannya sehebat itu.
"Allahu akbar!!"pekiknya setelah pintu terbuka.
Kulihat ekspresi Faizal sama terkejutnya sepertiku. Ia melihat sosok itu juga.
Aku lari keluar sambil menarik Faizal juga.
"Nis. Itu tadi siapa?" tanyanya dengan wajah pucat.
"Mba kunichan. Mau kenalan?" kataku mencoba tenang.
"Hah? kok bisa ada tuh mbak di sini ya?" tanya Faizal heran.
"Mana ku tau. Tadi kamu ga nanya sekalian!" jawabku kesal.
"Ih. Serem deh," katanya dengan ekspresi ngeri.
"Eh. Ngvak usah bilang siapa- siapa dulu soal tadi. Nanti pada heboh malah berabe," pintaku.
"Iya, beres."