MOVE ON

1374 Words
"Permisi Pak saya mau mengantarkan laporannya." Rania yang sudah membawa laporan dengan format sesuai dengan yang dipelajarinya dari Desi masuk ke dalam ruangan CEO Shining Star Group. Ruangan itu lebih besar daripada ruangan CEO di perusahaan light up. Lebih mewah dengan nuansa putih, hitam dan abu-abu yang mendominasi dan Rania tahu, siapapun yang duduk di ergonomic chair dalam ruangan itu pasti bukan orang sembarangan. Namun bukan itu fokus Rania sekarang. Dia sedang membawa laporan ke meja. Apakah laporan itu akan diterima? Atau dia masih dianggap membuat kesalahan? Was-was hatinya ketika tangan pria di hadapannya sudah membuka mapnya. Jantungnya berdebar. tapi Rania yakin sekali tak akan ada kesalahan lagi. Meski Rania tak tahu apakah bosnya itu berniat curang dan membuat dirinya selalu tampak bersalah terus atau tidak. "Jadi sekarang kau mengerti bagaimana cara membuat laporan?" Namun dugaan Rania tak semuanya benar. Reza sangat profesional dan memang tak membuat masalah dengannya. Rania merasa geli sendiri sudah menduga bahwa bos-nya itu memang bukan orang yang profesional. Sejujurnya Rania sangat malu sekali kala menyadari kemungkinan besar dirinya lah yang tidak profesional dengan menyalahkan Reza. "Terima kasih atas bimbingannya, Tuan Clarke." Rania mengikuti bagaimana Desi memanggil Reza. Sebuah senyum terurai di bibir Rania karena rasa leganya. "Kau masih perlu banyak belajar. Jangan senang dulu, karena kinerjamu masih buruk. Ingat, dalam sebulan ini, kau masih dalam masa percobaan!" Tapi nampaknya Reza tidak mengizinkan Rania untuk sedikit bersukacita karena keberhasilannya sudah bisa membuat laporan yang benar. "Baik Pak." Sirna sudah rasa bahagia dalam hati Rania dan kembali lagi rasa cemas itu membuatnya takut. SETELAH PERTEMUAN INI, KAMU DAN AKU TAK ADA HUBUNGAN APA-APA LAGI. JADI KALAU SUATU SAAT KAMU BERTEMU DENGANKU, ANGGAP SAJA KITA TAK SALING MENGENAL. Bahkan kata demi kata yang diucapkan oleh Reza beberapa tahun yang lalu masih bisa diingat Rania sangat jelas dalam benaknya. Mungkinkah ini pertanda apapun yang sudah dia lakukan untuk up grade dirinya demi mempertahankan posisinya di perusahaan light up tidak akan pernah berhasil dan ujungnya tetap akan dipecat? "Hai sayang!" Rania belum bisa menentukan jawaban pertanyaan di dalam benaknya tapi sudah ada seseorang yang membuka pintu ruangan itu. Dia berjalan masuk melewati dirinya dan David, mendekat pada tempat duduk Reza. "I miss you honey! Daddy tadi meneleponku Dia mengingatkan tentang makan malam keluarga nanti malam. Kamu nggak lembur lagi dan kita bisa dinner bareng keluargaku, kan sayang? Daddy dan mommy sudah sangat merindukan kita, loh." 'I-itukah istrinya?' Rania tak sengaja melihat wajah wanita yang mendekat pada Reza, duduk di pangkuan Reza. Wanita itu tidak malu-malu memainkan rambut Reza dan bicara sangat manja sekali. Padahal di sana ada asisten Reza, David dan karyawan Reza, Rania. Tak membuatnya merasa terganggu. Tentu tak ada yang bisa dilakukan oleh Rania selain menunduk dan menelan salivanya berusaha untuk tidak mengubah mimik wajahnya dan terlihat biasa saja selama ada dalam ruangan Reza. "Hmm, kita akan ke sana." "Yes! Makasih ya sayang, daddy pasti seneng banget kalo kita dateng. mmuuuah!" bibir wanita itu kembali mengecup Reza yang membuat hati Rania seakan remuk. Sesuatu yang menyesakkan mengganggunya. Meski Rania tetap berusaha profesional, dia tak memungkiri ada rasa kesal karena tadi sempat-sempatnya mata Rania berkhianat, mengintip dan kini dongkol sendiri hatinya mengingat adegan mesra Reza dan wanita yang Rania belum tahu siapa namanya. "Kalau gitu sekarang yuk kita siap-siap cari baju dulu! Aku juga ingin nyalon dulu dan kamu kan nggak mungkin pakai baju kayak gini sayang. Aku ingin kamu tampilannya lebih fresh!" "David, kosongkan jadwalku hari ini!" "Yess, yuk berangkat, sayang!" wanita itu sudah berdiri dari pangkuan Reza dan menarik tangan suaminya supaya cepat-cepat berdiri juga dan mereka bisa pergi mencari apa yang dibutuhkan untuk jamuan makan nanti malam. "Sayang, kira-kira kita kasih kado apa ya buat Daddy?" "Menurutmu?" "Gimana kalo kamu minta kakek buat goal-in project kilang minyak on shore-nya daddy? Kurasa itu bakal jadi hadiah ulang tahun yang bikin daddy seneng deh, sayang!" Rania tidak bisa mendengar lagi obrolan mereka selanjutnya apa karena pintu ruangan itu sudah ditutup dan menyisakan David dengan Rania saja di dalamnya. "Rania kamu bisa kembali ke light up. Buat rekapan laporan dan saya rasa pekerjaanmu di sini sudah selesai. Nanti saya minta Desi untuk menyiapkan sopir kantor yang akan mengantarmu ke Light Up." "Oh, tidak usah diantar Pak David. Saya bisa naik taksi kok. La-lagian ini dekat dengan jam istirahat dan saya mau beli sesuatu dulu untuk makan siang di luar sebelum kembali ke kantor." "Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa besok, Rania." "Permisi, Pak David. Selamat siang." Rania tahu alasan ini tidak masuk akal tapi dia punya alasan sendiri kenapa dia ingin tidak diantar. 'Tak bisakah kau berhenti menangis Rania? Lagian kejadian ini sudah lama sekali tapi kenapa kau masih terus saja menangisinya? Mana jalan di panas-panasan seperti ini, bodoh sekali kau!' Matahari bersinar cukup terik. Rania tahu seharusnya selepas keluar dari SSG branch office, dirinya langsung naik taksi ke Light Up. Tapi yang ada dirinya malah menyusuri trotoar sambil menumpahkan semua tangisnya saat berjalan. Rania juga tidak tahu apa yang dia inginkan dengan menangis begitu. Bukankah seharusnya dia sudah tahu kalau Reza tidak lagi menginginkannya sejak mereka berpisah? Lagi pula memang tidak ada hubungan serius di antara mereka saat ini kecuali sebagai CEO dan sekretaris di Light Up. Lalu, kenapa dia masih menangisi Reza? Apa yang Rania harapkan? 'Dia sendiri sudah move on sejak lama dariku. Terus kenapa aku masih terus mengharapkan dirinya?' Rania berhenti melangkah. Dia diam dulu sejenak, menggerakkan tangannya untuk menghapus titik-titik air mata di wajahnya sebelum melepas pandangannya melihat lingkungan sekitarnya. Motor dan mobil yang berlalu lalang di jalan Raya dengan tujuannya masing-masing berseliweran. Hampir tidak ada orang yang berjalan di trotoar karena kebanyakan orang Indonesia memang menggunakan kendaraan roda dua, roda empat atau kendaraan umum. Dan ini menyadarkan pikiran Rania. 'Setiap orang hanya peduli pada urusan masing-masing dan pada kehidupannya saja. Mereka punya tujuan sendiri-sendiri dan apa tujuanku? Kenapa aku terus menangisi Reza?' Sebuah pertanyaan yang menyadarkan Rania dan membawa lamunannya kembali pada kenyataan hidup dan pada wajah yang sudah menjadi penyemangat hidupnya dalam beberapa tahun terakhir ini. "Marsha!" bibir Rania mengucap satu nama. Dia teringat pada gadis kecil yang selalu memberikan senyum termanisnya. Bocah yang selama ini selalu saja menjadi harapan dan penyemangat di hari-harinya. Seseorang yang selalu menemani Rania, lalu kenapa dia harus memikirkan laki-laki yang sudah jelas mengatakan dia ingin Rania pergi dari hidupnya dan tidak mau lagi mengenal Rania? 'Move on Rania!' Kata-kata itu terus digaungkan Rania di dalam hatinya dan membuat dirinya punya kekuatan untuk memberhentikan taksi, kembali ke kantornya dan menyelesaikan semua pekerjaannya. MOVE ON! Entah berapa ratus kali Rania sudah mengutarakan itu di dalam hatinya setiap kali dia mengingat tentang Reza. Rania berhenti menangis. Rania mencoba fokus hingga semua pekerjaannya bisa diselesaikan dan dia bisa pulang tepat waktu karena selama ini Rania selalu saja lembur dengan pekerjaan yang menumpuk dari Reza dan revisi yang tidak ada habisnya "Mamaaaaaa!" Senyum dan tawa bahagia dari seorang gadis kecil yang melihat mamanya menjemputnya di sekolah, membuat mood Rania semakin baik, sore itu. Rasa sakit yang ditorehkan Reza memang belum hilang sepenuhnya tapi bocah itu berhasil membuat Rania merasakan secercah kebahagiaan saat tangan kecilnya melingkar di leher Rania. Cinta yang tulus diberikannya untuk Rania dan wanita itu tahu dari cara putrinya mengecup dahinya dan mengecup pipinya, memang memberikan harapan dan semangat baru untuknya. Rania tahu kalau dirinya tidak boleh menyerah. Rania tahu dia harus tetap berjuang demi putrinya. Meski Rania juga tahu kalau dirinya kemungkinan akan mengalami masa-masa berat beberapa minggu ke depan. 'Tapi aku tidak akan pernah membiarkan putriku kesulitan! Aku harus mendapatkan pekerjaan baru sebelum Reza memecatku. Karena dia memang tidak menginginkanku di perusahaan itu!' bisik hati Rania mengingatkan pada dirinya sendiri. Bayang-bayang kesulitan ekonomi yang pernah menghimpitnya beberapa tahun lalu memang tidak pernah bisa dilupakan oleh Rania. Kehidupan ekonominya sebelum bertemu dengan perusahaan tempatnya bernaung sekarang memang bisa dikatakan turun naik dan sangat buruk! Rania tidak mau lagi terjebak dalam masalah itu apalagi sekarang putrinya membutuhkan dana lumayan besar untuk sekolah dan biaya hidup. "Mama, ni dali om Amal buat Acha!" "A-amar?" Kaget Rania ketika melihat kerajinan tangan yang dipegang oleh anaknya berupa kalung yang dibuat dari manik-manik dan nama yang disebut oleh putrinya itu. "Hai Rania! " Ditambah lagi panggilan yang membuat dirinya mendongak menatap sosok yang mendekat padanya dan Marsha. Sungguh tak disangka olehnya. "Amar? Kenapa kamu bisa ada di sini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD