Dua I I Author Pov

1372 Words
Cowok berkaos Denim itu tengah berkutat dengan laptop sejak dua jam yang lalu, Hukum Pidana dan Perdata menjadi cemilan sehari-hari, kalau di kata muak sih ya muak, tapi mau gimana lagi? Dia sendiri yang memilih untuk masuk jurusan Hukum. Tugas kuliah yang menumpuk, belum lagi jadwal 'hobinya' yang semakin sering, kini ditambah dengan satu musuh yang berada di rumah. Sungguh, rasanya seperti nano-nano banget. Lagu 'Let me down slowly' mengalun keras di kamar. Ia tak merasa terganggu sama sekali karena suara speaker yang mengalahi spiker orang hajatan itu. Kamar ini sebenarnya kedap suara, tapi cowok berkaos denim itu sengaja membuka sedikit pintu agar suara lagu bisa keluar dan terdengar sampai kamar sang adik yang berada tepat di sebelah kamar nya. Tak apa, hitung-hitung balas dendam karena kejadian kemarin. “If you wanna go then l’ll be so lonely…if you’re leaving baby let me down slowly…let me down, down…let me down, down…let me—“ Lagu yang mengalun berhenti, cowok berkaos denim itu sudah tau siapa dalang dibalik matinya speaker yang sedang mengalunkan lagu Alec Benjamin. “Bisa nggak hargai orang yang tinggal di rumah ini sekali saja?!” tanya pelaku atas matinya speaker dengan tatapan tajam mengancam, yang di tatap kini menutup laptop, lantas menoleh dengan tatapan malas. Cowok berbaju denim itu mendengus “Bisa nggak lo nggak usik hidup gue sekali aja?” balas dia tak pernah takut. Justru ini yang dia harapkan, sebuah pertengkaran kecil untuk menutupi rasa bosan. "Kamar, kamar gue. Spiker, spiker, gue, kenapa lo yang sewot?" Perempuan yang melewati usia 40an itu masuk ke dalam kamar karena mendengar adanya keributan, sudah bukan hal yang aneh lagi kalau mendengar kedua anaknya beradu mulut seperti ini, dan karena itulah dia memisahkan sekolah mereka berdua, langkah kaki wanita itu berhenti saat sudah tiba di kamar anak sulung, alias si tukang cari gara-gara. Perempuan itu berdecak pinggang. “Kalian ini, kapan sih akurnya. Mama capek dengar kalian berantem terus Kendric! Hendirc!” Mereka berdua saling bertatapan saat mama Liana memijat-mijat kepala yang pusing, setelah mencabut kabel spiker, Hen menatap sang kakak dengan kesal. “Untung aja besok gue udah cabut ke Australia. Jadi nggak perlu ketemu sama lo lagi!” “Gue juga ogah ketemu sama manusia setengah setan kayak lo!” “Eh, pake ngatain lagi?!” “Kendirc! Hendric! sudah ya. Kalau kalian tetap saja berantem mama akan potong uang bulanan kalian!” Mereka berdua sama-sama terdiam saat melihat mama Liana keluar dari kamar sambil memegangi kepala yang berdenyut sakit. Entah kapan kakak beradik itu akan akur seperti saat mereka masih bayi. Ken mendorong bahu Hen agar segera keluar dan enyah dari pandangannya. “Pergi lo!” “Ye! nggak usah dorong-dorong juga, kadal!” Kendric tak mengindahkan u*****n Hen yang notabene adalah adik yang lahir lima menit setelah dirinya. Setelah semua keributan selesai Ken sudah tak berniat mengerjakan tugas lagi, dia memilih untuk merebahkan tubuh yang lelah di kasur. Pikiran cowok itu melayang, mengingat alasan yang diberikan kedua orang tuanya saat memutuskan memisahkan sekolah dia dan Hen, yang tak lain dan tak bukan adalah untuk menghindari baku hantam di antara mereka berdua. Padahal sampai sekarang Ken dan Hen belum pernah adu fisik, kalo adu bacot sih hampir setiap mereka tatap muka secara spontan saling melempar kata-kata ejekan yang berujung perdebatan. “Alasan konyol banget sih” Ponsel yang ada di saku Ken bergetar, seseorang menelepon, entah apa yang dibicarakan oleh orang itu karena Ken tak lama kemudian menjawab. “Oke, 10 menit aku sampe situ” Ken bergegas mencuci wajah, setelah selesai dia menyambar jaket kulit beserta kunci motor. Saat ini pukul 10 malam, dan cowok berparas tampan itu akan melakukan kebiasaan yang sudah lama digeluti, hobi Ken memang sedikit menyimpang, tapi percayalah itu seru banget. Apalagi kalau harus kejar-kejaran dengan pak Polisi, adrenalin Ken serasa dipacu. Motor ninja hitam milik Ken berhenti di depan rumah mewah berlantai dua, lantas menekan klakson, tak lama seorang cewek keluar dari dalam rumah dengan senyum mengembang. “Seperti biasa, badass” puji cewek itu seraya meloncat naik ke atas jog motor. “Thanks, babe” Tanpa ba-bi-bu lagi Ken langsung menyalakan motor, lantas melepaskan kopling dan kendaraan roda dua itu siap meluncur ke jalanan dengan gadis berambut pendek, mata yang dihiasi eyeliner, kemudian bibir merah tapi tidak merona kek cabe-cabean. Pokoknya, dimata Ken, cewek itu super duper cantik, ya iyalah, kata lirik lagu sih cinta itu buta dan tuli. Dengan kecepatan Ken berkendara, tak butuh waktu lama untuk dia sampai di tempat tujuan, cowok itu menghentikan laju motor di pinggir tepat di depan seseorang yang tengah menunggu kedatangan dia. “Gimana?” tanya Ken kepada sahabat sekaligus teman kampus, Rido Mahesa. Rido mengacungkan jempol, tanda siap. “Sip, aman!” kata cowok bermata coklat itu, tatapan Rido beralih pada cewek yang masih nangkring di jog motor. “Dia ikut?” lanjut Rido bertanya kepada Ken yang langsung dijawab dengan anggukan. Seketika raut wajah Rido berubah khawatir. “Lo nggak serius kan?” tanya Rido memastikan “Ken, please jangan.” Cewek yang sedari tadi diam kini mendengus, jemari lentiknya mengacak rambut Rido dengan gemas. “Gue percaya sama Ken, lo nggak perlu khawatir kayak gitu, Do” kata dia seraya mengedipkan sebelah mata kearah cowok berjaket bomber hitam itu. Ken tersenyum, saat Safa—nama cewek itu—menjawab Rido dengan yakin. Rido menghela nafas pasrah, percuma melarang dua orang yang keras kepala ini. Dari pada dibikin pusing dan khawatir, Rido memilih untuk diam dan mengangguk lantas menyuruh Ken untuk bersiap di garis start. Berhubung saingan Ken malam ini sudah datang, maka tanpa menunggu waktu lama lagi balapan akan segera di mulai. “Ready?!! Three, two, one, go!!” bendera itu di ayunkan oleh salah satu remaja perempuan yang berdiri di tengah-tengah. Motor Ninja Ken melesat sempurna dengan kecepatan super dan keseimbangan stabil. Safa berteriak senang di boncengan Ken membuat sang empu mengulum senyum, dia tidak salah memilih Safa untuk mengisi ruang hati yang kosong karena cewek itu punya hobi yang sama dengan dia. Safa juga beda dengan gadis-gadis lain diluaran sana, cewek itu tidak pernah melarang Ken, membebaskan pacarnya untuk melakukan apapun yang di suka, termasuk merokok. “I LOVE YOU KENDRICCC!!!” Ken tak kuasa menahan senyum kala mendengar Safa berteriak seperti itu, lalu disusul pelukan erat di perut. Ken melirik ke kaca spion, lawannya sudah tertinggal jauh di belakang. -Batas- Kendirc menguap lebar saat Mama Liana memanggil untuk sarapan, maklum dia baru saja tidur sekitar pukul tiga pagi hari tadi. Untungnya hari ini dia tidak ada kelas pagi, jadi aman untuk melanjutkan tidur barang 3-4 jam kedepan. “Aku nggak laper, Ma” ucap Ken sambil terus menguap. Dia menarik kursi untuk duduk lantas menyambar air untuk di tuangkan ke gelas. Papa Nick yang melihat anaknya malas-malasan seperti itu langsung berdehem. “Papa nggak mau basa-basi, Ken. Kamu akan papa jodohkan.” Byuurr!! Uhuk!! Air yang baru saja masuk ke dalam mulut terpaksa menyembur, Ken tersedak. Kini dia terbatuk-batuk, mama Liana menepuk-nepuk punggung anaknya dengan khawatir, tapi Ken sepertinya tak begitu, ada yang lebih dikhawatirkan, yakni ucapan pria yang ada di kursi ujung itu. “Please wait. Pa, dikantor mau ada drama? acara apa? Anniversary?” Papa Nick menatap Ken dengan tatapan serius, dia tidak sedang ingin bercanda sekarang “Papa nggak lagi becanda, Ken. Dan nggak ada drama yang kamu sebut-sebut tadi. Papa serius, kamu akan papa jodohkan dengan anak teman papa” “Nggak bisa gitu dong, Pa!” Mama Liana kaget saat Ken tiba-tiba berdiri dan menggebrak meja makan, untung saja mejanya terbuat dari kayu jati bukan kaca. “Kendric! duduk. Jaga sopan santunmu, papa sama mama lagi ngomong serius!” tegur mama Liana. Kendric kembali duduk “Kenapa harus aku? kenapa nggak Hen aja?” “Karena gue nggak bisa stay di sini. Dan gue nggak boleh ngelangkahin elo” Ketiga orang yang duduk di ruang makan menoleh serempak saat Hen menuruni anak tangga dengan santai “Tolong bawain ke depan ya” Hen menyerahkan satu koper ke arah supir keluarga untuk di masukan ke dalam bagasi mobil. Lantas Hen bergabung dengan mereka bertiga di ruang makan. “Hari ini gue bakalan ke Aussie lagi, jadi—“ “b*****t lo!” pekik Ken tajam di telinga Hen yang hanya di balas dengan senyuman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD